9. Sebagai Budak

6.6K 68 0
                                    

Raga merangkul erat budak cantiknya setelah sarapan roti dan segelas susu. Mereka tidak lagi berada di villa, melainkan rumah pribadi Raga di Ibukota. Rumah yang bak istana dengan warna serba putih.

Mau tidak mau Raga harus kembali ke sana karena ada jadwal kantor yang padat seperti meeting. Sebagai bos besar Anggara Group tentu tidak bijaksana Raga meninggalkannya.

Menjengkelkan memang karena bulan madunya hanya sebentar. Dari malam Sabtu sampai dengan Minggu sore saja Raga bersenang-senang dengan Rania.

Tapi tidak apa-apa. Biarpun bulan madunya sebentar Raga tetap puas. Sementara Rania tidak sama sekali.

"Sepertinya aku terkena serangan trauma yang luar biasa. Aku masih merasa sakit di bagian bok*ngku. Raga sial*n!"

"Sudah, jangan menangis begitu," kata Raga seraya mengelus-elus rambut hitam Rania yang sudah kembali indah karena perawatan salon pribadi. Make up artist disediakan untuk menambah kecantikan wajah Rania.

Sempurna.

"A-aku terharu, Tuan," kata Rania, berbanding terbalik dengan isi hatinya, "Aku akan dipermalukan oleh iblis ini di kantor. Aku akan diperkenalkan sebagai budak!"

"Tuan, apakah..."

"Aku tahu apa yang mau kaubicarakan," kata Raga tersenyum miring. "Kau khawatir image-ku bakal rusak kalau aku memperkenalkanmu pada para bawahanku, kan?"

Rania mengangguk takut-takut meski ia sama sekali tidak khawatir terhadap image Raga. Harga dirinya-lah yang dipertaruhkan saat ini. Orang-orang akan mempergunjingkannya seperti, "Hina sekali dia. Dibeli berapa sehingga mau dijadikan budak? Lebih baik pelac*r kalau begitu. Menjijikkan."

Air mata Rania kembali jatuh.

"Sudahlah, budak cantikku," kata Raga menangkup kedua pipi tirus Rania yang sempurna. "Kau menangis terus bisa-bisa membuatku marah..."

Rania menelan ludah. Tangisnya langsung berhenti. "A-aku tidak menangis, Tuan. Aku terharu."

"Begitu?" tanya Raga seraya menatap lekat mata Rania. Kembali terulang waktu yang seakan berhenti tersebut.

Raga mengerutkan keningnya. "Kenapa bisa ada perempuan secantik ini... Belum pernah kutemukan di belahan dunia mana pun."

Beberapa saat ia memaksa dengan kuat untuk mengalihkan pandangannya. Berhasil. Kemudian ia mendorong pelan kepala Rania. Satu jari telunjuknya menekan keningnya dengan tidak sopan.

"Aw, Tuan," keluh Rania.

"Ayo kita berangkat," kata Raga. "Tidak usah khawatir soal yang tadi. Hanya para bawahanku yang tahu kalau kau ini budak. Misalkan publik ikut tahu, sejujurnya aku juga tidak peduli. Aku tinggal memecat bawahanku yang menyebar-luaskannya, lalu Anggara Group tetap akan berdiri tegak dengan gagah. Saham Anggara Group akan menurun drastis? Itu takkan terjadi, budak cantikku, karena Anggara Group dibeking oleh mafia. Atau aku akan ditangkap polisi karena perbudakan tindakan ilegal? Aku beri uang satu miliar saja langsung sujud-sujud mereka padaku. Selain itu tidak mungkin... Ah, aku terlalu banyak bicara."

Sekretaris Ardi yang berdiri di dekat pintu mobil Marcedes-Benz warna hitam tidak menyangkalnya. Anggara Group tidak akan bisa sampai sejauh ini karena adanya mafia. "Karena itulah Tuan Raga tidak peduli soal image atau apapun. Selama uang tetap mengalir, kenapa harus peduli... Semakin tua, aku semakin idiot saja. Atau aku..."

"M-mafia? Itu kan berbahaya, Tuan," ujar Rania takut, mengalihkan pikiran Sekretaris Ardi.

Raga menghela napas. "Mereka tidak berbahaya dibanding dua anjing galakku, kok," katanya menakut-nakuti Rania.

"T-Tuan, jangan lagi, ya? Aku takut dengan anjing hitam milikmu," ujar Rania dengan nada permohonan.

"Budak tidak boleh melarang kesenangan tuannya," Raga mengerlingkan sebelah matanya saat Rania masuk ke dalam mobil.

Sebelum Rania sempat menyahut, Raga menutup pintunya dengan keras.

"Raga!" pekik Rania kesal. Raga tidak dapat mendengarnya karena kedap suara. "Kau mau membuatku tuli, ya?!"

"Kau seperti berteriak sesuatu, budak cantikku?" tanya Raga. Ia sudah duduk di samping Rania seraya mengecup pipi budaknya itu.

"Berteriak, Tuan?" tanya Rania pura-pura polos.

"Kau pikir aku bodoh? Jelas-jelas kau mangap begitu seperti orang memaki-maki. Untung saja tuanmu ini tidak kejam hingga merobek mulutmu," batin Raga mendengus.

"Mm, sepertinya aku salah dengar. Soalnya mulutmu mangap barusan."

"O-oh, aku sedikit menguap, Tuanku..."

"Oh, kupikir kau mau minta dimasukkan adik kecilku lagi."

Muka Rania langsung memerah, seiring dengan mobil mewah itu yang berjalan pelan. Tapi ia tidak berani untuk berteriak seraya menampar muka Raga sekeras mungkin.

Rania masih ingat dengan jelas kalau ia hanyalah...

Budak.

***

Jangan lupa vomentnya, ya.... Terus follow juga akunku. Thankyuu.

Budak CEO TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang