Part 9

60 4 0
                                    

Gue dan Ara kemudian menuju warung makan ga jauh dari kos-kosan kami. Cuma berjarak beberapa rumah dari bangunan kos kami, jadi ga perlu waktu lama untuk mencapainya. Sewaktu sarapan gue bertanya lagi ke Ara tentang apa yang membuatnya menangis tadi pagi.

“lo putus kenapa, Ra?” tanya gue sambil mengaduk-aduk es teh.

“biasa lah, posesif” jawabnya sambil memilih-milih gorengan di atas baki di hadapan kami.

“oh, masalah klasik ya? Hahaha”

“iya, kan lo tau sendiri tuh dari awal gue disini udah diribetin sama dia. Lama-lama jadi males gue dicurigain terus” sahutnya sambil menggigit gorengan.

“enak ya masih ada yang curigain, gue mah ga ada yang mikirin”

“salah siapa jomblo” Ara terkikih, “tapi menurut gue lebih enak jomblo daripada punya pacar tapi kesiksa” dia menepuk-nepuk tangan gue, menenangkan kegalauan gue.

“berarti kita sekarang sama-sama jomblo dong?” sahut gue sambil nyengir.

“gue mah jomblo berkualitas” balasnya.

“kalo gue?”

“lo jomblo karatan” tawanya meledak, menyemburkan sisa-sisa gorengan dari mulutnya dan menempel di tangan gue.

“ih jorok jorok ih, kalo ketawa ditutupin napa?” gue sewot sambil membersihkan tangan gue dari sisa-sisa gorengan.

“eh sorry ga sengaja. Hahaha”

“cantik-cantik kok jorok” sungut gue.

“yang penting gue cantik” Ara menoleh ke gue, menempelkan jari telunjuknya ke mulut gue, “dan lo ga usah berisik!” dia kemudian tertawa-tawa ga jelas.

Agak sakit nih anak, batin gue miris.

“lo udah berapa lama pacarannya?” tanya gue.

“setahun lebih dikit.”

“dari SMA dong?”

Ara mengangguk, “iya dari SMA, dia temen SMA gue kok.” dia meminum teh botolnya, “bahkan dia lebih muda daripada gue” katanya terkikih.

“serius?”

“iya lebih tua gue beberapa bulan doang sih tapi”

“lo ulang tahun kapan sih emangnya, Ra?” gue penasaran.

“4 Maret” dia meringis, “kalo lo?”

Gue tertawa. “masih tuaan lo juga kok”

“lo kapan emang?”

“18 September”

Ara tertawa lirih, kemudian memasang tampang genit ke gue. Dia bertopang dagu dan mengerdipkan sebelah matanya. “hai dik Gilang....” godanya.

Gue merinding. “ga usah panggil dik-dik, gue cuma beberapa bulan lebih muda daripada lo kali….” protes gue.

“abisnya gue geli aja cowok-cowok disekitar gue selalu lebih muda”

“ya tapi ga usah panggil dik-dik gitu, geli tau ga sih….” gerutu gue pelan.

Ara tertawa gemas, dan mencubit pipi gue pelan. Agaknya gue berhasil mengalihkan kesedihannya kali ini. Gue sengaja ga membalas, karena gue ikhlas dijadikan pelampiasan Ara. Entah apa yang mendorong gue berpikir demikian.

“lo kapan terakhir punya pacar, Gil?” tanyanya.

Gue berpikir sejenak.

“kelamaan lo pake mikir segala…” sambungnya ga sabaran. “ketauan nih udah lama ga punya pacar…” Ara tertawa puas.

Gue agak kikuk menjawabnya.

“sebenernya gue belom pernah punya pacar, Ra…” jawab gue malu-malu.

Ara tampak ga mempercayai apa yang barusan didengarnya. Mendadak dia berkonsentrasi lagi ke sarapannya, seakan gue ga pernah ngomong apa-apa. Mungkin dia butuh waktu untuk mencerna omongan gue barusan. Ada kesunyian yang cukup panjang diantara gue dan Ara.

Ara menoleh ke gue. “lo serius belom pernah punya pacar?”

Tuh kan dugaan gue juga apa. Ara dari tadi masih berusaha mencerna omongan gue. Dan ketika dia udah benar-benar memahami apa yang gue bicarakan, barulah dia menanggapi.

“belom, Ra” gue menggeleng, “emang gimana sih rasanya pacaran?” tanya gue tanpa dosa.

Ara menarik napas panjang, kemudian membalikkan badan ke gue sepenuhnya. Dia tersenyum manis dan matanya berbinar-binar.

“dik Gilang mau tau rasanya pacaran?” tanyanya penuh arti.

“emang kenapa gitu?”

“sini kakak ajarin” jawabnya dengan tawa puas.

“maksud lo?”

Gue benar-benar ga paham apa maksudnya. Melihat gue memandangi dia dengan bingung, Ara semakin puas tertawa. Dengan gemas dia mencubit pipi gue sekali lagi.

Ah, pagi ini cukup aneh buat gue.

Dunia Yang SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang