Part 17

47 3 0
                                    

Suatu sore yang mendung di awal tahun 2007.

Gue sedang duduk di kursi plastik kecil di depan kamar gue, sambil bersandar pada tembok, dan dengan segelas kopi panas yang baru saja gue seduh di tangan. Angin berhembus cukup kencang, gue rasa sebentar lagi akan turun hujan. Awan kelabu perlahan-lahan mulai bergulung datang, dan memaksa gue untuk menyalakan lampu kamar karena suasana semakin gelap. Lampu selasar lantai dua itupun juga mulai dinyalakan.

Secara ga sadar, gue menoleh ke kamar Ara, yang tertutup rapat. Sore itu katanya Ara pergi jalan-jalan dengan temannya, dan Ara siang tadi berpamitan dengan gue, maksudnya biar gue ga nyariin dia. Gue mengiyakan, namun di dalam hati gue bertanya-tanya, Ara pergi sama siapa. Karena satu hal yang baru Ara pergi sendiri tanpa mengajak gue. Selama setengah tahun belakangan ini kalau Ara pergi jalan-jalan, pasti selalu mengajak gue.

Hujan pun mulai turun dengan cukup deras, dan gue membawa gelas kopi tadi masuk ke kamar, karena balkon mulai sedikit basah terkena hujan. Gue merebahkan diri di kamar, dengan membuka sedikit pintu, agar sirkulasi udara tetap lancar. Perlahan-lahan mata gue mulai terasa berat, dan gue akhirnya tertidur.

Beberapa waktu kemudian, gue terbangun, karena ada suara penghuni kos di samping gue yang tertawa dengan keras. Dengan malas gue melihat jam di handphone, dan waktu menunjukkan pukul delapan malam. Gue bergegas bangun, keluar kamar dan menggosok-gosok mata di balkon, berusaha mengumpulkan nyawa gue yang masih beterbangan entah dimana. Hal pertama yang terlintas di pikiran gue adalah melihat kamar Ara. Gue menoleh ke kamarnya, namun kamar itu masih gelap dan tertutup rapat seperti sore tadi. Gue mendesah perlahan, dan mulai berpikir yang enggak-enggak tentang Ara. Gimana kalau dia kecelakaan? Gimana kalau dia diculik? atau, gimana kalau dia ternyata sekarang pergi sama cowok?, pikir gue cemas.

Gue kembali ke kamar, mengambil handphone dan duduk di kursi plastik seperti tadi sore. Pikiran gue bermain-main, bimbang antara keputusan SMS Ara atau enggak. Gue ga mau dianggap posesif, karena gue juga bukan siapa-siapanya Ara. Tapi di sisi lain gue juga khawatir, dan takut kehilangannya.

-lo dimana?-

Akhirnya gue memutuskan untuk mengetik SMS ke Ara. Singkat, tapi gue rasa itu cukup untuk menggambarkan perasaan gue waktu itu.

Lama gue menunggu, tapi SMS balasan dari Ara ga kunjung datang. Gue memutuskan untuk turun ke bawah, dan mencari makan malam sendiri. Karena gue malas makan di warungnya langsung, gue meminta dibungkus. Entah ada perasaan apa yang mendorong gue, di warung itu gue meminta dibungkus dua porsi. Satu untuk gue, dan satu untuk Ara. 

Setelah gue kembali ke kos pun Ara masih belum tampak. Gue sengaja belum memakan nasi yang gue beli tadi, karena gue berpikiran mungkin Ara juga belum makan, dan gue ingin menemaninya makan malam. Waktu itu jujur gue sama sekali ga tahu apa yang mendorong gue berinisiatif seperti itu.

Gue menunggu cukup lama di kamar, dengan bolak-balik berdiri bersandar di balkon sambil menyalakan rokok dan memandangi pintu gerbang di bawah. Entah berapa batang rokok yang sudah gue habiskan untuk itu. Gue memang waktu itu ga begitu perduli dengan kesehatan gue. Barangkali itu memang salah satu sifat buruk gue.

Setelah beberapa lama, gue menoleh ke bawah, sewaktu mendengar suara pintu gerbang berderit, dan terbuka. Dari atas gue melihat sosok Ara masuk ke halaman kos, dan kemudian melambaikan tangan ke seseorang yang ga bisa gue lihat di balik gerbang. Wajahnya terlihat bahagia. Ara kemudian menunggu beberapa saat, hingga motor yang membawanya pulang itu pergi dan menjauh, dan kemudian dia berjalan melintasi halaman, naik ke lantai dua.

Dunia Yang SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang