Lagi-lagi, si pria berantakan mendatangi kamarku dengan keadaan terluka. Aku yang awalnya tertidur nyaris berteriak zombie karena penampilannya yang sangat amat berantakan, ditambah beberapa legam juga tanah mengotori wajah tampannya.
Untung kali ini ia tidak berdarah. Ia nampak baik-baik saja dan seenaknya berjalan masuk, tanpa tahu malu merebahkan diri di atas ranjangku. Hei! Dia pikir kita sedekat apa sampai seenaknya mengunjungi kamarku?
Cony malah terlihat senang karena bisa bercengkrama dengan Ellios, dasar peri pirang!
"Hei! Kau tidak punya sopan-santun ya!?" Ucapku ketus menatapnya sangar. Ia memejamkan mata seolah tak terpengaruh dengan ucapanku.
"Aku lelah."
"Ya lantas kenapa? Apa hubungannya denganku? Pergi ke kamarmu sendiri!" Omelku dengan berkacak pinggang.
Arez malah mendegus, "tidak mau."
"Ini kamarku, sialan!"
"Kasar," celetuknya.
Ia menggeserkan tubuhnya ke tepi ranjang, kemudian menepuk-nepuk bagian kosong yang ada di sebelahnya, "tidurlah denganku."
"Hei brengsek!" Makiku padanya, dia benar-benar tidak tahu malu, berbincang saja jarang, sekarang ia malah mengajakku tidur bersama. Si gila ini perlu pengobatan.
"Jika tidak mau, yasudah, tidurlah di lantai," aku nyaris mengumpat kembali, bagaimana ada mahluk irit bicara yang sangat menyebalkan sepertinya.
Aku melihat beberapa legam di wajahnya, tampaknya itu sakit. Aku mendegus karena pada akhirnya mendekat, duduk di sebelahnya. Aku ini kenapa? Harusnya kubiarkan saja, kenapa juga harus peduli?
Dengan perlahan aku menyentuh lagi pipinya, si pria berantakan ini membuka mata, kembali menatapku lekat seperti sebelumnya, namun karena aku kesal, kucolok saja matanya.
"Aw!" Ia meringis memegang matanya, aku melihat tanganku, lalu memukulnya, dia nakal.
"Maafkan tanganku," aku membuka tangan yang menutupi wajahnya, lalu menyentuhnya perlahan, aku nyaris tertawa ketika matanya bercahaya, ini seperti film yang banyak ku tonton.
Merah di matanya mulai menghilang, aku memukulnya pelan, "jangan terluka terus tuan!" Ketusku.
Arez beringsut duduk, ia mentapku membuat aku ingin kembali mencolok matanya, namun karena malas mengulang hal yang sama aku diam saja.
"Maukah kau membuat perjanjian denganku?" Tanyanya kemudian.
Aku mengernyit, perjanjian apa?
"Kau harus terus mengobatiku, dan aku akan membantumu mendapatkan kekuatanmu."
Ia nampak meyakinkan, aku memikirkannya langsung. Sebenarnya aku tidak butuh kekuatan, tapi mengingat semua ujian disini sebagian besar menggunakannya, aku jadi kepikiran.
Tawaran yang bagus sepertinya. Ia sangat piawai merayu. Aku mengacungkan jempol, "setuju!"
Meskipun begitu, ia tetap mempertahankan wajah datarnya itu. Aku rasa pria berantakan ini tidak mempunyai ekspresi kecuali datar.
"Bolehkah aku bertanya, kenapa kau bisa terluka?" Aku mencoba menanyakan hal yang mengganjal di hati. Namun ia menggeleng tanda tidak menerima pertanyaan, aku mendegus kemudian meliriknya sinis.
"Hei tunggu! Kau tidak akan menghanguskanku kan?" Aku bertanya was-was melihat kekuatannya di atas podium tadi, bisa saja kan ia berniat jahat.
"Kau sendiri tidak akan menggigitku kan?" Ucapnya kembali bertanya.
Aku mendegus memukul lengannya keras, ia meringis kemudian kembali merebahkan diri.
Dasar.
🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
Academy of Talent
FantasyEpione tak pernah tahu, saat ia menginjakkan kaki di Fantasia, hidupnya akan berubah sepenuhnya. Banyak hal yang tidak ia ketahui, apalagi yang tidak ia pahami. Ia belum tahu kekuatan apa yang sebenarnya ia miliki sampai seorang pemimpin negeri Zeo...