Aku terbangun lagi-lagi karena alarm otomatis Fantasia, dengan malas beranjak duduk, namun sesuatu yang aneh terjadi disini, bukankah semalam ada tamu tak diundang? Ah benar, si Arezio, dimana pria berantakan itu?
Cony masih terlelap di atas nakas, nampaknya ia juga kelelahan karena aku menyuruhnya mengambil pakaian pria di kamar Arezio, bahkan menyuruhnya bolak-balik mengganti air yang telah berubah warna dengan yang lebih bersih.
Dengan malas aku beranjak menuju kamar mandi, lalu membersihkan diri sebentar, saat selesai aku keluar hanya dengan memakai handuk, mengambil seragam yang sesuai untuk hari selasa, kemeja biru dengan jas abu abu serta rok hitam polos sepuluh centi di atas lutut.
Aku memakainya lalu membangunkan Cony, ia tidak boleh melewatkan jatah sarapan. Peri pirang itu hanya cukup mencuci muka lalu mengikutiku.
Lagi-lagi saat membuka pintu, kudapati Felicia dengan cengiran khasnya menungguku, gadis ini memang aneh.
"Kau mau belajar atau mau mangkal hm?" Aku meledeknya karena memakai lipstik merah menyala.
Ia terkekeh dengan candaan, yang sebenarnya bukan candaan yang aku lontarkan, "biar cantik lah, tidak sepertimu yang kurang gaya."
Aku mendegus tak peduli, di belakang kami ada Cony yang berkenalan dengan Hasha, peri berambut pendek milik Felicia, mereka nampak berceloteh ria yang tidak di dengar manusia dalam pendengaran normal.
Kafetaria sudah banyak dipenuhi, aku serta Felicia mengambil makanan terlebih dahulu kemudian memilih duduk di bagian pojok.
"Aku sedikit heran, bukannya abad ini cukup mampu dengan teknologinya, kenapa disini mereka membuat kita mengambil makanan sendiri alih-alih menggunakan alat otomatis?" Felicia menyuarakan apa yang ada di pikirannya.
Dengan tak berminat aku menjawab, "otakmu dangkal sekali ternyata," aku menggigit roti lapis yang ada di tanganku terlebih dahulu, "kalau semua memakai teknologi canggih, lantas untuk apa kita hidup?"
"Aku bahkan salut dengan Fantasia, mereka masih menganggap kemanusiaan lebih tinggi dari alat buatan," jawabku lalu mendecih saat melihat Felicia nampak tidak paham.
"Begini, kau tahu kenapa manusia di abad sebelum kita memiliki umur panjang?" Aku bertanya namun di jawab gadis ini dengan gelengan.
"Wah, tak kusangka kau ini sangat dungu," ujarku malas lalu menguap lebar, "karena mereka masih menggunakan tubuh mereka untuk bertahan hidup, lantas zaman sekarang? Bahkan untuk berjalan bisa digantikan oleh alat. Lalu apa yang yang akan kita lakukan selain berdiam diri menunggu mati?"
Penjelasanku membuatnya melebarkan mata paham, ia mengangguk membenarkan lalu menunjukkan dua jempolnya padaku. Aku hanya meliriknya lalu kembali menyantap sarapanku.
Cony dan Hasha nampak menikmati makanan di bagian khusus peri, melihat mereka semua berkumpul, mengingatkanku akan film abad 21 dimana kemustahilan mereka dianggap ada selain dongen pengantar tidur.
"Jika kita tidak bisa kembali ke dunia awal, bagaimana dengan kue ibumu?" Aku bertanya karena merasa resah, jika tidak bisa menikmati lagi kue ter-enak sepanjang masa.
Felicia mengerutkan kening, "hei, dia bisa mengunjungiku, ditambah kurir dua dunia secepat kilat itu, kau tenang saja!" Jawabnya membuatku mengangguk lega, setidaknya aku tidak kehilangan semangat untuk hidupku.
Belum aku memasukkan roti lapis itu kembali ke dalam mulut, seseorang duduk di sebelahku membuatku reflek menoleh, itu pria berantakan yang terluka tadi malam.
Ia nampak duduk memakan sarapannya tanpa menghiraukan aku, dasar!
🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
Academy of Talent
FantasíaEpione tak pernah tahu, saat ia menginjakkan kaki di Fantasia, hidupnya akan berubah sepenuhnya. Banyak hal yang tidak ia ketahui, apalagi yang tidak ia pahami. Ia belum tahu kekuatan apa yang sebenarnya ia miliki sampai seorang pemimpin negeri Zeo...