Hari ini, Jovita pulang lebih cepat. Ia pulang bareng Yerina karena anak itu ingin mampir ke rumah. Sedangkan Willy, dia masih ada kelas full sampai sore. Yerina sudah pamit pulang beberapa menit yang lalu, meninggalkan Jovita, ayahnya dan ibunya di ruang tamu. Suasana yang ia rindukan.
"Jovita wisuda kapan, sih?" tanya sang ayah.
"Skripsi aja belum" jawab Jovita.
"Masih lama pokoknya, Pa" timpal sang ibu.
"Duitnya cukup gak ya, kira-kira untuk kuliah Jo?"
"Cukup, Pa. Jovita gak ngekos gini" jawab ibunya.
"Papa sudah tidak kerja, tetapi pikiran papa masih tentang uang untuk kehidupan kita semua. Kita sekarang makan pakai uang pensiunan papa sampai kamu wisuda, Jo"
"Tenang aja, masih ada tabungan untuk pendidikan Jovita nanti, Pa. Gak usah dipikir berat begitu, ya" ujar ibunya Jovita.
Jovita tersenyum. Ia memikirkan bagaimana harus membalas semua ini. Meningkatkan nilai dengan belajar lebih giat dan kerja di tempat yang bagus, itu jelas akan menyenangkan orang tuanya.
"Aman-aman, santai aja" celetuk Jovita ikutan.
"Ngomong-ngomong, kamu udah punya pacar belum?" Tanya sang ayah.
Jovita tertawa, "aku? Punya pacar? Ahahaha"
Ibunya melirik, "bohong. Itu si Willy? Anak kos sebelah? Dosa, loh"
"Mama! Aku cuman temenan sama dia" bantah Jovita.
"Apanya yang temenan? Pantasnya pacaran"
"Willy siapa, Ma?" tanya sang ayah penasaran.
"Anak kosnya Pak Joko di sebelah. Dia gak tau dari mana. Kuliahnya juga sekampus sama Jovita. Ganteng, putih, tinggi. Sering kok lewat depan" jawab ibunya.
"Weiss, si gembul bisa narik anak ganteng kayak gitu? Pakai pelet apa, Jo? Aduh, papa jadi penasaran sama Willy itu"
"Apaan sih?! Aku gak suka, tau"
"Halah"
"Udah ah, aku males di sini. Mau ke dapur" Jovita pergi. Dia merajuk. Ibunya menyusul. Jovita tengah membuka kulkas.
"Cari apa?" tanya ibunya membuat Jovita kaget. "Cari cemilan. Mama ngapain ke sini?"
"Suka-suka mama, dong"
"Ih!"
"Dasar, calonnya Willy"
"Enggak, mama"
"Ih, kalian berdua cocok tau. Udah kayak suami-istri"
"Enggak sama sekali"
"Willy baik, loh. Masa kamu gak suka? Udah baik, ganteng, pintar. Sayang banget, deh" tanya ibunya membuat Jovita diam. Mengingat kejadian kemarin. "Dia mau bantu kamu lupain si bego siapa itu? Candra? Udah baik-baiknya orang" lanjut ibunya.
Jovita masih diam sambil membuka botol susu. Ibunya sedang ingin mengambil buah.
"Kalau kamu mau suka sama dia, gak masalah, Jo. Mama setuju banget. Masalah dia suka sama kamu apa enggak ya belakangan. Yang penting, kamu sadari aja Willy itu baik banget. Perjuangin dulu"
Setelah berucap seperti itu, ibunya Jovita kembali ke ruang tamu dengan nampan berisi semangka. Meninggalkan Jovita sendirian di dapur dengan pikiran yang tertuju kepada Willy.
*****
Willy baru saja ingin pergi ke warung dengan sepeda motornya dari wilayah kosnya. Baru beberapa langkah, ada bapak-bapak yang memanggilnya. Willy membalasnya dengan ramah.
"Ini to yang namanya Willy?" tanya bapak tua itu yang sedang bercengkrama dengan bapak pemilik kosnya dan bapak-bapak lainnya.
"Iya, Pak"
"Panggil 'om' aja gak pa-pa, Wil. Saya Setiyadi, papanya Jovita" Setiyadi mengulurkan tangannya, ingin berjabat tangan dengan Willy. Tentu saja langsung dibalas Willy. "Ya udah, kamu pergi lagi sana" ujar Setiyadi-papanya Jovita-membuat Willy meringis lalu pergi.
"Itu kenapa Willy nya dipanggil, Mas?" tanya Pak Joko.
"Saya ngetes aja, Pak. Ngetes teman-temannya Jovita" jawab Setiyadi.
"Oh, begitu"
"Kalau ada yang saya kenal lagi juga saya sapa lagi" lanjut Setiyadi beralibi. Di pikirannya, ternyata Willy hampir mendekati kata sempurna. Putih, tampan, tinggi semampai, anaknya baik dan sopan. Luar biasa sekali Jovita bisa memikat hati lelaki seperti Willy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky and Land
Teen FictionIn his eyes, we are look like sky and land. And in my eyes, we are still look like sky and land.