Semoga, Ya

215 43 13
                                    

Kejadian kemarin membuat Jovita malas melakukan apa-apa. Ibunya bahkan sampai bingung, putrinya ini kenapa. Melihat ia berubah jadi kurus saja sudah membuat ibunya pusing. Ya, putrinya memang sudah beranjak dewasa. Namun, tak disangka jika ia akan melakukan ini semua. Jovita juga jadi jarang makan, kadang-kadang membolos dan sering bermain keluar bersama Yerin. Ada yang aneh, batin sang ibu tiap melihat tingkah laku putrinya itu.

Seperti hari ini, hubungan antara Jovita dengan Willy mendadak jadi renggang. Aura buruknya terpancar sampai sang ibu bisa merasakannya. Jovita lebih sering menghindari Willy terutama saat berangkat kuliah. Sang ibu rasanya ingin ikut campur masalah ini. Namun, jelas tidak bisa. Ini privasi keduanya dan urusan anak muda. Jika ia ikut campur, Jovita bisa mengamuk, suaminya ikut menyalahkannya.

"Jovita!" sang ayah terus mengetuk pintu kamar Jovita. Sayangnya, tidak ada jawaban. Sampai akhirnya mereka berdua tak sabar dan ayahnya Jovita mendobrak pintu kamar putrinya.

Brakk!!

Pintu kamar terbuka, tetapi tak menunjukkan adanya kehidupan kecuali kipas angin yang menyala. Orang tuanya Jovita mulai panik. Mereka melihat jendela kamar terbuka dan langsung membuat ayahnya berteriak khawatir. Jovita turun lewat balkon kamarnya tanpa disadari keduanya. Sang ibu menangis dan mulai cemas. Tidak biasanya putrinya begini, meskipun memang dikenal bandel.

"Mama, jangan nangis, ah!" omel ayahnya Jovita.

Sang ibu tetap saja terisak. "Gimana mama gak nangis?! Putri kita, Pa. Putri kesayangan kita dia pergi gak tau kemana!" ujar sang istri dengan nada tinggi.

Ayahnya Jovita mengacak-acak rambutnya frustasi. "Kemana perginya sih tuh anak?! Udah ninggal hp lagi" ujarnya frustasi.

"Papa, ayo kita ke kantor polisi" pinta ibunya Jovita.

Ayahnya Jovita menoleh, menatap datar istrinya itu. Ia mengeraskan rahangnya, menahan emosi dalam dirinya. "Kalau Jovita pulang, jangan marahin dia, ya" pintanya lagi. Ayahnya Jovita pun mengangguk sembari menghela nafasnya kasar. Ia duduk di aksur putrinya.

"Dia pasti pulang. Pasti" ucapnya optimis dan meyakinkan sang istri.

*****

Jovita memang sengaja pergi jam 7 malam bahkan keluar lewat jendela kamarnya. Untung tidak ada yang melihatnya, terutama Willy. Bisa gagal rencananya untuk menenangkan diri. Jovita sengaja tidak membawa ponsel, tetapi ia membawa KTP dan uang dalam kantong celana olahraganya. Ia duduk di depan minimarket dekat pasar yang cukup jauh dari jangkauan rumahnya. Butuh waktu 15 menit untuk sampai sini dan Jovita sempatkan dengan naik ojek online. Ini kabur yang direncanakan. Ia tak membawa ponsel karena takut terus dihubungi dan nomornya bisa dilacak. Alhasil, tidak ia bawa.

Belakangan ini ia merasa bingung dan stres. Bukan hanya karena kuliah yang memusingkan, tetapi karena beberapa masalah pribadi. Ia meneguk sekotak susu pisang di depan minimarket, sembari kalut dengan pikirannya akan Willy. Dia lagi, dia lagi. Jovita mengaku kalah masalah laki-laki. Ia tidak pandai menaruh hati. Dulu, kepada Candra yang luar biasa kurang ajar karena sampai akhir hubungan mereka, Candra terus mengatur kehidupannya. Belum juga nikah, sudah ngatur-ngatur. Jovita tidak suka. Dan di akhir hubungan mereka, Candra sendiri terang-terangan jika ia lebih baik memilih perempuan lain ketimbang terus bertahan dengan Jovita. Dasar gila. Sekarang saja, terus menghubungi Jovita. Giliran Willy yang melukai hatinya. Sebenarnya, Jovita tidak punya hak untuk menyalahkan Willy karena ia dan laki-laki itu tak terikat hubungan apapun. Namun, tetap saja. Jovita merasa terlukai dan kembali sakit hati sama seperti waktu dulu, menangis dan berbicara sendiri lalu ketahuan Willy. Tuh kan, Willy lagi. Makanya, Jovita tidak akan mengulangi itu lagi. Lebih baik ia menenangkan diri dengan menatap lurus ke depan dan ada yang menghampiri.

Sky and LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang