Pernah gak sih, kalian merasakan betapa malasnya melakukan sesuatu yang itu-itu saja dan bagi kalian ini sangat membosankan? Terlebih ada sesuatu yang semakin membuat mood menjadi buruk. Dan Jovita merasakannya. Hari ini, dia ada kelas pagi. Jadi, mau-tidak mau harus bangun pagi dan siap-siap lebih cepat. Mandi, pakai baju, touch-touch sedikit saja, lalu selesai dan menuju ruang makan untuk sarapan.
Wajahnya tak kunjung tersenyum lagi setelah mengingat kejadian ia mendapati Willy bersama mantan kekasihnya. Ya, itu bukan urusannya seharusnya. Karena itu kan urusan Willy dan dia bukan siapa-siapanya. Namun, Jovita merasa kesal karena Willy sudah memberi harapan untuk Jovita. Bagaimana tidak, perlakuan Willy selama ini kepadanya tidak wajar jika dibilang mereka adalah teman saja. Jovita terlanjur baper. Willy juga. Sayangnya, ada sesuatu yang perlu dibenahi.
"Nambah lagi gak?" tanya sang ibu. Jovita menggeleng pelan. Wajahnya masih lesu.
"Kamu kenapa, sih? Stres?" tanya ayahnya sarkas. Mulut Teo memang sering begitu juga.
"Iya" jawab Jovita sekenanya.
"Ada masalah apa, sih? Perasaan, mama sama papa gak ada salah sama kamu" ujar Teo menjelaskan.
"Enggak, kok. Mama sama papa gak salah apa-apa" jawab Jovita.
"Terus?" tanya Teo lagi.
"Mungkin, aku capek aja. Capek kuliah" jawab Jovita lagi.
"Kayaknya kamu perlu pacar, Jo. Jadian, gih! Sama Willy" ujar ibunya iseng. Jovita berdecak sebal.
"Aku berangkat ya, Pa, Ma" Jovita bangkit berdiri. Ia mencium tangan kedua orang tuanya.
"Naik apa?" tanya Teo.
"Ojol, Pa" jawab Jovita.
"Gak sama Willy?"
"Enggak" jawabnya singkat, lalu beranjak dari sana. Teo dan sang istri saling melempar tatapan. "Ada apa, sih?" tanya teo.
"Gak tau" jawab istrinya sambil mengangkat kedua bahunya.
"Aneh" gumam Teo.
Mamanya Jovita mengangkat kedua bahunya. "Udah, biarin aja. Urusan anak muda itu, Pa" katanya.
"Loh, papa juga masih muda" celetuk Teo.
"Iye" balas sang istri kencang.
*****
Jovita menunggu ojeknya tiba. Ia sudah order, dan perkiraannya ojeknya tak akan lama lagi tiba. Namun, saat ia sedang menunggu ojeknya itu, Willy lewat begitu saja. Hah? Dia lupa ya kemarin yang mengemis minta berangkat bareng siapa? Ah, dasar laki-laki. Semuanya sama saja. Jovita sudah hafal dengan semua laki-laki, semenjak putus dari Candra dan mengenal William yang ternyata begitu rupanya. Ingin balikan dengan mantan?
Sabar Jovita, sabar.
Tak lama, ada motor dengan driver berjaket hijau.
"Dengan Mbak Jovita, ya?"
"Ya" jawab Jovita sambil tersenyum ramah, lalu ia menerima helm dan naik ke motor. Ia akan berangkat ke kampus.
*****
Willy berangkat lebih pagi dan sedikit terburu-buru karena ada urusan bersama dengan teman-teman seangkatannya. Setelah KKN, masih ada yang perlu diselesaikan. Setelah itu, benar-benar tuntas, tinggal urusin skripsi.
"Willy!"
Suara perempuan dengan volume menggemaskan, Irene namanya. Ia mantan kekasih Willy yang sempat menjalin hubungan sebentar saja tidak lama, tapi ternyata Irene masih ingin mengejarnya. Dulu, mereka putus karena Willy bosan dan tidak suka dengan cara Irene memperlakukannya, terlalu belebihan, katanya. Willy menatapnya datar. Irene mendekat.
"Mau masuk, kan?" tanya Irene.
Ya menurut ngana aja, batin Willy. Namun, ia tak merespon. Ia masih fokus merapikan jaketnya yang ia masukkan ke dalam jok.
"Bareng sekalian, ya?"
"Emang lo gak ada temen?" tanya Willy.
"Jutek amat sih, Wil. Kayak sama siapa aja" celetuk Irene.
Selesai merapikan, Willy langsung pergi begitu saja. Irene kesal tentunya. Namun, atensinya tak sengaja menemukan kunci Willy yang masih tergantung di motor. Irene terkekeh pelan. "Ceroboh banget" gumamnya sambil mencabut kunci itu dan setelahnya ia menghampiri Willy.
"Willy! Lo gak lupa sesuatu?"
Tidak dijawab.
"Willy..."
Yang dipanggil berhenti sebentar. Menatap kesal Irene. "Mau lo apa, sih? Gue buru-buru, nih"
"Lo gak lupa sesuatu?"
"Apa?" balas Willy balik bertanya.
Irene tersenyum sambil menunjukkan kunci motor Willy.
"Lah..." Willy ingin mengambilnya, tapi Irene menghindar dan jalan mendahului Willy.
"Urusin dulu tuh yang belum keurus, baru ambil kuncinya. Ehehehe" ujar Irene sambil berlari kecil.
Willy menghela nafasnya kasar. Masih tidak paham apa maunya Irene. "Mengganggu saja, dasar menyebalkan" geramnya pelan karena kesal bukan main.
Sedangkan di tempat lain, Jovita langsung masuk ke kelas dan sudah bersama Yerin tentunya. Tidak banyak bicara. Rasanya, Jovita sedang di fase malas apa-apa dan bosan. Lebih tepatnya, ia lelah tanpa sebab. Ia menopang dagu dengan tangannya. Yerin sedang membaca novel, jadi tidak mengusik keheningan Jovita karena ia tahu mood anak itu sedang tidak baik-baik saja.
Kelas pun dimulai saat banyak anak-anak sudah masuk dan mengisi bangku kosong, disusul dosen yang siap mengajar.
"Ah, males banget"
*****
Selesai kelas, seperti biasanya Jovita duduk di kantin atau biasanya di warung dekat kampus bersama Yerin. Tapi, untuk hari ini dia memilih kantin.
"Eh, makan. Lo beli soto mie buat apaan kalo cuman dipelototin doang?" celetuk Yerin gregetan melihat Jovita yang tak kunjung makan
"Nanti gue gemuk" balas Jovita.
"Heh, emang kenapa kalo lo gemuk? Ini udah kurus, mendingan dulu, dah" ujar Yerin.
Jovita menatap Yerin. "Capek-capek gue diet biar nyaingin Irene, masa gue dengan cepatnya balik gemuk lagi? Harus gue pertahankan, nih!"
"Oh, jadi karena Irene. Lo cemburu?"
"Eh? Enggak, ah!" bantah Jovita.
"Heh, udah deh mikirin Willy nya. Emang cowok di dunia cuman dia doang? Kalo dia mau balikan sama Irene ya udah--"
"Gak bisa, Rin!" tolak Jovita.
"Dih, ngapa?" tanya Yerin iseng.
"Gue gak mau perasaan ini terlanjur dipermainin. Gak mau" ujarnya menjawab, lalu makan dengan begitu lahap. Yerin hanya mendengkus sambil menggeleng heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky and Land
Teen FictionIn his eyes, we are look like sky and land. And in my eyes, we are still look like sky and land.