Jovita masih memikirkan, apakah dirinya begitu jahat dengan melakukan hal yang ia lakukan kemarin kepada Willy? Dimana ia kesal dan menangis. Semuanya campur aduk. Ia kesal karena tak bisa menolak Willy yang mengajaknya pergi. Di pinggir jalan, selesai makan batagor, Jovita tak peduli dengan pandangan orang lewat. Ia kesal, ia menangis sampai Willy mempersilahkan dirinya sendiri untuk dipukuli. Lalu, jika ia minta maaf, apakah akan diterima Willy? Apakah nanti hubungan mereka akan sama saja? Bisa gila dia kalau mikirin ini terus. Ya memang, inilah jadinya kalau hubungan pertemanan diberi penyedap rasa yang dinamakan cinta. Suka bingung sendiri. Kadang, Jovita berpikir, apakah ini baik-baik saja? Apakah Willy serius? Ia tidak bisa berhenti berpikir dengan ini semua.
Sedangkan di lain tempat, orang itu juga masih memikirkan sejak sebelum ia tidur. Bagaimana caranya membuat Jovita kembali baikan lagi dengannya? Ia tahu kalau ia salah. Waktu itu, Jovita sudah bilang. Ya, walaupun Willy juga ingin Jovita memaklumi kesibukan seorang mahasiswa ujung sepertinya. Namun, tetap saja ada yang membingungkan. Belum lagi, Candra yang mulai ikut-ikutan.
"Gak kuliah, Wil?" tanya Hari.
"Nanti sore" jawab Willy.
"Jadwal kok berantakan gitu" ujar Hari berkomentar.
Willy menghela nafasnya panjang. "Ya gitu, Yah. Tergantung mood yang ngajar kayaknya. Sebel banget kalo udah diacak-acak jadwalnya" balasnya.
"Kamu kuliah juga ngikutin mood?" tanya Hari.
"Ya enggak, lah!" bantah Willy.
Kembali hening, Willy diam lagi. Ia menatap lurus ke atas. Posisinya sedang rebahan. Hari yang melihat pun bisa langsung menebak, pikiran anaknya sedang bertumpuk-tumpuk.
"Kamu mikirin tugas atau Jovita?" celetuk Hari membuat Willy menatap ayahnya langsung. Mengagetkan. Hari menyeringai, sudah tahu seperti apa putranya. "Lagi ada masalah apa, sih?" tanya Hari lagi.
"O-oh, gak ada apa-apa, tuh" jawab Willy bohong.
"Mau putus?" tanya Hari menebak.
"Pacaran aja belum" jawab Willy.
Hari terkekeh mendengarnya. "Cowok seganteng kamu? Belum punya pacar?" tanya Hari.
"Dulu pernah, Yah. Tapi gak serius. Aku sekarang mau serius. Capek pacaran gonta-ganti pasangan mulu" jawab Willy.
"Anak ayah sudah besar"
"Ya kan emang iya" balas Willy.
"Terus? Apa masalahnya? Kamu ditolak?" tanya Hari.
"Enggak"
"Lah?"
"Dia bilang gak tau, Yah" jawab Willy menjelaskan.
"Ya itu kode, dia masih mikir. Di saat kamu nanyain waktu itu, mungkin pikirannya lagi gak bisa diajak kompromi" ujar Hari. Willy hanya diam saja. "Mungkin nanti, dia akan jawab dengan keputusan bulatnya" lanjut Hari.
"Kalau aku ditolak?" tanya Willy.
"Ya terima aja" jawab Hari. Willy mendelik kepada ayahnya. "Ya terserah kamu. Mau ngejar juga bisa, gak juga terserah"
"Aku mau kejar, lah"
"Dia kenapa nolak kamu? Kan kalian udah dekat. Dia punya pacar?" tanya Hari.
"Kalau dia punya pacar gak akan aku deketin lah, Yah. Dia kayaknya marah sama aku"
"Kenapa?"
"Gak tau, aku juga masih mencari-cari kesalahanku sendiri" jawab Willy.
"Langkah yang bagus" ujar Hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky and Land
Teen FictionIn his eyes, we are look like sky and land. And in my eyes, we are still look like sky and land.