Enam

22 3 1
                                    

Ah sial, tugas kimia!

Reka bangkit dari ranjang lalu meregangkan badannya yang pegal karena sedari pulang ia hanya tidur-tiduran di atas kasur. Dengan malas ia segera mengambil tas yang tadi siang digeletakkannya begitu saja di depan lemari sebelum merebahkan diri di atas ranjang. Dengan tidak sabar Reka mencoba mencari buku latihan tugas kimianya tapi buku itu tidak ada. Ia kemudian mengangkat tasnya dengan posisi risleting terbuka untuk mengeluarkan seluruh isinya di lantai.

Seluruh isi tas tersebut berhamburan keluar tapi buku yang Reka cari tidak terlihat juga. Reka yakin membawanya tadi pagi, jadi kalau tidak ketinggalan di sekolah buku itu tentu harus ada di tasnya. Gadis itu mengguncang-guncangkan lebih keras meski tahu tasnya sudah kosong lalu melemparkan tas itu ke pintu kamar hingga menimbulkan suara yang cukup keras.

Ia menjambak rambutnya sendiri dengan kedua tangan setelah bisa mengingat bahwa buku tugas yang ia cari pasti lah tertinggal di kolong meja saat gadis itu mencoba mengerjakannya di jam istirahat. Kalau saja ia tidak buru-buru pulang, tentu kejadian ini tidak akan terjadi. Tugas itu harus dikumpulkan besok dan Reka bahkan belum mengerjakan lebih dari setengahnya. Meski datang sepagi apapun, ia tidak aka bisa menyelesaikannya tepat waktu apalagi pelajaran kimia ada di jam pertama.

"Sialan." katanya dengan nada rendah. "Sialan!" teriak Reka karena belum puas.

Gadis itu naik ke atas tempat tidur, merebahkan diri untuk meredakan emosinya yang serasa meledak. Namun, cara itu tidak terlalu efektif karena malah membuat Reka memikirkan banyak hal lainnya yang membuatnya tambah emosi. Gara-gara pernyataan cinta konyol itu, Aldi yang menyebalkan, bahkan ia bisa mengingat kembali aroma toilet pria tadi siang.

Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Awalnya terdengar ragu tapi makin lama makin jelas. Reka tidak merespon, bukannya tidak dengar hanya saja ia tidak ingin merespon. Beberapa saat suara ketukan di pintu itu hilang dan terdengar suara pintu yang dibuka sedikit.

"Kak?" Wina memasukkan kepalanya ke kamar Reka dari pintu yang terbuka sedikit. Tubuh gadis itu sangat kurus dan wajahnya hampir selalu pucat. "Kak?" katanya lagi dengan nada suara yang tidak kalah ragu.

Tidak mendapat jawaban membuat Wina membuka pintu kamar Reka lalu masuk. Dengan hati-hati gadis itu berjalan mendekati kasur tempat Reka berbaring untuk memastikan apakah kakaknya tidur atau tidak.

"Keluar." Kata Reka dingin. Meski kata-kata itu diucapkan dengan suara rendah, wajah Wina terlihat sangat kaget.

"Mami nyuruh turun buat makan malem." Wina mundur beberapa langkah mendekati pintu seakan bersiap kalau-kalau monster yang sedang berbaring di atas kasur itu mengamuk dan menyerangnya.

"Keluar gue bilang!" Reka berteriak dengan sekeras yang bisa.

"Iya kak." Wina mundur dengan panik dan menghilang di balik pintu.

Reka bangkit dari tempat tidurnya dengan rambut berantakan. Semua hal membuatnya kesal. Entah kapan hari-hari menyebalkan ini akan berakhir, apa ia perlu melakukan sesuatu?

*****

"Hari ini dateng pagi lagi, Neng?" Pak Agus, petugas kebersihan sekolah terlihat senang ketika melihat Reka datang pagi lagi hari ini. Lelaki itu bahkan berhenti sebentar dari aktifitasnya meyapu daun-daun gugur di lapangan.

"Iya Pak Agus. Buku tugas saya ketinggalan." Jawab Reka sekenanya meski begitu ia tersenyum cukup ceria. Meski senyum tersebut hilang beberapa langkah setelah ia melewati Pak Agus.

Reka berjalan cepat-cepat hampir sampai berlari karena mengingat tugas kimianya yang belum jadi. Sampai di depan pintu kelas, gadis itu tiba-tiba menghentikan langkah. Ia melihat ke kanan dan ke kiri lalu mengintip melalu jendela kelas. Ia khawatir jangan-jangan Aldi lagi-lagi menunggunya di sana. Reka tidak tahu segila apa Aldi itu, tapi dari sudut pandangnya, lelaki itu terlihat cukup gila.

Untungnya tidak ada tanda-tanda bahwa Aldi ada di sana jadi Reka bisa tenang masuk ke dalam kelas untuk mengerjakan tugasnya. Betul saja, buku latihan kimia yang sedari tadi malam ia cari ada di dalam kolong meja. Reka cepat-cepat mengeluarkan alat tulis dan buku paket lalu mulai mengerjakan tugas yang harus ia kumpulkan pagi ini.

"Reka?"

Tubuh Reka menegang mendengar seseorang memanggil namanya. Gadis itu langsung melihat ke ambang pintu di mana sumber suara itu berasal. Juna ada di sana. Berdiri sambil memegangi kusen pintu. Rambutnya basah seperti habis keramas dan mulutnya sibuk mengunyah sesuatu.

"Ngapain lo di sini?" tanya Reka sengit. Agak kesal karena kehadiran Juna yang tiba-tiba membuatnya kaget.

"Nggak ada sih. Cuma pengen tahu aja siapa yang datang sepagi ini." Juna tersenyum lebar lalu berjalan ke arah Reka. "By the way lo lagi apa?" kata lelaki itu penasaran.

Reka melepaskan polpen yang ia gunakan untuk mengerjakan soal. Ia curiga pada lelaki yang sedang berjalan ke arahnya tersebut. Apa maunya? Juna tidak punya alasan yang cukup kuat untuk mencari masalah dengannya pagi-pagi. Atau, laki-laki itu mau membahas kejadian kemarin?

Tidak ada yang menjamin bahwa Juna adalah orang baik yang mau menyimpan rahasia orang begitus aja. Bagaimana kalau ternyata lelaki itu punya motif lain? Mungkin seperti lelaki itu menyukai Reka dan ingin sesuatu seperti balasan?

"Tugas kimia? Gue udah selesai. Mau pinjem?" Juna tahu-tahu sudah ada di sebelah meja Reka saat gadis itu sedang berpikir yang aneh-aneh.

"Nggak, makasih." kata Reka, masih curiga dengan motif lelaki itu menghampirinya.

"Gue sih nggak maksa." Juna duduk di kursi depan meja Reka dengan posisi menyamping. Lalu mencopot ransel dan meletakkan ransel itu dipangkuannya. Ia merogoh buku latihan kimia walau tadi sudah ditolak oleh Reka. "Yakin nggak mau?" katanya lagi kini dengan buku tugas di tangan kanan.

"Nggak Jun, makasih banyak ya. Tapi gue yakin bisa bikin sendiri." Reka mencoba sopan, menahan diri walau sebenarnya ia ingin mengusir lelaki di depannya ini.

Tugasnya belum jadi dan ia tidak punya waktu untuk meladeni laki-laki yang masih belum jelas tujuannya ini.

Juna meletakkan buku latihannya di atas meja tepat di sebelah buku Reka. Lalu membuka halaman untuk melihat tugasnya sendiri.

"Nomor tujuh salah hitung deh kayaknya." Katanya pada Reka.

Reka menghela napas, ia harus sabar. Laki-laki itu memegang aibnya, ia tidak boleh meledak kalau tidak ingin hal-hal menyebalkan lain terjadi pada dirinya.

"Serius. Lo salah hitung." Katanya lagi.

Reka yang mulai kesal hanya bisa menghela napas. Meski begitu, gadis itu tetap memeriksa jawabannya.

"Bener kok." Katanya cuek lalu lanjut mengerjakan soal yang lain.

"Salah." Juna kekeuh. Lelaki itu merobek pertengahan bukunya lalu mulai menunjukkan hitungan Reka yang salah. "Salah kan?" terlihat bangga. "Udah liat tugas gue aja. Ngerjain cepet-cepet begini jadi nggak teliti kan."

"Oke." Omongan Juna ada benarnya. Tidak ada salahnya juga menyalin tugas Juna untuk kali ini saja. Reka tidak akan sempat menyelesaikan semua soalnya jika ia harus mengerjakan sekarang sendirian. "Tapi gue nggak mau punya hutang budi, ya. Gue traktir makan siang pas pulang nanti." Katanya. Lalu kemudian menyesal. Harusnya Reka menjanjikan hal lain.

"Oke." Kata Juna tidak menyembunyikan senyum di wajahnya.

*****

Beauty OutsideWhere stories live. Discover now