Empat

19 3 1
                                    

Matahari masih malu-malu dan udara sisa semalam masih sangat dingin. Pintu gerbang sekolah sudah terbuka tapi sepertinya belum ada yang datang.

Reka memperhatikan pantulan wajahnya di cermin bulat dengan gagang berwarna merah muda. Merasa ada yang kurang, gadis itu meraih bedak di pouch make up miliknya lalu menepuk-nepuk ringan pipinya dengan spons bedak. Kemudian, ia sapukan sedikit blush on berwarna pink coral di pipi dan dilanjutkan dengan lipgloss berwarna senada. Gadis itu memperhatikan wajahnya sekali lagi, senyumnya mengembang, tanda bahwa ia sudah cukup puas.

"Saya turun sekarang, Pak." katanya pada sopir yang dari tadi sudah bosan menunggu.

Udara dingin terasa menusuk ketika Reka turun dari mobil. Ia tidak pernah berangkat ke sekolah sepagi ini. Gadis itu merapatkan kardigan berwarna baby blue miliknya lalu berjalan cepat-cepat memasuki area sekolah.

"Tumben dateng pagi, Neng." Seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu menyapa Reka gadis itu masuk melalui pintu gerbang.

"Iya nih Pak Agus, saya piket hari ini." kata Reka dengan alasan sekenanya. Merasa bangga karena bisa mengingat nama petugas kebersihan sekolah yang menyapanya.

Pak Agus sedikit terkejut kemudian tersenyum lebar. Jarang-jarang ada siswa yang mengingat namanya. Tidak banyak siswa yang mau mengingat nama dari seorang petugas kebersihan sekolah, seakan keberadaan mereka tidak penting.

"Saya duluan ya Pak." Reka lantas berjalan cepat-cepat ke kelas. Ia tidak ingin dilihat oleh murid lain. Ia ingin melewati hari ini dengan tenang.

Dalam perjalanannya menuju kelas, kekesalan Reka pada Aldi muncul kembali. Gara-gara lelaki sok kegantengan itu, ia harus sampai repot-repot dan berangkat pagi seperti ini. Kemarin, setelah penembakan yang menggegerkan satu sekolah, siswa lain tidak berhenti menanyainya. Dirinya dijadikan bahan pembicaraan di mana-mana bahkan beberapa kakak kelas terang-terangan mendatangi kelasnya untuk melihat sosok yang baru saja ditembak oleh cowok paling populer di sekolah itu.

Meski begitu, Muning yang paling cerewet. Gadis itu tidak henti-hentinya menanyakan siapa lelaki yang disukai Reka sampai-sampai menolak Aldi yang menyatakan cinta di tengah lapangan. Bahkan ketika sudah pulang, teman mungilnya itu masih juga meneror Reka melalui pesan singkat.

Gara-gara lelaki itu. Gara-gara lelaki sok kegantengan itu, hari-hari Reka yang seharusnya tenang menjadi terganggu. Begitu juga tidur malam Reka yang berharga jadi terusik.

Begitu sampai di depan pintu kelas, Reka diam sebentar. Gadis itu celingak-celinguk memastikan bahwa belum ada siswa yang datang selain dirinya. Ia juga mengintip dari pintu, memastikan belum ada siswa kelasnya yang datang.

Lega. Kelas masih kosong. Reka berjalan dengan santai ke bangkunya. Ia duduk dan menghela napas. Rasanya lelah sekali padahal ia baru saja memulai hari. Apakah perlu ia sampai repot-repot bersembunyi seperti ini? Toh ia tidak melakukan kesalahan apa-apa.

Reka menggeleng keras. Ia harus bersembunyi seperti ini setidaknya sampai beberapa hari ke depan. Setidaknya hanya hal itu yang bisa ia lakukan agar para siswa cepat melupakan kejadian konyol tersebut. Ia harus 'menghilang' untuk sementara waktu agar tidak memancing keingintahuan siswa lain.

"Jadi siapa cowok yang kamu taksir itu?"

Reka kaget setengah mati. Bukan hanya suara, Reka merasakan napas hangat seseorang di udara sedingin ini tepat di sebelah telingaanya. Sayangnya kekagetan Reka lebih dulu diteruskan ke sum-sum tulang belakang bukan otaknya dan langsung menuju saraf motoris. Hal itu menimbulkan gerak refleks yang gadis itu tidak sadari. Sehingga bukan mengidentifikasi siapa yang punya suara, ia malah secara tidak sadar melemparkan buku yang baru saja ia keluarkan dari tas ke arah sumber suara.

Suara kedebuk yang sangat keras terdengar pertama kali, suara teriakan lelaki adalah yang kedua kali dan suara buku paket Reka yang jatuh ke lantai adalah yang terakhir.

"Sakit tau! Dasar gila!"

*****

"Ada apa lagi sih?" Awalnya Reka ingin minta maaf, namun melihat wajah Aldi membuatnya tidak merasa perlu untuk melakukannya. Lelaki itu yang salah, gadis manapun tentu akan bereaksi seperti itu dalam situasi tadi. Di kelas yang sepi dan tiba-tiba seorang laki-laki berbisik tepat di telingamu, wanita manapun tentu akan melempar apa saja yang ada di tangannya.

"Seenggaknya lo minta maaf dulu kek." Kata Aldi sambil mengusap wajahnya. Aldi memang pernah ditampar sekali oleh gadis yang ia beri harapan palsu, tapi ini pertama kalinya ia dipukul di wajah, seluruh wajahnya dengan sebuah buku paket.

Reka memandang Aldi yang duduk di bangku sebelah dari atas ke bawah. Pakaian seragam berantakan, jaket lusuh kebesaran dan rambut yang seperti orang bangun tidur. Apa iya lelaki gila ini tidur di sekolah?

"Apa?" katanya nyolot. "Lo seharusnya minta maaf." Kata Aldi sekali lagi. Wajahnya masih juga terasa sakit.

Reka menggeleng. Menegaskan bahwa ia tidak ingin minta maaf. "Seharusnya gue yang terima permintaan maaf dari lo bukan sebaliknya." Jawab Reka. Ia alihkan pandangannya dari Aldi ke bukunya yang masih ada di lantai. "Lo yang tiba-tiba bikin kaget dan buku gue masih baru."

Kini Aldi yang menggeleng, merasa tidak percaya dengan situasi yang ia alami pagi ini. Bukan hanya ditolak mentah-mentah, ia juga dipukul dengan buku hingga serasa hidungnya akan patah dan tidak menerima permintaan maaf. Baru gadis di depannya yang berani berbuat seperti itu pada dirinya. Wajah tampannya serasa diinjak-injak.

Reka tidak peduli, ia sudah cukup merasa kesal pada lelaki sok kegantengan itu. Ia hanya ingin hari yang tenang, tapi belum-belum memulai hari Aldi sudah berbuat ulah lagi. Gadis itu beranjak dari bangkunya untuk mengambil buku paket biologi yang baru ia beli beberapa hari ini. buku itu tertekuk dan kotor di lantai.

"Lo harus tanggung jawab." kata Aldi saat Reka sedang mengangkat buku di lantai.

"Maksudnya lo yang harus tanggung jawab?" Reka mengangkat buku barunya yang berubah mengenaskan pagi ini. "Gue udah bilang ini buku baru. Sayang banget harus kena muka lo."

"Lo ada gangguan ya? Atau lo buta? Nggak bisa liat muka gue?" Aldi tidak terima. Ia berdiri karena emosi. "Ngomong-ngomong sifat lo ternyata kasar ya? Nggak kayak rumornya."

Reka tampak bingung dan sedikit kaget, tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud sang lawan bicara. Jadi, dibanding repot-repot menanggapi, Reka balik duduk ke kursinya dan sibuk meluruskan bukunya yang tertekuk.

"Gue lagi ngomong sama lo." Aldi berdiri, tangannya berada di atas buku yang sedang Reka luruskan. "Lo nggak sopan ya."

Ah. Reka merasa kesabarannya akan habis. Entah terbuat dari apa kepercayaan diri lelaki itu.

"Jadi siapa cowok yang lo taksir itu sampai bisa nolak cowok seganteng gue?"

Reka ingin tertawa dan tanpa ia sadari, ia sudah benar-benar tertawa. Apa yang baru dikatakan Aldi jelas adalah hal yang lucu. Reka memang tahu lelaki itu sangat percaya diri, tapi mendengar lelaki itu menyebut dirinya sendiri tampan pada akhirnya membuat Reka tertawa.

"Wah, lo emang beneran gila kayaknya."

"Sorry to say, menurut gue lo itu biasa aja." Kata Reka di sela-sela tertawanya.

Aldi tampak kaget, bukan hanya ditolak, dilempar buku dan sekarang wajah tampannya dibilang 'biasa saja'. BIASA AJA. Kata-kata itu terulang beberapa kali di dalam otaknya, membuatnya tidak bisa bicara karena kaget. Dan begitu akhirnya ia bisa meredakan kekagetan dan akan menyangkal apa yang Reka katakan, seorang siswa datang.

"Sial." Katanya. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, lelaki itu merapatkan jaketnya, menutup wajah dan keluar dari kelas Reka.

*****


Beauty OutsideWhere stories live. Discover now