"Orang-orang lagi pada foto bareng, lo malah cabut. Ngapain deh ngumpet di sini?"
Ucapan itu keluar dari mulut Abimana, sepupuku yang usianya tidak terpaut jauh dariku. Refleks, aku menoleh begitu mendengar suara itu secara tiba-tiba mengisi kesunyian di rooftop rumah Abi.
Celetukannya tadi kubalas dengan cengiran basa-basi. Lelaki itu kini turut duduk di sebelahku menghadap lahan kosong di sebelah rumahnya.
"Kenapa tuh muka lu? Kusut bener kayak hubungan sama mantan," belum menyerah dengan keingintahuannya, Abi kembali melontarkan pertanyaan.
Aku menimpali ucapannya itu dengan tinju kecil di lengan Abi. Kemudian menjawab dengan sebal.
"Apaan siii, Bi. Jayus tau nggak!" ucapku yang membuat tawa di bibir Abi meledak dengan jahil.
Kembali sibuk dengan rutinitasku selama setengah jam belakangan, aku menatap sebuah pohon tua di sebelah rumah Abi dengan pandangan kosong, sedangkan pikiranku penuh dengan pelbagai hal yang menuntunku untuk berkelana ke mana-mana.
"Rasanya jadi orang cantik tuh gimana ya, Bi?" tanyaku begitu saja tanpa aba-aba. Dari sudut mataku, mampu kutangkap bahwa ekspresi Abi berubah menjadi bingung.
"Pasti enak banget nggak sih? Hidupnya apa-apa mudah. Dapet temen, gampang. Dapet pacar, gampang. Nggak usah berlagak baik juga orang bakal tertarik duluan buat deketin," ceracauku dengan penutup sebuah senyuman miris di bibir.
Di tempatnya, Abi menggeser posisinya agar lebih dekat denganku sembari membetulkan posisi duduk. Ia memeluk kedua lututnya lantas menarik napas pelan.
"Nggak juga sih, Tik. Lo suka liat nggak sih berita-berita tentang kasus pembunuhan di TV yang motifnya karena cinta ditolak? Kayaknya orang cantik juga punya ketidaknyamanan macem begitu deh. Dikejar-kejar sama orang aneh yang nggak dia suka." Abi membalas racauanku dengan jawaban lugas.
Belum mau kalah dengan pemikiranku sendiri, aku kembali memberikan argumentasi.
"Tapi, pasti tetap aja lebih mudah. Nggak harus dapet komentar nyebelin kayak, 'Ih, kok kamu iteman? Gemukan juga nggak sih?' atau 'Coba deh produk ini, siapa tau jadi bersihan lagi kulitnya. Aduuuh! Perempuan kok dekil. Nggak boleh atuh. Harus pinter-pinter rawat diri'. "
"Lo tersinggung ya, Tik, sama omongan Tante Tasya?" tanya Abi, menginterupsi. Tanpa lagi berbasa-basi.
Di tempatku, aku menghela napas dengan dalam-dalam, yang dirasa cukup bagi Abi untuk memahami tentang kebenaran asumsinya tadi.
"Kadang capek deh kalau kumpul keluarga besar gini, Bi. Kayak ... males aja gitu. Basa-basinya beneran basi banget. Dikit-dikit, yang dikomentarin pasti soal fisik. Bingung aja gue. Padahal bukannya nanya kabar tuh lebih sopan ya? Kayak ... misalkan nanya, 'Eh Cantika, udah gede aja. Gimana kabarnya sekarang?' kan lebih enak didenger. Nggak bikin insecure sama tubuh gue sendiri."
Tanpa menunggu jawaban Abi untuk bertanya lebih lanjut, aku kembali menginterupsi percakapan. Aku lebih merasa seperti berkata kepada diriku sendiri ketimbang menanyakan hal tersebut kepada Abi—hal yang sejak tadi kulakukan nyaris sejak setengah jam lalu.
"Gue juga nggak ngerti sih, Tik." Kali ini, Abi mulai kembali bersuara. "Soalnya ... emang gampang aja gak sih bawa topik tentang fisik gitu? Kan, fisik itu yang paling kelihatan kalau baru ketemu setelah sekian lama. Kalau kabar lo atau berapa sisa duit di dompet lo kan nggak kelihatan. Makanya, orang nggak ngeh buat ambil topik itu pas baru ketemu," lanjut Abi dengan nada apa adanya.
Aku tak menimpali ucapannya itu lagi. Bukan karena marah sebab argumentasiku tak didukung, melainkan karena aku menyadari kebenaran akan apa yang Abi ungkapkan.
Mungkin memang begitu. Kadang-kadang, orang hanya berbicara atau bertanya karena ingin menunjukkan kepedulian. Tanpa menyadari, bahwa sesungguhnya, kepedulian mereka itu justru malah menjatuhkan kepercayaan diri orang yang mereka ajak bicara.
Setelahnya, Abi dan aku sama-sama terdiam menikmati embusan angin di sore hari. Juga ditemani pemandangan langit sore Jakarta yang terhalangi bangunan-bangunan perumahan.
"Lagian,cantik juga nggak cuma soal sesuatu yang keliatan kok, Tik," celetuk Abi lagisetelah keheningan yang panjang. "Tapi juga soal ini," lanjutnya, sembarimenunjuk ke dadanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
redam-padam
Короткий рассказBerisi sekumpulan kisah yang ditulis untuk melepaskan diri dari udara yang menyesakkan; dari kata-kata yang tak sempat terucapkan, atau dari luka yang belum sembuh.