5: Terjebak Zona Nyaman

1K 165 1
                                    

"Kenapa ya, Tra, gue dilahirin sebagai seorang introvert?" tanyaku kepada Antra saat lelaki itu tengah sibuk mencari buku di rak genre filsafat.

Untuk ukuran seseorang dengan tampilan macam anak pentolan sekolah dan hobi nongkrong, tidak akan yang percaya bahwa seorang Antra memiliki hobi membaca buku. Apalagi, berdasarkan pengamatanku, topik bacaan Antra rata-rata berat semua. Agaknya, bocah itu hanya membaca komik untuk asupan bacaan ringan.

Setelah menemukan buku dengan judul "Dunia Sophie" karya Jostein Gaarder, kesadaran Antra tampak kembali ke daratan. Lelaki itu menghampiriku yang tengah duduk dan bersandar pada salah satu rak yang berada di bagian tengah.

"Gaarder banget? Demi apa sih belom baca. Ngakunya penggemar filsafat!" ledekku dengan nada mencibir yang dibuat-buat  Antra mendengus tak terima lantas meletakkan buku tadi ke pangkuannya.

"Udah baca, tapi tiba-tiba pengin nikmatin bagian awalnya lagi. Inget nggak sih apa yang Gaarder bilang di buku ini, bahwa semakin kita dewasa, kita jadi makin sering terhanyut sama kenyamanan. Alhasil, rasa ingin tahu kita berkurang, dan makin terbiasa sama keadaan. Jadinya ya lo cuma kayak terjebak sama zona nyaman aja." Antra menjelaskan isi buku itu secara tiba-tiba tanpa intro sama sekali.

Sebetulnya, aku merasa agak bingung kenapa lelaki ini malah menceritakan isi buku "Dunia Sophie" kepadaku padahal jelas-jelas ia mengetahui bahwa aku sudah membaca bukunya— sebab akulah yang merekomendasikannya kepada Antra.

"Ya ... inget sih. Cuma, hubungannya sama pertanyaan gue tadi, apa?" balasku dengan pertanyaan baru.

Di tempatnya, Antra membalikkan badan agar sepenuhnya menghadap ke arahku. "Gini deh. Gue mau nanya dulu. Kenapa lo mempertanyakan alasan lo dilahirkan sebagai seorang introvert?" tanya Antra seraya menaikkan kedua alis, sehingga menyebabkan keningnya jadi berkerut.

"Karena..." aku mengernyitkan dahi seraya memainkan bola mata ke arah atas. "Ya, kayaknya enak aja gitu kalo terlahir jadi seorang ekstrovert. Buat bergaul tuh rasanya gampang banget. Punya banyak temen juga. Gue buat ngajakin orang sekelompokan tugas di kelas aja, susahnya minta ampun. Takut ditolak. Takut dikacangin. Pokoknya banyak takutnya deh!"

Antra terdiam sejenak, tampak memikirkan jawaban pertanyaanku secara matang-matang. Setelah jeda yang cukup panjang, ia pun kembali bersuara.

"Lo sempet mikir nggak sih, Dis. Kalo jangan-jangan ... kita tuh udah jadi bagian dari kaum yang disebut Gaarder di buku ini. Kaum yang terjebak sama zona nyaman. Nyalahin kondisi dan takdir sebagai bukti ketidakadilan. Padahal mungkin, emang kitanya aja yang kurang usaha. Makanya gitu-gitu aja deh. Nggak ada kemajuan."

Antra menyampaikan argumennya dengan pandangan menerawang. Seakan ia tidak mengatakan hal itu kepadaku, melainkan hanya bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Dengan sekali jawab, Antra menohok jantungku tepat di inti dengan kata-katanya. Nah, apa kubilang! Biarpun pentolan begini, kalau sudah diajak deep talks, Antra langsung berubah jadi motivator.

"Sindirannya tajem banget, Mas. Udah berdarah nih kayanya dada saya."

"Yeeeh. Gue juga lagi nyindir diri gue sendiri nih. Nggak usah kepedean napa," balas Antra defensif, tidak terima dengan sindiranku sebelumnya.

Setelah sibuk dengan pemikirannya sendiri dan tampak mulai kembali pada realita, Antra kembali melanjutkan asumsinya. "Poinnya adalah, mungkin bukan soal takdir introvert atau ekstrovertnya yang jadi penentu lo bisa bergaul apa engga, Dis. Cuma ya, coba aja lihat lagi usaha lo, udah lo keluarin ke arah sana apa engga. Atau lo masih sibuk percaya sama teori kepribadian dari sisi psikologi buat nentuin takdir lo sendiri secara sok tau."

Sial sial sial. Cowok ini kalau sudah menceramahiku betul-betul mahir dan membuatku merasa tersudut setengah mati. Meski nyaris seratus persen, aku menyadari bahwa aku merasa tertohok karena ucapan Antra ada benarnya juga.

"Kalau lo bisa jadi cerewet dan asik banget diajak diskusi pas lagi ama gue, kakak lo, nyokap lo, adek lo, Tania, dan Sisi, kenapa lo punya pemikiran bahwa lo susah bergaul karena lo introvert?" tanyanya sebagai penutup hidangan sarkasmenya kepadaku.

Tanpa memberikanku kesempatan untuk menjawab, tiba-tiba saja bel masuk pelajaran baru sudah berbunyi lagi. Aku dan Antra memutuskan untuk kembali ke kelas masing-masing dan meninggalkan ruang perpustakaan.

Dalam perjalanan kembali menuju kelas, aku membawa pergi setumpuk tanya dan pelbagai pertimbangan di dalam kepalaku, yang tidak kuketahui apa jawabannya. "Apaiya memang aku belum banyak berusaha?" tanyaku tanpa suara. Dan hanyamenyimpannya untuk diriku sendiri. 

redam-padamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang