Sewaktu ku kecil, Ibu seringkali menasihati dengan nada serius—seakan Ibu adalah utusan Dewa yang tahu segala hal mengenai seluk beluk kesengsaraan yang mungkin terjadi di muka bumi ini.
"Kalau kamu udah gede, jangan mau sama cowok yang pekerjaannya nggak jelas. Nanti kamu nggak bahagia!" kata Ibu kala itu, dengan penekanan nada pada beberapa kata untuk meyakinkan akan kebenaran ucapannya.
Kala itu, aku hanya mengangguk pelan. Dengan pandangan yang masih setengah bingung, kuperhatikan kedua orangtuaku yang tengah duduk di ranjang yang sama, tetapi tidak saling menatap satu sama lain.
Kuperhatikan Ayah yang sibuk dengan laptopnya dan Ibu yang asyik senyum-senyum sendiri sambil memainkan gawai di tangannya. Aku tersenyum kecil. Umurku masih enam tahun kala itu.
Mungkin benar kata Ibu. Hidupku tidak akan bahagia kalau aku tidak memiliki banyak uang—sebab aku tidak akan bisa membeli permen apapun yang kusuka atau coklat dengan varian berbeda yang seringkali kubeli diam-diam setelah pulang sekolah.
Saat usiaku genap enam belas tahun, kudengar Ayah dan Ibu bertengkar di ruang tengah. Suara Ayah terdengar begitu marah seperti orang kesurupan, dan sempat kucuri dengar kerasnya tangisan Ibu seakan-akan hari itu adalah akhir dari dunia.
"Tiga puluh tahun kita menikah, tega-teganya kamu tinggalin semua itu hanya untuk ego kamu! Tega-teganya!" Suara Ibu begitu menggelegar kala itu, membuatku yang tengah belajar di ruang tidur, jadi mengerti apa yang tengah mereka ributkan kala itu.
Hari itu, aku bergeming di balik pintu. Berkata-kata kepada diriku sendiri mengenai suatu pemahaman baru yang tidak pernah kusampaikan kepada siapapun.
Mungkin Ibu bukanlah utusan Dewa. Barangkali Ibu bukanlah orang yang mahatahu segala hal mengenai seluk beluk kehidupan.
Di usiaku yang keenam belas, aku menyadari, bahwa tidak semua kebahagiaan, dapat sejalan dengan banyaknya uang yang kudapatkan.
Misalnya saja Ibuku. Sebagai contohnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
redam-padam
Cerita PendekBerisi sekumpulan kisah yang ditulis untuk melepaskan diri dari udara yang menyesakkan; dari kata-kata yang tak sempat terucapkan, atau dari luka yang belum sembuh.