3: I Love You, but I'm Letting Go

1.6K 208 3
                                    

"Mohon maaf, Pak. Pihak medis sudah tidak bisa berbuat banyak."

Adri mengembuskan napas dengan berat. Kata-kata yang dilontarkan oleh pria usia empat puluhan dengan jas putih itu seumpama bom atom yang meluluhlantakkan seisi rongga dada Adri. Setelah memberikan sedikit jeda yang terasa begitu sebentar bagi Adri, pria itu kembali melanjutkan ucapannya dengan nada hati-hati—yang tentu saja tidak terlalu berpengaruh banyak karena kalimat sebelumnya telah membuat Adri kehilangan semangat hidup.

"Nyaris semua organ di tubuh Ibu Meisha sudah tidak terselamatkan. Beliau mungkin tidak akan­­­ bisa bertahan lebih lama lagi."

"Nyaris,"­ Adri mengulang kata itu dengan putus asa. Seumpama menyiratkan permohonan agar pihak medis mampu berjuang lebih keras lagi untuk membantu kesembuhan adiknya itu.

Tetapi, tidak sesuai dengan harapan Adri, pria itu hanya menggelengkan kepala dengan putus asa lantas menjawab dengan suara yang begitu pelan. "Mohon maaf, Pak Adri. Kami telah berupaya semampu kami...."

Telak. Adri tidak mampu mendengarkan semua omong kosong itu lebih lama lagi. Jadi, dengan langkah sempoyongan, Adri menuntun kakinya untuk meninggalkan ruangan bernuansa putih itu tanpa lagi berkata-kata.

Nyaris lima tahun silam, semesta Adri seumpama runtuh ketika Adri mendapati fakta bahwa ibunya mengalami gagal ginjal dan meregang nyawa akibat penyakit tersebut. Adri sudah bersiap-siap untuk mendapati fakta bahwa penyakit itu akan menggerogoti tubuhnya juga, tetapi semesta masih berbaik hati karena penyakit itu justru malah menyerang Meisha, adik Adri satu-satunya.

Menemani orang terkasih dalam sisa-sisa napas terakhir dengan kondisi sekarat bukanlah hal yang mudah bagi Adri. Ia begitu menyayangi Meisha dengan segenap jiwanya, melebihi rasa cinta yang ia miliki kepada dirinya sendiri.

Semua uang, waktu, dan tenaga telah Adri kerahkan untuk menjemput kesembuhan bagi adik sematawayangnya itu. Tetapi, Adri seringkali terbutakan bahwa kadang-kadang, garis takdir seringkali mempermainkan manusia dengan kejutan-kejutan yang menyebalkan.

Setelah empat tahun berjuang melawan penyakitnya, Meisha telah tiba pada batas kemampuannya. Nyaris seluruh organ di tubuh Meisha telah mengalami kerusakan akibat gagal ginjal yang dialaminya.

Setelah mengusap wajah dengan putus asa, Adri memasuki kamar Meisha untuk melihat wajah manis gadis itu. Ia menampilkan senyuman selebar-lebarnya ketika Meisha menyambut kehadiran lelaki itu dengan pandangan lemah—seumpama menyiratkan kepenatan akan segala pengobatan yang telah dijalaninya selama bertahun-tahun.

"Mei udah nggak kuat, Bang," gadis itu mencicit dengan suaranya yang serak. Napas Adri tercekat mendengar penuturan adiknya itu. Tetapi, dengan wajah yang berupaya keras menahan keputusasaan, Adri menggenggam tangan Meisha dengan begitu erat.

"Kita bisa berobat ke Singapura. Abang udah nemu dokter yang tepat buat bantu Mei sembuh. Dokter ini bener-bener yang paling jago. Abang yakin kita bisa berjuang sama-sama sedikit lagi. Mei pasti bisa sembuh. Abang bisa cari uang sebanyak-banyaknya, Abang janji bakal temenin Mei tiap Mei jalanin pengobatan. Abang bakal—"

Tanpa membiarkan Adri menyelesaikan semua imajinasinya dengan emosional itu, Meisha menyela ucapan kakaknya dengan nada pasrah, "Biarin Mei pergi, Bang. Mei udah nggak kuat lagi. Mei sudah capek...."

Diam seribu bahasa, bibir Adri kelu seumpama kehabisan semua kata-kata yang ia miliki. Mendadak, Adri merasakan seakan tubuhnya lumpuh pada detik itu juga.

"Ikhlasin Mei, Bang. Mei pengin ketemu Ibu, Mei sudah capek...."

Tanpa lagi berusaha menahan perasaannya, Adri menangis tersedu-sedu seraya menggenggam tangan adiknya itu. Adri tidak siap untuk kehilangan Meisha. Belum siap. Dan tidak akan pernah bisa siap.

Sesak. Seumpama ditusuk oleh seribu sembilu, seakan-akan dicabik-cabik oleh ratusan hewan liar yang ganas, Adri terlarut dalam tangisnya dan segala pergelutan batin di dalam dada lelaki itu.

Setelah beberapa waktu tersedu-sedu seperti bayi yang baru saja dilahirkan, Adri melepaskan genggamannya pada jemari Meisha, seperti sebuah momen simbolik yang melambangkan kebesaran hatinya untuk melepaskan kepergian Meisha.

Membiarkan Meisha untuk mengembuskan napas terakhirnya. []


- Jakarta, 2 Januari 2019

saia adalah orang paling cupu buat ngadepin fase kehilangan dan karna itu kelemahan saia, saia seringkali berandai bagaimana saia nanti kalau menjumpai hari dimana orang yang paling saia sayang udah nggak ada lagi di dunia ini.

jadi, itulah alasan kenapa saia nulis cerita ini. visi misi saia dalam projek ini adalah menulis cerita yang biasa dialami orang lain, tetapi gak banyak yg berani mengungkapkannya karena merasa malu atau tabu. cerita kali ini sebetulnya adalah sebuah momen yang biasa dan pasti terjadi; menghadapi fase ketika lo kehilangan orang yang paling lo sayang karena dipisahkan maut

dan mungkin bagi segelintir orang, sebagai cowok, Adri agak terlalu melancholic, but who cares? menurut saia, tiap orang punya caranya sendiri dalam "merayakan" kehilangan, dan Adri yang saia bayangkan sebagai sosok kakak yang penyayang dan pekerja keras, pada akhirnya bisa begitu rapuh juga kalau harus menjumpai fase kehilangan ini.

honestly saia harus nguras emosi banget buat nulis cerita ini karna nulis momen super sedih dan menyesakkan itu susahnya nauzubillah, tapi asik banget dan saia sangat menikmati prosesnya (ya aq kan suka sedi sedi gt jadi asiq de ehehehe gakdenk boong). btw makasi banyaak buat yang masih bertahan baca. karya ini bukan apa apa tanpa dijumpai dan dicintai oleh para pembacanya

redam-padamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang