Bab. Adipati
Meeting sesama perusahaan raksasa Himawan dan Bratawijaya Group membahas tentang kerja sama proyek perumahan akbar dan elite di Bukit Permata Kemang, memakan waktu yang cukup alot, tetapi sama-sama meraup kepuasan difinal
Usai rapat pun masih lanjut berbincang tentang urusan pribadi. Pak Radit kadang menyelipkan obrolan seputar hubunganku dengan Hanna. Pemilik Himawan Group ini adalah sepupu wanitaku, wajar dia bertanya tentang hubungan kami.
Sementara Hanna, dia lebih dulu keluar dari ruangan ini. Selang setengah jam, akhirnya obrolan selesai aku pamit terlebih dahulu, menyalami Pak Radit juga petinggi dari perusahan lain yang mendukung proyek besar ini.
Bergegas menemui Hanna di tempatnya. Siapa tahu dia tidak membawa kendaraan sehingga bisa pulang bersama.
Kudapati wanita cantik bermata teduh dan indah itu sedang termangu, seperti ada yang mengganggu pikirannya. Di tangannya tergenggam ponsel.
"Kenapa, Sayang?" tegurku, tanpa bermaksud membuatnya terkejut.
"Eh, tidak, Mas. Sudah selesai, ya?" ucapnya dengan canggung.
"Sudah, aku antar kamu pulang, ya!" tawarku.
Terpaksa harus menelan kecewa, dengan halus Hanna menolak ajakanku karena dia sendiri membawa kendaraan. It's ok.
"Oh, ya sudah. Aku antar sampai depan, ayo!"
Hanna mengangguk, senyum manisnya tak pernah luntur, sehingga kecewa melebur. Bergegas dia membereskan meja kerjanya.
***
Menatap lurus ke arah pemandangan kota dengan seribu aksesoris dunia, gemerlap lampu bagaikan ribuan kristal menerangi seluruh penjuru Mayapada. Berdiri di balkon luar kamar menikmati secangkir kopi dan sebatang cerutu yang terbaik di merknya.
Mengembuskan asap rokok yang mengandung karsinogenik semula terkumpul di kitaran mulut kini memumbung ke udara berbaur dengan molekul-molekul polusi kota. Embusannya setara pelepasan penat yang menghimpit dada.
Laporan dari security rumah akan kedatangan Hanna untuk menemui Rayyan bukan diriku sore tadi dengan waktu yang cukup lama berduaan, sangat menyiksa dan mengiris sekeping warna merah yang disebut hati di dalam sini.
Pradugaku semakin menguat, ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Apa sebenarnya yang sedang keduanya rencanakan di belakangku.
Pernikahanku dengan Hanna telah ditentukan waktunya, persiapan sudah berjalan delapan puluh persen. Apakah akan porak poranda karena ada skandal di antara mereka yang belum kuketahui sepenuhnya.
Mendesah berat, berpuluh kali menggeleng kepala, menyingkirkan virus dugaan yang belum tentu kebenarannya. Namun, rasa nyeri tetap mencongkol di hati, merasa terkhianati dan direndahkan harga diri sebagai lelaki.
Mematikan rokok di asbak yang baru kuhisap dua kali, tak lagi kunikmati rasanya. Hambar. Calon istri dan putra semata wayangku bermain dibelakang layar, penyebab rasa ini hilang nikmatannya.
Dengan malas meninggalkan sisa-sisa jejak di balkon, secangkir kopi yang tinggal ampas dan sepuntung rokok, serta kehampaan yang berbaur dengan udara malam. Memasuki kamar. Membuka kancing kemeja kerja yang masih melekat campur lengket keringat, belum sempat kutanggalkan sepulang meninjau proyek di Kemang.
Mendinginkan kepala di bawah guyuran air shower sedikit merelakskan tubuh. Segar tak lagi penat, meski bayangan Hanna tak juga menyingkir.
Aku tidak akan memulai mempertanyakan permainan apa yang tengah berlangsung. Tidak lucu jika harus melanjutkan persaingan ayah dan anak, siapa yang berhak memiliki Hanna. NO ....
Aku hanya menginginkan sebuah kebenaran, walau yang kudapat nanti adalah rasa sakit hati. Aku hanya perlu menyiapkan mental, pada siapa Hanna nanti menjatuhkan pilihan. Waktu yang akan bicara, kuhitung sendiri sedari sekarang, secara diam-diam.
***
Waktu bergulir dengan cepat. Persiapan pernikahanku dengan Hanna mulai sempurna. Selama itu pula tak kutemui kejanggalan pada mereka, sebagaimana ekspedisiku beberapa minggu ini. Bukti kecurigaanku tentang mereka memiliki afair tak kudapati.
Atau bisa jadi aku yang lengah mengawasi, karena kesibukan kerja, tidak mungkin dua puluh empat jam meneropong ruang gerak mereka. Mungkin juga aku yang terlalu naif, takut kehilangan Hanna.
Hanya satu yang membuatku yakin. Rayyan mencintai Hanna, tetapi tidak sebaliknya. Sama-sama jiwa lelaki, aku merasakannya.
Satu-persatu saudara berdatangan, untuk memenuhi undangan acara pernikahanku dengan Hanna yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Rumah ini semula di tempati berdua, yang lainnya sekedar pengurus, kini ramai oleh sanak saudara, mengisi setiap ruang sudut.
Obrolanku dengan adik papa terhenti, kepala ini tertoleh ke arah Rayyan yang berjalan menuruni tangga. Penampilannya cukup rapi mengenakan jaket kesayangan. Sepertinya dia bersiap untuk pergi.
"Aku ke rumah Dania dulu," pamitnya. Menatapku tanpa ekspresi.
Di saat semua berkumpul, dia pergi. Apakah dia sedang berusaha menghindar. Apapun yang bersangkutan dengan Hanna, mimik itu berbeda dengan biasanya.
"Apelnya jangan lama-lama! Nanti pas hari H, yang baca ijab qabul berdua. Bapak sama anak," cetus salah seorang anak paman seusia putraku.
Rayyan menanggapi dengan seringai malas celotehan saudara sepupu dan gelak tawa seisi rumah. Aku sendiri hanya tersenyum seraya mengangguk kecil ke arahnya.
Punggung itu kutatap dengan nanar. Haruskah kau mencintai calon ibu tirimu?
Next.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kemelut Cinta
RomanceWanita yang bernama Hanna, dicintai dua pria sedarah. Ayah dan anak.