Bab. Adipati
"Saya terima nikahnya Hanna Sandriana Binti Lukman Hakim dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai," ucapku lantang tanpa setitik keraguan, seakan melantangkan akulah pemilik Hanna sepenuhnya.
Tanpa bermaksud mengintikan persaingan siapa yang menang, tetapi kenyataan bahwa takdir cenderung memihak Hanna memilih pendamping hidupnya adalah aku bukan Rayyan.
Satu sisi bahagia masa duda berakhir dengan memperistri wanita penuh pesona yang dipuja dan dipuji siang maupun malam. Satu tahun menjalin kasih berakhir dipelaminan.
Satu sisi lainnya, iba menyeruak atas kepatah hatian putraku. Cintanya kandas, karena menurutku salah sasaran. Maafkan ayahmu ini, tak bisa mewujudkan harapmu memiliki Hanna.
Seharusnya, carilah yang seimbang dari segi apapun denganmu, putraku.
"Bagaimana, SAH?" seru penghulu masih menggenggam tangan ini. Kepalanya bergerak mengedarkan pandangan ke semua orang semampu yang beliau tangkap oleh mata.
Kata 'Sah' bagaikan paduan suara menggema di ruangan masjid hotel, tempat sakral ini diadakan, diiringi tarikan napas lega seluruh saksi, lalu melangitkan doa dengan segenap kekhusyuan, di pimpin sang Murabi masjid.
Mempelaiku datang diapit kanan kiri mama dan mami. Cantik rupawan wanita yang menunduk dan melenggang anggun itu. Sudut hatiku tersenyum, beruntung mendapatkan wanita seelok Hanna. Bibir indah itu pun menyembunyikan senyum malu-malu.
Tubuh sintal dibalut kebaya putih beraroma bunga sedap malam itu kini duduk di samping. Menyempurnakan acara sebelum diboyong ke pelaminan untuk lanjut acara resepsi.
***
Hotel Bintang Lima di pusat Kemang pilihan tempat resepsi pernikahan yang digelar besar-besaran. Mengundang seluruh kolega bisnis. Antar keluarga besar bertemu di ring tengah menambah semaraknya acara.
Ada kepuasan tersendiri dengan pelayanan seluruh personil pengurus hotel atas berlangsungnya acara ini.
Bagian dekorasi tak kalah heboh. Semua ditata, bak singgasana raja dan ratu, dengan nuansa bunga mawar putih dan pernak-pernik serba gold.
Ruang super mewah dan elegan, nyaris tak ada celah yang tersisa, setiap sudutnya dipenuhi para undangan, yang rata-rata disela jarinya menggenggam gelas bening bertungkai sedang mengobrol sesama rekan relasi dengan wajah gembira dan sikap jumawa.
Di antara ribuan yang hadir hanya satu wajah dengan gembira yang dibuat-buat, senyum dipaksakan, dan perubahan ekspresi di waktu bersamaan. Bahagia, luka dan kecewa. Dia, Rayyan, putra semata wayangku.
Sesama lelaki memiliki rasa yang sama, aku merasakannya.
Senyum tulus baru terukir di bibir itu setelah kedatangan teman wanitanya, Dania. Gadis yang menyukai putraku.
Lihatlah ada gadis semanis Dania.
Dari kilat matanya kupastikan dia mencintaimu, Rayyan. Ayah mendukungmu dengannya.***
Waktunya berdua di kamar yang disulap menjadi kamar pengantin. Semerbak aneka bunga menjadi aroma terhapi yang menggairahkan.
Di atas ranjang berseprai pink muda, bertabur kelopak bunga mawar merah dan putih. Lampu kamar sengaja dimatikan, diganti sinar api yang meliuk-liuk dari lilin dalam gelas kaca yang bertebaran di lantai depan ranjang. Menjadikan suasana kamar begitu romantis.
"Kamu suka, Sayang?" Kupeluk Hanna dari belakang yang masih mengenakan gaun pengantin. Menghisap aroma tubuhnya yang bakal jadi candu untukku.
Istri cantikku mengangguk dengan wajah merona diterpa sinar temaram dari lilin. Dia memutar tubuh menghadap diri ini, mengalungkan tangannya di leherku. Ada kebahagiaan yang meluap di manik coklat madunya.
"Kamu bahagia menikah denganku?" bisikku di telinganya, memastikan..
"Aku bahagia .... Sangat bahagia." Hanna memelukku erat, seakan ingin menyatukan kami dalam satu raga. Detak jantung berpacu, bersahutan.
Setelah saling membersihkan diri dari lengketnya keringat, sehabis berjibaku dengan para undangan seharian ini, merebahkan tubuh lelah bersebelahan dengan wanita yang kini halal kudekap.
Malam semakin diselubungi kelam. Lepas berbincang penghantar tidur, di akhiri gelora yang meletup-letup dalam dada. Hasrat gairah yang lama terpendam, melonjak-lonjak meminta dilepaskan.
Kobaran api cinta yang membakar kami berdua, sebagai hadiah atas perjuangan mencapai fase kesekian dalam kebersamaan.
Hasratku tumpah seirama deru napas yang kian memacu gairah. Larut dalam penyatuan kenikmatan yang tiada tara.
***
Hanna berdiri di balkon luar kamar. Sendiri menikmati dinginnya desau angin malam. Sesaat memandangnya lama, menikmati lekuk tubuh yang menggoda dalam balutan busana apapun, ditambah aroma lembut bunga Cryshan mengundang hasrat gairah melonjak sampai ubun-ubun.
Segera mendekat ke arahnya setelah puas menikmati pemandangan menyegarkan mata. Melingkarkan tangan ini di perut datarnya, dia sedikit telonjak.
"Di luar dingin, kenapa tidak masuk?" Mengemut cuping telinganya lembut, dia menggelinjang kecil.
"Aku sedang menikmati malam yang romantis di tempat ini untuk pertama kalinya." Hanna memutar tubuh, menghadapkan wajah cantik alami tanpa polesan make up ke depan mukakku setengah mendongkak. Tanpa membuang waktu, dia mencari posisi nyaman dalam pelukanku.
Tak berapa lama Hanna melepaskan diri dari perangkap tangan kokoh ini, melangkah menuju pintu untuk ditutup yang lupa kubiarkan terbuka sewaktu masuk tadi.
Kami melanjutkan kemesraan selayaknya suami istri yang sedang dibakar gelora asmara.
***
"Ray, ayah harap kamu bisa menerima sepenuhnya Hanna sebagai ibumu."
Aku sengaja menghampiri Rayyan di kamarnya, sekedar menjelaskan dan lebih menegaskan supaya putraku menerima Hanna di rumah ini layaknya seorang ibu.
Dia sedang berkutat dengan buku pelajaran, dan berhenti sejenak untuk menyimak ucapanku. Aku berdiri tidak jauh darinya.
"Aku usahakan," jawabnya singkat.
"Terima kasih, ayah sayang sama kamu."
Dia bergeming tanpa niat membalas ketulusan ucapanku. Tak masalah, bagaimanapun ini tak mudah baginya. Di matanya, aku perebut wanita yang dia cintai.
"Oh iya, biasakan kamu memanggilnya mama bukan mbak."
Kemudian menutup pintu jati warna coklat itu setelah ditunggu tak ada jawaban.
***
Ini hari kesekian sarapan ditemani Hanna. Duduk bertiga mengelilingi meja makan. Rayyan acuh tak acuh menikmati santapannya.
"Sudah putuskan kuliah di mana, Ray?" Suaraku memecah keheningan, disertai menyudahi sarapan.
"Belum."
"Beritahu ayah atau mamamu kalau kamu sudah temukan yang pas." Melirik Hanna, mengisyaratkan dia pun bagian dari keluarga Bratawijaya, berhak mengetahui apapun yang terjadi di rumah ini termasuk hal-hal sekecil apapun.
Setelah meneguk kopi terakhir, beranjak dan mengambil tas kerja yang disodorkan Hanna. Dengan takjim dia mencium punggung tangan ini, merasa hidupku kian sempurna. Sebagai balasan kucium keningnya dalam, tak peduli ada putraku sedang memandang kami dengan tatapan tanpa ekspresi.
Lepas menepuk bahu Rayyan, kuayunkan langkah di temani Hanna berjalan dari samping mengapit lengan. Hingga mobil keluar dari kediaman, masih kulihat istriku berdiri di sana melambaikan tangan.
Next. Hanna

KAMU SEDANG MEMBACA
Kemelut Cinta
RomanceWanita yang bernama Hanna, dicintai dua pria sedarah. Ayah dan anak.