Bab. Adipati
Kepergian Hanna menyisakan rindu tak berujung, belum waktunya melebur hasrat menggelora di dalam dada. Masih dalam hitungan bulan ikatan halal bisa terlaksana. Aku menjadi lelaki tak sabar semenjak mengenalnya.
Berlama-lama berdiri di teras luar dengan rasa euforia, membuat otakku seakan tak waras. Senyum-senyum sendiri.
Kalau saja asisten rumah tidak berdehem, aku tidak akan sadar bahwa dia sudah berdiri di sampingku sejak tadi, bermaksud memberitahu apakah akan disiapkan makan malam sekarang.
"Nanti saja, selesai salat isya," terangku. Wanita berusia setengah abad itu mengangguk lantas pergi ke tempatnya biasa berjibaku di dapur.
Memutuskan menyalakan televisi sambil menanti adzan isya dikumandangkan serta menungu kedatangan putraku yang kutahu sedang mengantarkan Dania pulang.
Sepuluh menit kemudian, deru kuda besi roda dua mendekat, memasuki pekarangan rumah ini. Suara motor yang sudah kukenal, milik Rayyan.
"Mbak Hanna pulang sendiri, Yah?" tanyanya setelah berada di samping sofa yang kududuki.
Mengangguk sedikit, sambil mata fokus mengamati tayangan TV yang sedang menyiarkan infotainment Hitam-Putih yang dibawakan presenter kondang mualaf Deddi Corbuzier.
"Kalau gak bisa jaga Mbak Hanna, udah lepasin dia. Biar Mbak Hanna bisa cari yang benar-benar sayang sama dia!" sambung anakku dengan intonasi sedikit meninggi.
What the hell?
Heran dengan pernyataan putraku tanpa angin tanpa hujan. Menoleh padanya dengan kening mengkerut. Apakah protesannya bentuk kepedulian akan keselamatan Hanna, atau ada hal lain yang tak mampu kucerna maksudnya.
Kadang aku tak memahami sikap dan tabiat putra sendiri, karena dia selalu menciptakan jarak untuk membatasi kedekatanku dengannya, semenjak kepergian Kanaya.
Aku berusaha menggerus jarak itu, supaya hubunganku dengan putra satu-satunya kembali membaik seperti empat tahun lalu. Segala sesuatu saling tergantung. Namun, kekeras kepalaan Rayyan membuatku kesulitan mendeteksi kedalaman hatinya.
"Kenapa kamu?"
"Ayah yang kenapa?"
Semakin tak memahami jalan pikiran Rayyan mencercaku dengan kata demikian. Aku bangkit dari sofa, menghampirinya, kupastikan dahi ini semakin berlipat sekian kerutan.
"Hanna bawa kendaraan sendiri, jadi ayah nggak nganterin dia, dan ayah selalu berusaha menjaga orang-orang yang ayah sayangi. Termasuk kamu." Lepas bicara lantas meninggalkannya.
Sebelum menutup pintu kamar, kupandang sebentar Rayyan yang masih mematung di tempat, menunduk dengan tangan dimasukan ke saku celana levisnya.
Kenapa dengan anak itu?
***
Duduk di pinggir ranjang, memijit pelipis yang dirasa pening. Ucapan Rayyan sebenarnya menohok hati. Apa maksud anak itu mengatakan aku harus melepas Hanna. bukannya mendukung kebersamaan kami.
Tentu saja aku menyayangi Hanna, seperti aku menyayangi putra dan almarhum ibunya, sejengkal pun kalian tak kan terlepas dari perhatianku.
Bukan benci yang aku tangkap dari sikap dan ucapan Rayyan, tetapi sesuatu yang lain. Entahlah, sangat membingungkan.
Apakah mungkin?
Tidak mungkin ... Rayyan tertarik dengan Hanna bukan sebagai calon ibunya tetapi seperti perasaan yang kumiliki. Jika benar ... oh damn. Dari segi usia saja mereka jauh dari kata cocok.
Lucu, jika putraku benar memiliki rasa yang sama denganku terhadap Hanna. Apakah kami harus bersaing siapa yang berhak mendapatkan wanita itu. Astaghfirullah ... ini tidak mungkin terjadi!
Aku terlonjak dengan dering ponsel tanda panggilan. Menyambar benda yang sedang bergetar di atas nakas. Bibir ini tertarik ke atas membaca nama Hanna dalam layar yang menyala berkedip-kedip.
"Assalamu'alaikum, Sayang."
Terdengar salam balasan dari Hanna.
"Kenapa? Padahal baru empat jam lalu kita bertemu. Kok, sudah kangen lagi."
"Ish, bukan itu tujuanku nelpon. PEDE sekali, sih!"
Aku terbahak dengan rajukan Hanna di sebrang telpon. Tentu saja ucapanku hanya candaan.
"Lantas ...?"
Pembicaraan sebagaimana sepasang manusia jatuh cinta saling lempar obrolan. Topik dewasa kadang kuselipkan meramaikan kata-kata yang kami lontarkan.
"Mas," panggilnya dengan lembut setelah cukup puas saling menggoda. Meski hanya berupa suara mampu membangkitkan gairah terpendam.
"Iya," sahutku.
Hanna meminta pertemuan esok antar keluarga, atas permintaan mamanya. Selain mempererat silahturahmi, pun membahas rencana pertunangan yang kemungkinan berubah menjadi pernikahan.
Tentu saja kukabulkan inginnya.
Pertemuan diadakan di sebuah resto dekat dengan kantor tempatku bekerja, saat jam makan siang, kebetulan waktu yang ditentukan bertepatan Rayyan pulang sekolah, bisa bertemu dengan calon nenek dan kakeknya.
Obrolan telpon berakhir dengan merebahkan tubuh ini di atas ranjang, dan akhirnya menutup mata.
***
Kendaraanku melesat di jalanan beraspal. Waktu sedikit terlambat dari waktu pertemuan keluarga yang Hanna janjikan di resto karena ada relasi yang datang mendadak meninjau kerja sama.
Tiba di resto bertepatan dengan kedatangan kedua orang tuaku. Sama-sama memarkirkan mobil bersebelahan. Papa dan mama sebelumnya kuhubungi untuk datang memenuhi undangan keluarga Hanna. Cukup menyebutkan alamat tujuan, sopir pribadi yang mengantar mereka.
"Apakah calonmu sudah berada di dalam?" tanya papa seraya berjalan beriringan memasuki resto yang cukup mewah dan elegan pilihan Hanna.
"Hanna dan kedua orang tuanya sudah berada di dalam, Pah. Rayyan juga."
Aku mengapit tangan mama dari sebelah kanan, sehingga posisiku berada di tengah antara papa dan mama.
"Cucukku juga ada di sini? Kebetulan sekali mama rindu anak itu, sudah lama tidak menemui kami," sergah mama nadanya setengah merutuk.
Aku tersenyum, akhir-akhir ini Rayyan memang jarang ke rumah kakek-neneknya karena disibukan belajar, sebentar lagi akan menghadapi UAS.
Tiba di tempat tujuan, kedatangan kami langsung disambut hangat kedua orang tua Hanna. Mengambil posisi duduk di samping calon istri, tepat bersebrangan dengan Rayyan.
Sesekali mengamati wajah putraku. Jika berhadapan dan berbicara dengan kakek-neneknya bahagia nampak jelas, tanpa rekayasa. Dilain kesempatan, saat pandangan Rayyan membentur Hanna, binar itu menonjok dada ini hingga menimbulkan sesak.
Tak salah perkiraanku, Rayyan memandang Hanna sebagai pria tertarik terhadap wanita, bukan sebagai calon ibunya.
"Nak Adi, apakah keputusan kami bisa diterima?"
Aku terhenyak dengan pertanyaan calon mertua laki-laki. Bingung harus jawab apa, sedari tadi kurang menyimak. Pikiran bercabang antara Rayyan dan Hanna.
"Kok malah bengong. Adi, pernikahan kalian akan dipercepat, gimana ... kamu setuju?" tegur Mama menepuk tangan ini yang diletak di atas meja.
Akhirnya tahu apa yang harus kujawab, "Tentu saja Adi setuju, Ma. Lebih cepat lebih baik."
"Alhamdulillah kalau begitu. Pernikahan kalian dipercepat. Bulan depan," jelas Papa, mempertegas keputusan terakhir.
Aku mengangguk, tidak ada masalah.
Next.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kemelut Cinta
RomanceWanita yang bernama Hanna, dicintai dua pria sedarah. Ayah dan anak.