Kemelut Cinta-2

278 18 0
                                    

*Adipati

Hanna Sandriana, wanita berusia tiga puluh dua tahun berhasil membuka pintu hati yang lama ditutup bahkan dikunci rapat, semenjak kepulangan Kanaya ke sisi Tuhan empat tahun lalu.

Kecelakaan yang merenggut nyawa istriku saat kuizinkan dia pergi sendiri ke rumah sakit menjenguk ibunya usai operasi usus buntu, guncangan terhebat sepanjang hidupku.

Kesibukanku di kantor mengantar penyesalan yang dalam. Andai saja, aku lebih mementingkan mengantar Kanaya dari pada pekerjaan, mungkin tabrakan beruntun di tol Cipularang itu bisa terhindari atau kemungkinan kami berdua yang terenggut nyawa. Setidaknya kami tetap bersama.

Dari hasil pernikahanku dengan Kanaya, hadir Rayyan. Putra satu-satunya yang mewarisi sifat mamanya. Keras kepala. Untuk kecerdasan diwarisi dariku. Tentu saja, karena perjalanan Rayyan selama meraih keberhasilan dalam study, bagai dejavu masa remajaku.

Saat kecelakaan itu Rayyan baru menginjak remaja, tiap hari otaknya dijejali nasehat kakek dan neneknya jika suatu saat ini terjadi. Setidaknya dia bisa mengendalikan keguncangan jiwa akan kehilangan sang mama. Ia mulai memahami kerasnya hidup dan takdir. Di mana ada pertemuan di situ ada perpisahan.

Awal ditinggal Kanaya, jiwa kami benar-benar hancur, bagai serpihan kaca, tak lagi utuh. Rasa kehilangan tak mampu disembunyikan, terpuruk dari waktu ke waktu.

Kedekatanku dengan Rayyan terkena imbas. Dia menyalahkan aku sepenuhnya atas kematian Kanaya. Berujar dengan sengit aku pria tak memiliki tanggung jawab, lebih mementingkan pekerjaan dari pada keselamatan wanita terkasihnya.

Aku tak bisa berbuat banyak, kutelan bulat-bulat cercaan dari putra sendiri yang memang pantas kuterima. Hingga kini, sesekali Rayyan masih mengungkit kejadian silam jika ada pembicaraan yang bertentangan dengan kehendaknya, menyangkut apapun. Termasuk wanita yang jadi pilihanku

Ada ketidak setujuan aku tangkap dari sikap Rayyan atas kedekatanku dengan Hanna. Tak masalah, mungkin dia belum terbiasa dengan kehadiran wanita baru dalam kehidupan kami.

Aku lelaki yang menyedihkan selama bertahun-tahun menutup diri dari dunia percintaan, karena lubang duka yang menganga lebar ditinggal istri tercinta, tak ada yang mampu menambalnya dengan asmara. Tak satu pun aku tertarik pada wanita-wanita yang over akting di depan mata.

Kehadiran Hanna, mampu menyirami padang gersang di kelangsungan hidupku. Hingga niat ini bulat mempersuntingnya selain untuk menemani masa tuaku, pun menjadi ibu sambung bagi Rayyan.

Aku dan wanita pemilik mata bening meneduhkan itu dipertemukan tak sengaja. Terpesona dengan kecantikan yang terpancar indah. Kulit seputih porselen, hidung kecil mancung dengan bibir yang imut mengundang kelelakianku ingin mengecup. Tubuh tinggi semampai dengan rambut hitam lurus tergerai. mengingatkanku akan Kanaya.

Dia lah Hanna, wanita yang tak sengaja bertubrukan di mini market, mampu membangkitkan gairah asmara yang lama mengendap. Selisih usia terpaut delapan tahun, bagiku cukup ideal. Sama-sama dewasa. Tak perlu memikirkan sibuk pacaran layaknya ABG, tetapi langsung ke tujuan, melamarnya.

Nuraniku tak bisa berbohong, Hanna lah yang mampu menimbulkan desir gairah saat menatap matanya. Membangkitkan rindu akan sesuatu yang lama tak terjamah. Cinta.

Klakson bersahutan dari belakang menandakan lampu merah berganti hijau. Tersadar dari lamunan akan Hanna, segera menghidupkan mesin mobil. Jalanan cukup lenggang, karena aku pulang di saat jam kantor belum waktunya bubar.

Jika mengingat wanita yang hendak kusunting itu, kewarasan terenggut sesaat, kadang lupa di mana raga ini berpijak. Tak di kantor, di kantin, bahkan di ruang meeting saat rapat berlanjut bayangan seraut ayu itu menggoda. Kadang tanpa sadar menciptakan lengkungan di dua sudut bibirku.

Gerbang besi warna hijau armi menjulang di hadapanku terbuka secara otomatis. Segera turun dari mobil Sport Lamborgini merahku setelah terparkir asal, melempar kunci ke arah security yang membuntutiku dari belakang.

Melintas di ruang tamu, kesunyian menyergap, hanya detak suara sepatu beradu dengan keramik yang menggema. Mendapati Rayyan di sofa, sibuk dengan ponsel, tanpa menghiraukan kedatanganku. Mengacak rambutnya lalu meninggalkan dia yang berdecih dan mendumel.

"Ck, Ayah apaan, sih?!" Menggoyangkan kepalanya sedikit.

Melempar seringai lantas menaiki tangga menuju kamar yang berada di lantai dua.

***

Samar aku mendengar suara ramai dari lantai bawah, salah satunya seperti suara Hanna. Melihat jam dinding, pukul lima, pastinya pulang kerja langsung kemari.

Ada apa Hanna datang ke sini? Kangen kah?

Sama ....

Menyugar rambut ke belakang, biar tak terkesan berantakan. Melangkah keluar kamar menghampiri kegaduhan kecil, mereka pada berdiri di ambang pintu. Jantung ikut gaduh melihat wanitaku di sana napasnya memburu, seperti habis maraton.

"Ada apa ini rame-rame?" Setelah mendekat menatap lekat wajah yang dipenuhi peluh.

"Mas!" panggilnya, pesona senyumnya ia hadirkan.

"Hai, Sayang. Kok, tumben kesini, ada apa?" Kutarik tangannya lembut memasuki rumah. Membawanya duduk di sofa meninggalkan putraku bersama teman sekolahnya.

Rayyan masih berdiri di sana bersama gadis berbando kelinci bernama Dania. Ada ketidak sukaan dari sorot matanya kala menatap kebersamaan kami di sini.

Aku maklumi pandangan itu, karena tahu, Rayyan belum sepenuhnya menerima Hanna.

"Ada apa kau ke sini sore-sore, Sayang?" Hanna terlihat bingung menanggapi pertanyaanku. Duduknya seperti tidak nyaman.

"Maaf, aku datang tanpa memberi tahu dulu," kata Hanna. Kepalanya menoleh sebentar ke arah Rayyan dan Dania.

"Tidak masalah, Sayang. Aku senang kamu datang ke rumah ini tanpa perlu diminta. Katakan, pasti ada sesuatu yang ingin kau sampaikan, hmm?" Tingkah Hanna serba salah kutatap sedemikan rupa.

Alis sebelahku naik, wajah itu semakin kentara dengan kebingungan. Apakah dia diam karena kurang nyaman dengan kehadiran Rayyan dan Dania di sana memperhatikan kami. Bisa jadi. Sehingga Hanna tidak leluasa bicara.

Rayyan akhirnya beranjak dari tempat setelah Dania sedikit memaksa mengajak pergi. "Om, pinjem Rayyan bentar, ya!" seru gadis jenaka itu. Aku mengangguk sambil mengangakat tangan menempelkan ujung jari telunjuk dan jempol membentuk huruf O.

"Aku cuma ingin ketemu kamu aja, Mas," ucap Hanna setelah kepergian kedua remaja itu. Wajah itu merona merah, menggemaskan.

"Hmm. Hanya itu? Apa ada yang lain, maksudku ... ada masalah dengan Rayyan?"

"Tidak ada .... Selain ingin ketemu kamu, aku juga ingin lebih dekat lagi dengan putramu, Mas. Siapa tahu hatinya luluh mau menerimaku sebagai ibunya."

Kepalaku mengangguk-angguk. Alasan Hanna bisa diterima.

"Tidak usah khawatir, Rayyan hanya belum terbiasa dengan kehadiran wanita baru di rumah ini, dan dia terlalu dekat dengan ibunya, jadi tidak mudah baginya menggeser kasih sayang yang sudah melekat semenjak dalam kandungan," tuturku menjelaskan agar Hanna tidak salah paham dengan sikap putraku.

"Iya, Mas. Aku paham, aku juga tidak memaksa Rayyan menerimaku sepenuhnya sebagai pengganti Mbak Kanaya, dan itu tentu saja tidak mungkin. Namun, sesuai tuntutan tanggung jawabku kelak setelah jadi istrimu, aku akan berusaha berperan sebagai ibu untuknya sebaik yang kumampu."

"Aku percaya kamu bisa mengambil hati Rayyan. Terima kasih banyak, Sayang." Kuraih jemari lentiknya, sesaat mata kami saling melempar kerinduan. Hati ini memberontak ingin segera menghalalkan wanitaku, supaya tidak ada batasan untuk menjamahnya.

Setelah beberapa saat terlibat pembicaraan serius tentang hubungan kami dan masa depan. Canda tawa pun mulai mengalir, suasana canggung mencair seketika. Tak salah, Hanna pandai beradaptasi dalam situasi apapun.

Next.

Kemelut CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang