17. Lambaian tangan

37 17 11
                                    

"Aa--." Aku kembali mengatupkan rahangku. Entah rasanya aku enggan bercerita pada Sesi. Hari bahkan sudah berganti dan aku masih meyakini bahwa kejadian kemarin hanya mimpi. Lagipula mana mungkin kak Asta mengajakku bicara, haha mungkin itu hanya imajinasi ku saja.

"Len ada yang up nggak?" Tanya Sesi padaku.

"Boro-boro ada, semalem gue gabut nungguin notife wattpad tapi satupun nggak ada yang masuk."

"Terus sekarang kita ngapain?" Kali ini Sesi berbisik pelan. Jam pajaran memang sedang berlangsung, tapi mata pelajaran yang sedang diajarkan saat ini sosiologi. Di IPA ada sosiologi? Ada dong, lintas minat tapi ehehe.

Sejak tadi kami sendiri bingung harus ngapain. Karena pelajaran ini adalah pelajaran yang paling santai, kelihatannya. Padahal cuman mapel ini yang materinya paling banyak. Jujur aja aku nggak pernah sekalipun belajar mapel ini, malesnya udah kebangetan soalnya.

Aku bernafas lega saat mendengar bel istirahat pertama tadi. Dengan segera aku mengambil bekalku yang sejak tadi ingin kulahap habis karena aku sudah kelaparan. Duduk di pinggir pintu itu kadang nyusahin, mau makan aja harus jaga image biar nanti kalo ada orang yang lewat nggak malu-maluin.

"Dek."

Pasti ini aku lagi halu. Mana mungkin suara kak Asta bisa sampai ke kelasku.

"Ekhem dek?" Kali ini aku mendongak. Sial. Ternyata disana benar-benar ada kak Asta bersama satu temannya yang entah siapa namanya.

"Bisa tolong panggilin yang namanya Arin?" Aku terlalu bingung harus merespon apa dan bagaimana. Entah apa yang terjadi namun yang kutau Sesi yang mengangguk lalu berjalan meninggalkan bangku nya untuk memanggil Arin.

Setelah beberapa detik aku melihat Arin berjalan kearah kak Asta.

Aku cemburu pada Arin. Bagaimana bisa dia mengobrol sesantai itu dengan kak Asta, sedangkan aku? Hanya menatapnya saja aku sudah gugup.

"Mereka ngomongin apaan ya Ses?"

"Ya mana gue tahu." Jawab Sesi enteng.

"Lo nguping sana." Suruh ku.

"Yang butuh siapa? Lo pikir gue babu lo apa." Aku melotot mendengar jawaban Sesi. Dia memang begitu, kalau sudah makan bakalan mencak-mencak kalau diajak 'membahas' hal yang tidak dia suka. Ya bukan itu juga sih sebenarnya. Sejak dulu Sesi memang kurang 'suka' melihat aku yang terus menunjukkan seolah aku menyukai kak Asta.

Tapi Sesi jahat banget kali ini. Seenggaknya dia bantuin nguping gitu kan nanti enak.

Aku mendengar satu kata dari mulut Arin. Pramuka.

Ah ya ampun, bagaimana aku bisa melupakan hal ini. Tentu saja mereka bisa akrab karena mereka satu organisasi.

Bukan maksud kegeeran atau apa. Tapi memang di setiap jeda pembicaraan itu kak Asta menatap kearahaku. Entah jenis tatapan apa itu, aku sendiri sulit menebaknya.

Kak Asta tersenyum ke arahku. Ya ampun, manis sekali. Ingin rasanya aku menghentikan waktu sebentar saja agar aku bisa menyaksikan senyum itu lebih lama.

Andai saja.

***

"Pulang sekarang?" Aku bertanya pada Sesi yang masih menggerutu. Pelajaran terakhir tadi seni budaya. Tentu saja membuat seluruh siswa langsung mati kutu karena terlalu banyak tugas. Ya walau ada yang bikin ketawa sih, si ketua kelas yang nggak jelas itu contohnya.

Tapi ya namanya juga sekolah, banyak tugas sih harusnya wajar-wajar aja.

"Entar nunggu sepi." Aku mengangguk mendengar jawaban Sesi. Lagipula kelas juga masih ramai. Kadang aku sendiri juga bingung sama mereka. Pas pelajaran aja pada mau pulang, eh giliran udah pulang pada males-malesan.

"Pulang sekarang aja yuk." Aku mengalihkan pandangan dari ponselku lalu menatap Sesi dengan bingung. Tadi bilangnya nanti aja.

"Kelas kita mau di pakek rapat." Seakan mengerti apa yang aku pikirkan Sesi langsung menjawabnya. Aku hanya menggumam lantas berjalan disamping Sesi menuju gerbang sekolah.

Di dekat pos satpam aku melihat seseorang yang ingin kuhindari untuk beberapa waktu saja, entah mengapa rasanya khayalan terlalu berlebihan tentang kejadian kemaren waktu pulang sekolah.

"Lah lo ngapain diem disitu Len?"

Eh?

Suara Sesi membuatku terkesiap. Aku meringis melihat tempatku berdiri masih sama seperti saat pertama kali tadi aku melihat kak Asta.

Kakiku ini kena lem ya? Susah banget geraknya.

"Ya lo nya aja yang jalannya cepet-cepet." Aku menaikkan nada bicaraku, sedikit. Sengaja supaya Sesi tidak securiga itu padaku.

Sebelum benar-benar menyusul Sesi aku sempat-sempatkan menoleh kearah pos satpam lagi. Disana kak Asta menatapku ragu. Dan tangan kak Asta, walau ragu, aku bisa melihat dengan jelas hal itu.

Kak Asta melambai kearahku?

Ini serius bukan?

Atau hanya haluku saja yang makin hari makin bertambah?

Jika iya, biarkan saja. Setidaknya aku bisa melihat kak Asta melambaikan tangan.

"WOI ASTA GOBLOK!! GUE SURUH LO KESINI BUKAN DADA-DADA KEK ORANG BEGOK!!!"

Gendang telingaku hampir pecah mendengar suara itu. Aku menoleh untuk memastikan bahwa bukan cewek yang memanggil kak Asta tadi. Tapi lagi-lagi kak Asta memang selalu berurusan dengan cewek cantik.

Saat aku menoleh ada kak Fena disana. Salah seorang yang juga sering berada di sisi kak Asta.

Jadi tadi kak Asta hanya melambai ke arah kak Fena?

Bukan kearahku?

Ah ternyata benar. Aku memang selalu berhayal terlalu tinggi.

***

Ah seneng banget, akhirnya dapet wifi di ruang lab ahahaha

Dan iya, aku makin banyak halu haha

Jangan lupa vote komen and share

Sing for Love [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang