Setelah Hujan

3 0 0
                                        

      Tiga hari telah berlalu, kehidupan Ven juga kembali seperti biasanya. Hal ini tentu sedikit mengganggu Patrick. Walaupun anggota keluarga yang lainnya tidak merasa ada yang mengganjal. Namun ia tahu betul bahwa kakaknya telah berubah ceria saat malam pergantian tahun lalu. Namun sekarang kembali pada sikap lamanya. Padahal dirinya sudah meminta maaf pada pagi harinya dan memberikan novel untuk Ven. Ven tak mengatakan apapun selain kata ‘thanks’. Tapi kenapa dia bahkan lebih dingin dari biasanya? Apa karena Ven masih marah? Sekarang ia melihat kakaknya hanya duduk mengamati orang-orang yang berlalu lalang di depan rumah. Biasanya kakaknya sudak kelayapan kalau jam segini.

     "Emm Kak?”

     “Hm.”

     “Ini jaketnya kak Ais. Aku yang mengembalikan atau….”

     “Sini!”

     Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Ven sudah terlebih dahulu mengambilnya dan pergi.
***

     Pikiran Ven jadi tak karuan. Banyak pertanyaan yang mengganggu kerja otaknya. Bagian kalimat mana yang tidak Ven mengerti? Apakah ada maksud tersirat dari pernyataan Aisyna?

     “Oh ini bukan jaketku, tapi jaketnya mas Lana. Dia khawatir loh pas kamu hujan-hujanan. Katanya kamu seharian ini kena air hujan terus. Aku heran deh, darimana dia tahu kamu hujan-hujanan terus? Aku juga baru lihat dia punya kekawatiran itu sama seseorang. Kayaknya kamu penting bangen ya buat mas Lana?”

      Kata khawatir dan penting yang diucapkan Ais, terus terkenang dalam otaknya. “Apakah benar Ustadz menghawatirkanku?” Hatinya tentu berbunga mendengarkan itu, apalagi sepertinya akhir-akhir ini mereka makin dekat.
     Namun nalarnya kadang menolak. Mana mau Ustadz dengan orang urakan seperti Ven?
Sepanjang perjalanan ke tempat kerja Lana, Ven terus menyunggingkan senyumnya. Tentu ia tahu dimana keberadaan pujaan hatinya siang-siang begini. Kedai kopi tabassam. Kedai yang mulai Lana rintis bersama teman-temannya setelah pulang dari pondok.

      Tempatnya lumayan jauh, sehingga ia memilih pulang ke rumah dulu untuk mengambil motor.

     “Eh, kok jaketnya belum dibalikin? Nah ini malah mau pergi naik motor? Rumah Ais deket kali kak. Mau aku aja yang balikin?”Tanya Patrick bertubi-tubi dalam satu tarikan. Heran dengan adiknya yang satu ini, nafasnya panjang sekali. ‘Sering renang mungkin?’ pikirnya. Apa hubungannya?

     “Nggak usah.”

     “Ya elah yang dijawab cuma yang terakhir doang.”gumamnya lirih, takut Ven akan lebih marah padanya.
***

      Sesampainya di sana ia tak jua menemukan sosok Lana. Padahal biasanya ia selalu di garis depan melayani pelanggan. Ya sejak ia tahu Lana membuka kedai kopi,  Ven selalu datang ke sana. Bukan untuk memesan kopi tentunya. Ia takut jantungnya akan maraton jika terlalu sering bertemu Lana. Ia hanya sesekali memesan, itupun berjalan sebagaimana pelanggan dan pemilik kedai lainnya. Tak ada yang spesial dari kedatangan Ven di sana.

     “Eh, Ven ya?”tanya seorang laki-laki yang Ven tahu adalah teman Lana. Ia sepertinya juga ikut bergabung membangun usaha ini.

     Sedikit heran dengannya. darimana ia tahu namanya Ven? Ia bahkan tidak memakai bet nama kan? Bahkan itu adalah nama panggilan sehari-harinya. Biasanya orang-orang yang baru kenal dengan Ven akan memanggil nama lengkapnya. Katanya bingung mau memanggil apa? Heran namanya memang hanya satu kata.

     “Kok tahu nama gue?”

     “Emm...gimana ya?”jawabnya bingung yang semakin membuat Ven bingung juga.

Desember Dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang