Setelah melepas segala kepenatan hatinya dengan menceritakan semua masalahnya kepada sang kakak, kini Ven mulai merasa lebih tenang. Namun tentu tidak dengan perasaannya. Walaupun saraf otaknya mengingatkan untuk mengikhlaskan saja. Tapi tidak dengan sang hati yang terlalu perih menerima kenyataan. Bagaimana ia akan kehilangan seseorang lagi, bahkan sebelum berjuang. Bisa dikatakan Ven kalah sebelum berperang. Ternyata takdir dirinya begitu kejam.
Kebahagiaan Lana adalah prioritasnya sekarang. Mungkin ia akan mengikhlaskan untuk itu.
Sekelebat petuah Arfani melintasi kekosongan pikira Ven.
Flassback
“Kok lo nanya gitu sih?”tanya Arfani sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya ini.
“Emm, gimana ya?”
“Kalo lo niat buat berubah gue bakal dukung 10% dan siap bantu 24 menit Lav.”
“Lah dikit amat.”
“Gue emang Cuma bisa ngasih 10%, 50% dari lo, 20% dari lingkungan, 10% takdir dan 10% mungkin dari do’i. Jadi presentase terbesar dari diri lo sendiri selebihnya pengaruh dari luar dan kendali Tuhan diluar kuasa kita.”
“24 menit?”
“Gue udah nikah Lav, tanggung jawab gue sama keluarga. Ya jadi kalo lo emang butuh gue, gue cuma bisa ngasih 24 menit, kapanpun.”
“Jadi?”
“Alamak Lava, gue dulu nyontek lo mulu kali. Nah sekarang kenapa gue yang jadi guru lo coba.”
“Ish, ini beda Ben. Lo kan udah ngalamin. Pengalaman adalah guru terbaik.”
“Ya cari pengalaman sendiri lah. Duh gimana ya? Gini ya Lava, denger gue baik-baik. Segala sesuatu ada di tangan lo. Jadi jangan pernah ambil keputusan karena pengaruh dari orang lain atau lo pingin merasa dianggap alim. Gue takut lo nggak bertahan lama. Mending lo pikir ini baik-baik dengan otak jernih, dan hati yang suci. Kalo emang lo mau lakuin itu, insyaaallah hal yang baik akan ngikut kok. Sambil berjalan lo harus terus membenahi diri. Okee!”
Flassback off
Setelah percakapan lumayan panjang di toilet dengan Arfani saat itu, ia jadi sedikit ragu dengan keputusan yang akan dia ambil untuk seseorang. Sedangkan sekarang orang itu sudah tidak bisa menjadi alasan bagi Ven. Tapi, apakah dirinya benar-benar menginginkan ini? Entahlah.
Matanya sudah sangat lelah akibat menangis terlalu lama. Apalagi hati dan perasaannya. Sangat berat. Maka biarlah kebimbangan ini terbawa hingga mimpi.
***Seminggu ini Ven habiskan dengan berkelana. Ke tempat ia biasa nongkrong dengan teman-temannya, tempat balapan, tempat ia biasa latihan bela diri, tempat ia biasa merakit motornya, semua telah coba ia singgahi. Dimana ia harus mencari letak ketentraman jiwa? Mencari keinginan hatinya yang terdalam. Menyelami perasaan sesak, marah, dan kacau yang terus membuncah. Bagaimana ia kan bersikap dengan kekalahannya.
Setelah kenyataan Lana akan menikahi wanita lain yang dulu juga pernah lumayan dekat dengannya. Membuat definisi sakit lebih mengena di hati. Bagaimana cara bertahan?
Ia memutuskan ke taman sekolah SMAnya setelah jam sekolah usai. Seperti seharusnya hari pertama masuk sekolah. Anak-anak sekolah telah pulang lebih cepat dari biasanya. Ia pun memilih duduk di tempat favoritnya dulu. Memandang arah depan, kosong.
Hingga sebuah tangan menyentuh pundaknya dari belakang. Reflek ia memelintir tangan tersebut hingga sang empu ikut terpelanting.
“Hey Lav ini aku lah.”ucap laki-laki itu menahan sakit sambil menunduk.
Terkejut? Ya, Ven kenal suara itu, sangat kenal malah. Walau ada sedikit perbedaan, suara itu terdengar semakin berat. Kenapa dia ada di sini? Cengkraman pada tangan itu melemah. Laki-laki itu berhasil membebaskan diri lantas berdiri tepat di hadapan Ven.
“Hai, long time no see Larva.”ucapnya dengan seringaian yang tak pernah berubah. Ven membeku di tempat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Desember Dan Hujan
Любовные романыSalah satu hal yang paling dinanti banyak orang adalah tahun baru. Namun bagi Ven, akhir tahun adalah hari yang paling ia nantikan. Gadis dingin ini selalu bahagia dan menunjukkan sisi lain darinya saat hujan di akhir bulan Desember tiba. "Ustadz ay...