Move on?

5 0 0
                                    

Setelah umpatan kasarnya pada Lana, ia mencoba untuk tidak sering keluar rumah dan tidak berbelanja lagi di toko Hj. Ahmad, ayahnya Lana. Ia sudah terlanjur malu dengan Lana dan keluarganya.

Waktu berjalan semakin cepat, perkulihan juga sudah  dimulai. Ven akan kembali ke rutinitasnya. Mungkin akan menghilangkan rasa jenuh dan sesuatu yang terus mengganjal dalam hatinya. Semua berjalan sebagaimana biasanya. Hanya saja sekarang, ia sudah berjilbab dan berjanji tidak akan melepasnya.

Ia akan mencoba membenahi diri lagi. Ven tak akan merubah apapun dalam hidupnya, namun ia menjadi orang yang lebih dekat dengan Allah. Ternyata membuat hatinya semakin tenang. Ia sudah ikhlas dengan semua jalan Tuhan.

Ven selalu menyibukkan diri di kampus dengan berbagai kegiatan dan pulang sore. Berangkat sangat pagi dan pulang hampir maghrib. Itu adalah jadwal harinnya sekarang.

Di perjalanan pulang motornya tiba-tiba mati. Kebiasaan buruknya mulai lagi. Bensinnya lupa ia isi karena berangkat pagi. Dan sekarang ia berada di jalan kampung yang lumayan sepi. Dimana SPBU? Atau bensin eceran lah? Di sini seperti tidak ada kehidupan, begitu sepi, Ven sempat dibuat merinding.

“Motornya kenapa mbak?”

“Segala tanya, Mata lo dimana ny*....”jawabnya ketus. Tak terselesaikan setelah menyadari sang penanya.

“Eh, ini.”

“Bensinya habis lagi?”

Ven merasa deja vu, kejadian seperti ini rasanya sudah sering ia rasakan sebelumnya. Tunggu, pohon besar itu, jalanan ini, dan orang ini. Batin Ven menjerit, ia belum siappp....

“Ini bensin, ambil saja.”ucapnya sembari memberikan sebotol bensin pada Ven. Sedangkan Ven masih dalam dunia keterkejutannya.

“Kuncinya mana, biar saya yang masukin bensinnya.”

Seperti terhipnotis, Ven langsung menyerahkan kuncinya dan membiarkan dia melakukannya. Ven hanya mengamati tanpa berani berucap. Tenggorokannya seolah kering.

“Sudah saya isi, tidak full si. Tapi ya cukup lah untuk sampai ke rumah.”ucapnya sembari tersenyum lebar sambil menyerahkan kunci. Senyum yang tak pernah Ven lihat belakangan ini.

“Terima kasih.”

Untuk mengucapkan itu saja rasanya kaku. Ven ingin menyudahi ini.

“Sama-sama.”jawabnya tetap pada senyum yang sama.

Ketika ia sudah menaiki motornya dan bersiap untuk pergi. Tiba-tiba laki-laki itu menghadang Ven. Menahan kepergian Ven dari depan.

“Boleh kita bicara?”tanyanya mencoba menyakinkan dan senyuman itu seketika menghilang berubah serius. Sangat serius.

Ven bingung, ia harus bagaimana? Ia masih takut untuk menghadapi ini sekarang. Tapi sampai kapan ia kucing-kucingan dan menjadi pengecut?

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Ven menganggukan kepala dengan tidak yakin.
***

Sekarang mereka berdua sudah duduk di bawah pohon besar itu. Entah sejak kapan di sana ada bangku. Seingatnya saat kejadian dulu belum ada.

Cukup lama, tak ada yang membuka pembicaraan.

“Saya berencana membuka pom mini di sini. Siapa tahu ada orang yang kehabisan bensin lagi. Menurut kamu bagaimana?”

Maksudnya apa coba. Ia diajak  ngobrol Cuma mau bahas itu? Ia ingin mengejek Ven atau bagaimana? Ven mulai sebal.

“Sepertinya akan laris tidak ya? Tempatnya lumayan sepi tapi jauh dari SPBU. Siapa tahu niat saya ini ada manfaatnya? Hehe.”tambahnya dengan tawa sumbang yang seakan dipaksakan.

Dia pikir ini lucu? Ven semakin geram.

“Kamu mau bekerja sama dengan saya?”tambahnya.

Ven pun berdiri.

“Terima kasih untuk pembicaraan yang tidak bermanfaat ini.”ucapnya tanpa menoleh laki-laki tersebut. Mencoba melangkahkan kaki walau terasa berat. Ada apa denganya? Ia hanya akan membuang waktu di sini. Tapi ia seperti enggan untuk pergi.

“Kalau saya mengajak menikah apa kamu mau bekerja sama?”tanyanya dalam satu tarikan nafas.

Ven menoleh. Mencari tanda-tanda pria ini sedang mencoba melucu. Tapi yang ia dapat adalah wajah pucat pasi yang memandangnya dengan serius. Ven meneguk ludahnya kasar. Tertegun dengan tatapan intens dari Lana dari jarak sedekat ini.

“Kamu tadi ngomong apa?”tanyanya hati-hati memastikan telinganya masih berfungsi.

“Saya tidak ingin kamu jauh dari jangkauan dan pandangan saya lagi. Saya ingin melamar kamu menjadi istri saya. Membina rumah tangga dengan saya. Apa kamu bersedia?”tanyanya yakin, menatap mata Ven lekat-lekat.

Ven mengerjapkan matanya berkali-kali.

“Astaghfirullah.”

Ven sekarang menjadi bingung. Apa yang diucapkan Lana tadi tidak benar. Kenapa ia beristighfar? Hatinya yang sedari tadi diajak terbang melayang-layang ke atas awan dijatuhkan seketika. Sakit.

“Maaf, saya memandang kamu terlalu lama.”ucapnya menunduk.

“Oh ternyata itu. Syukurlah.”batin Ven. Dia dilamar? Yang benar saja? Ven merasa masih di alam mimpi. Ia tak ingin bangun sekarang.

“Bagaimana Lavender?”

Ah Ven sangat menyukai jika Lana memanggil nama lengkapnya. Seolah ia sangat berharga. Namun tiba-tiba Ven mengambil helm yang ia letakkan di bangku sebagai pembatas keduanya tadi dan memakainya. Menaiki motor dan menghidupkan mesin.

Lana mencoba memahami situasi. Apakah ini tandanya ia ditolak. Wajah Ven tanpak tanpa ekspresi ketika ia dari tadi mengungkapkan keninginannnya. Apa dia kurang romantis? Seharusnya ia menerima saran sepupunya untuk membawa bunga. Lana tampak murung menatap kepergian Ven. Inilah akhirnya?

“Kalau  Ustadz takut khilaf lagi, saya tunggu Ustadz dan sekeluarga secepatnya di rumah untuk membicarakan masalah ini bersama keluarga kita.”jawab Ven tersenyum di balik helmnya yang belum tertutup kaca.

“Benarkah? Maksudnya, nanti malam saya  sekeluarga akan ke rumah kamu.”jawab Lana tersenyum lebar.

“Saya tunggu, assalamualaikum Ustadz.”

“Waalaikumsalam Lavender.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Desember Dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang