Sebelum matahari benar-benar terbenam, dan tumpukan sampah sudah menunggu untuk dibuang, Suparman yang tukang sapu alun-alun itu tiba-tiba terfikir untuk mengunjungi anaknya yang sudah sukses dengan bisnis kafenya. Bersamaan dengan udara yang mulai dingin beserta turunnya matahari yang menyiratkan cahaya emas di ufuk barat, Suparman segera menyelesaikan pekerjaannya. "Alun-alun dan pepohonan tua, tidurlah dengan nyaman, aku akan kembali esok hari" gumamnya di akhir pekerjaannya hari itu.
Tidak seperti maghrib biasanya, Suparman tidak mau berlama-lama di musala untuk membaca bacaan-bacaan yang selalu ia amalkan. Segera diraihnya batik kesayangannya. Pakaian terbaik yang ia miliki. Ia kenakan serapi mungkin, tak lupa ia menyisir rambutnya. Membelah malam yang tak pernah tidur, dengan sepeda ontel tercintanya itu, Suparman bergegas mengunjungi sang anak. Beberapa tikungan ia lewati, gedung-gedung terlihat berlarian di sisinya, dan kendaraan-kendaraan mewah lewat begitu saja menyalipnya. Tetapi ia tetap menjaga dirinya untuk tidak terlalu berkeringat. "Tikungan Semanggi, tikungan terakhir" batinnya. Semakin dekat ia dengan anaknya.
Terlihat plang yang tidak bergitu besar, menarik perhatiannya. "Parjo Kafe", seperti itulah kafe anak tunggalnya itu bernama. Di depan pintu masuk yang diseting remang-remang itu, Suparman melangkahkan kakinya setelah memarkir sepedanya. Dilihatnya beberapa tempat duduk yang hanya berdua di sudut kafe itu, dan beberapa lainnya ditata empat-empat. Hampir seluruh tempat di kafe ini sengaja dibuat remang-remang dengan pencahayaan lampu yang sedikit dan beberapa lampu lainnya berwarna-warni.
Ia tetap melangkah mengikuti jalan yang sengaja dibuat hanya setapak itu. Belum ia temui anaknya. Hingga setelah ia melewati sebuah kolam yang dihias sebuah air mancur yang gemericik airnya, seseorang yang sedang melayani pelanggannya itu menjadi sorotannya. Tidak lain ia adalah Parjo. Dan tidak terburu-buru memanggil, Suparman hanya tersenyum melihat anaknya yang sigap melayani pelanggannya. Dan setelah Parjo terlihat lebih lenggang, ia hampiri anaknya itu yang duduk di meja kasir.
"Beri aku kopi terbaikmu", berkata Suparman pada Parjo yang tertunduk menghitung sesuatu.
"Parjo Spesial Black Coffe, mau pesan berapa pak?", spontan Parjo menjawab.
"..." Suparman diam dan tersenyum.
"Bapak? Sudah lama bapak menunggu?"
"Baru saja, bapak hanya ingin bertemu denganmu"
"Maaf, Parjo jarang pulang, karena memang sibuk dengan kuliah dan mengurus kafe ini pak"
"Tidak papa, alun-alun dan pepohonan tua selalu menemani hari-hari bapak"
"Kita ngobrol di sana saja pak"
Merekapun duduk di sebuah meja kursi yang hanya berdua, di bawah lampu kuning yang dikelilingi sepasang nyamuk. Parjo membuka pembicaraan,
"Seperti inilah kafe yang Parjo dan kawan-kawan buat, memang ditata dan diseting seperti ini, untuk membangun suasana sepi, karena seperti inilah yang disukai oleh pemuda masa kini"
"Lalu, apa yang mereka lakukan di sini?"
"Tidak banyak, biasanya sepasang muda mudi duduk berdua dan mengobrol, entah apa yang mereka bicarakan, dan yang paling sering, sekelompok anak muda yang memesan beberapa minuman lalu mereka membicarakan sesuatu yang lucu, tertawa bersama-sama, dan ketika pembicaraan itu habis, mereka akan sibuk dengan smartphonenya masing-masing, menikmati akses Free Wi-Fi yang kami sediakan."
"Tidak jauh berbeda dengan seorang gadis yang kutemui di alun-alun kota tadi sore, apa mereka juga sibuk berfoto?"
"Tentu saja, pak! Sekarang ini, berfoto di kafe sudah menjadi tren. Lalu foto-foto itu akan mereka upload ke jejaring sosial."
"Aku masih tidak mengerti anakku, sebenarnya untuk apa hal seperti itu?"
"Bagi mereka, itu sarana untuk menunjukkan kepada teman-temannya kalau ia sudah seperti temannya yang lain, berkunjung ke kafe, tetapi bagi kami, pak! Foto-foto yang mereka unggah di media sosial itu menjadi sarana promosi gratis. ketika foto itu dilihat oleh teman-temannya, mereka akan ditanya, 'di mana lokasinya?' dan mereka akan memberi tahu dan akan banyak orang yang berkunjung ke kafe ini."
"seperti itu rupanya. Terus, apa mereka itu menyukai kopi?"
"tentu saja tidak, justru menu kopi murni kami hanya dipesan oleh beberapa orang saja, menu-menu Ice Blend dan soda-lah yang sering dipesan."
"Tidak seperti dulu, bapak selalu menemukan kenikmatan kopi yang buat oleh mendiang ibumu."
"Kafe bukanlah warung kopi ibu yang digunakan untuk menikmati kopi sambil berinteraksi dengan orang lain, membicarakan banyak hal dan menyisahkan banyak cerita, melainkan kafe adalah gaya hidup tersendiri bagi pemuda masa kini yang menyisahkan story WA, status FB, dan Foto Instagram."
"Seperti itulah perubahan, kau tidak bisa menghindar, melainkan harus kau hadapi dengan bijaksana."
Malam pun semakin larut, menandakan saatnya untuk pulang. Setelah berpamitan, iapun kembali mengayuh sepedanya, menyisahkan sebuah cerita tersendiri bagi Parjo dengan apa yang telah dikatakan oleh bapaknya. Di bawah sinar rembulan dan bintang yang selalu bersama, Suparman mengayuh pelan sepedahnya, menikmati kedamaian.
YOU ARE READING
Trilogi Suparman
Short StoryAnda perlu membaca ini. Karena serial Suparman sebenarnya terjadi dalam satu waktu yang bersamaan. Namun Suparman hanyalah manusia biasa. Ia bukan seperti Quill dalam film "Guardian Of Galaxi" yang dilahirkan setengah dewa dan setengah manusia. Kala...