(1980)
"Pak, potong rambut saya gaya Beatles ya"
"Ok, Beres"
Seorang anak muda meminta pada Suparman untuk memotong rambutnya bergaya The Beatles yang sedang tren pada zaman itu. Sigap saja ia memotong rambut anak itu sesuai keinginannya. Tidak hanya dia, beberapa anak muda lainnya juga mengantri untuk dipotong dengan gaya yang sama. Gaya Beatles.
Di pojok perempatan jalan itulah berdiri bedak kecil ukuran 4x5 meter. Bedak yang ia buka untuk membuka bisnis potong rambutnya itu, selalu ramai dikunjungi anak kecil, remaja, dewasa, hingga orang tua setiap harinya. Berbagai macam model rambut ia ladeni. Mulai model rapi, cepak ala tentara, hingga gaya Beatles yang digemari pada pemuda zaman itu. Bukan sebuah beban baginya, meskipun ia harus lembur menyelesaikan pekerjaannya. Karena, hanya itulah harapan satu-satunya baginya untuk menyekolahkan Parjo, anak satu-satunya.
(2018)
Suparman tersadar dari lamunannya ketika seseorang yang tua memanggilnya. Rupanya sampai matahari di ujung cakrawala, orang itulah pelanggan pertamanya hari ini. Di tempat yang sama, puluhan tahun bisnis potong rambutnya itu masih berdiri. Namun tak setegak dahulu. Hanya 3 sampai 4 pelanggan saja dalam sehari. Namun, tak ada pekerjaan lain baginya kalau ia menutup usahanya itu.
Tetapi, setidaknya dia tahu, tren masa mudanya tak sama dengan tren anak muda masa kini. Untuk itu, ia banyak belajar dari Parjo tentang tren yang sedang digemari. Tetapi sama saja, meskipun ia dapat memangkas rambut model masa kini, pangkas rambutnya tetap saja sepi. Dan hari-harinya ia habiskan di tempat itu dengan menunggu pelanggan yang datang sambil melamunkan masa kejayaannya dulu.
Sampai pada hari itu, di tengah lamunanya, seorang pemuda menyadarkannya. Ia langsung duduk di bangku yang disediakan di depan kaca. Dan spontan, dipakaikanlah kain penutup di badannya. Dan langkah-langkah awal ia lakukan. Membasahi rambutnya dan menyisirnya sesuai alur.
"Mau dicukur model apa?"
"Potong rambut saya model Beatles pak!"
Suparman terkejut, tak disangkanya di jaman musik Korea merajalela ini, masih ada anak muda yang mau dipotong gaya Beatles. Masih ragu ia akan hal itu.
"Benar, kau mau dipotong gaya Beatles?"
"Tentu saja, aku penggemar berat The Beatles, kabarnya di sini bisa memotong gaya itu."
"Ya, tentu saja."
"Kenapa kamu memilih model ini?"
"Saya anak band, besok saya harus tampil di acara ulang tahun sekolah."
"Oh gitu, memangnya band rock harus bergaya Beatles?"
"Karena saya akan membawakan lagunya The Beatles, ya supaya lebih menjiwai saja."
Suparman mencukur rambut anak itu sesuai dengan keinginannya. Terlihat lincah tangannya memangkas, meskipun ia sudah tak ingat lagi, kapan terakhir kali ia memotong gaya itu.
Di tengah gunting cukurnya membabat sisi kanan kepala pemuda itu, ia merasakan ada yang berbeda dengan rambutnya,
"Di mana kamu mencukur rambutmu sebelumnya?"
"Di Barber Shop jl. Kawi pak."
"Barber Shop?"
"Iya, Barber Shop."
"Tempat apa itu?"
"Ya, sama pak, tempat potong rambut, hanya saja lebih mirip dengan salon, tapi untuk pria."
"Oh seperti itu!"
"Kenapa potong rambut di sana?"
"Ya, karena teman-teman saya juga potong rambut di sana."
"Ha? Apa di sana lebih murah?"
"Tentu saja tidak, bahkan jauh lebih mahal, tapi mereka memotong lebih modern dan hasilnya bagus pak."
"Terus, mengapa kamu potong rambut di sini?"
"Karena di Barber Shop itu tidak bisa memotong gaya Beatles, mereka hanya bisa gaya-gaya baru."
Usainya percakapan itu, menandakan usai pula rambut itu dipotong sesuai dengan model yang diinginkannya. Dengan harga seperti biasanya, ia meninggalkan bedak Suparman dengan tampilan lama yang terasa baru.
Hari semakin sore, langit mulai menguap karena ingin malam segera tiba. Suparman mengayuh sepedanya pulang. Ada yang berbeda. Ia tidak melalui jalan yang biasanya dilewatinya. Rasa penasarannya mengantarnya pulang melewati jl. Kawi. Tempat Barber Shop itu berada. Dan benar saja, sampai di sana, ia berhenti di depan tempat pangkas rambut masa kini itu. Dari kaca depan, dilihatnya seorang pemangkas yang lihai memainkan alat-alatnya. Dan di meja potongnya, terdapat berbagai macam gunting. Berbeda bentuk, berbeda fungsi pula. Seseorang yang dipotong pun juga merasa nyaman duduk manis di kursinya yang empuk itu.
Melihat itu, Suparman tersadar. Ternyata, seperti inilah yang diinginkan pemuda masa kini. Perubahan zaman memang benar-benar merubah budaya masyarakat. "Ah, mungkin aku saja yang tak bisa mengikuti perubahan itu.", batinnnya.
Ditinggalkannyalah kaca itu, dan diraihnya sepeda bersejarahnya. Tetapi, sebelum ia benar-benar mengayuh sepedanya dan melanjutkan perjalanan pulangnya, ada yang terlintas di kepalanya. "Atau mereka yang gagal menghadapapi perubahan? Sehingga, mereka larut dalam dunia yang terus bergejolak ini. Ah, sudahlah lupakan saja." Dan bersama mega merah yang memanggil malam, ia habiskan sisa perjalanan pulangnya di bawah terik lampu jalanan yang membakar setiap detik kenangannya.
YOU ARE READING
Trilogi Suparman
ContoAnda perlu membaca ini. Karena serial Suparman sebenarnya terjadi dalam satu waktu yang bersamaan. Namun Suparman hanyalah manusia biasa. Ia bukan seperti Quill dalam film "Guardian Of Galaxi" yang dilahirkan setengah dewa dan setengah manusia. Kala...