Suparman Jukir Pasar dan Perempuan Lokalisasi

25 1 0
                                    



Pelajaran penting yang didapatkan dari seorang jukir adalah, bahwa segala sesuatu di dunia ini hanyalah titipan. Suparman benar-benar menyadari hal itu. Sebagai jukir di pasar kota, tentu bermacam-macam motor pernah dititipkan kepadanya. Mulai motor murahan, hingga motor yang hanya sekali ia lihat dalam hidupnya.

Dari menjadi jukir, Suparman tidak hanya mendapat uang untuk memenuhi kehiduapannya, melainkan segudang hikmah juga ia dapatkan. Dari pekerjaan itu pula ia menemukan macam-macam orang. Dari yang pura-pura tidak tahu kalau ada jukir, yang langsung kabur, yang pura-pura terburu-buru, yang tidak turun dari motor, hingga yang pura-pura gila juga pernah ia temui.

Ia pun tabah. Tidak mempersoalkan hal-hal semacam itu. Karena yang seperti mereka hanya beberapa. Sedang yang lain pasti sadar bahwa perlu ada penghargaan bagi orang yang telah menjaga harta bendanya saat ditinggal berbelanja.

Pendapatannya pun tak seberapa. Satu hari saja ia biasanya memperoleh sedikit-dikitnya seratus ribu. Itu pun belum dipotong sewa lahan dan kupon parkir yang dibelinya di dinas perhubungan. Suparman selalu jujur dan tidak pernah memberikan kupon bekas kepada pelanggannya. "Itu kan bayar pajak, pajak untuk pembangunan kota, untuk diri sendiri juga" batinnya. Ia selalu berfikiran seperti itu, meski tidak menuntut kemungkinan adanya korupsi. Kalau itu, masalah lain.

Dalam bekerja, Suparman tentunya punya jadwal. Pasar itu akan menjadi pasar hanya di pagi dan siang hari saja. Sedang sore hingga malam, toko-toko pastinya tutup dan digantikan warkop-warkop dadakan. Setiap hari ia bergantian dengan Parjo.

Malam itu adalah jadwalnya jaga. Suparman hanya duduk di kursi yang ada di bawah lampu jalan itu. Dan sesekali ia tata motor yang datang dan pergi itu. Dua ribu saja per motor, berapapun lamanya, bayar tetap. Karena memang lahannya bukan tempat parkir mall yang terus bertambah mahal.

Tempat ngopi yang ada tempat di itu adalah tempat langganan para muda-mudi di malam minggu. Sedang malam-malam lain, biasanya dipenuhi para supir truk yang melepas lelahnya, juga rindu. Dan tak jarang Suparman menyaksikan perempuan-perempuan dari lokalisasi sebelah yang juga berkunjung ke tempat itu. Kalau Suparman sendiri tidak pernah tergoda dengan mereka, ia hanya bisa digoda dengan tiket nonton konser K-Pop.

Dan malam itu bukanlah malam minggu. Tapi malam-malam sepi yang di keesokan hari, anak-anak harus pergi ke sekolah. Warung kopi yang hanya dibuat seperti tenda pengungsian itu terlihat tidak begitu ramai. Beberapa buah truk di parkir di bahu jalan. Sedang pengemudinya sebagian ada di warung, sebagian terlihat tidur di truknya.

Seperti yang dikira, selalu ada kupu-kupu yang mencari tamu. Dua, tiga dan seterusnya berdatangan, music pun dinyalakan keras-keras, tawa-tawa membumbung di udara bersamaan dengan asap rokok yang mengudara.

Yang tak terkira, Suparman melihat seorang perempuan duduk sendirian di samping trotoar. Tidak lain perempuan itu juga salah satu dari para pencari tamu itu. Tapi kenapa ia hanya diam di situ? Kenapa tidak seperti yang lain di warung itu? Ada masalah? Ah, mungkin hanya lelah saja, mungkin dia muak dengan bau rokok, mungkin ia menunggu seseorang, mungkin ia sedang menikmati angina malam, sepertiku, pikir Suparman.

Suparman tidak lagi peduli terhadapnya, ia lanjutkan pekerjaannya seperti biasa. Tapi perempuan itu tak kunjung pergi. Tak seorang pun pula datang menjemputnya. Dan ia tak terlihat seperti menunggu seseorang. Ia kesepian!

Ah, Suparman tidak tahu harus berbuat apa. Sedang pagi hampir tiba. Si pemilik warung mulai berkemas. Suparman juga mau pulang. Pemilik toko-toko sayuran juga mulai berdatangan, satu-dua. Tapi perempuan itu masih di sana.

Sudahlah, tidak akan terjadi apa-apa. Namun, Suparman tak tega melihatnya yang hanya diam dan pandangannya kosong. Aku harus datangi dia, mungkin dia lupa jalan pulang. Lantas apa yang harus kuperbuat padanya? Aku yakin dia butuh bantuan. Suparman bertarung dengan dirinya sendiri.

Langkah itu ragu. Tapi bergerak mendekati perempuan itu. Perempuan yang berjaket tebal, yang ia yakin pasti ada pakaian super mini di balik jaket itu.

Akhirnya Suparman sudah duduk di sebelahnya, dengan jarak hanya satu jengkal. Ada hati yang berdebar. Tapi Suparman tak menunjukkan groginya. Ia tatap sekilah wajah perempuan itu yang memandang jalanan kosong di depannya. Sedang udara dingin sedang bergembira bersama embun.

Suparman mengerti kalau harus ia dahulu yang bertanya.

"Apa indahnya jalanan kosong itu, tak ada yang merasa perlu untuk dilihat," kata Suparman dengan gayanya yang sok bijak.

"Biar saja, ini hidupku, memang kamu siapa? Memang hanya kamu yang boleh bahagia? Memang dunia ini milik siapa? Memang surga milik siapa?" jawab perempuan itu.

"Ya milik tuhan lah," timpal Suparman sekenanya.

"Memang aku tidak ingin hidup bahagia seperti kalian, kalian aku seperti ini karena apa? Tentu karena terdesak, apa lagi? Memang apa bedanya aku dengan maling yang sama-sama berbuat salah karena desakan?" celotehnya yang semakin tidak dimengerti Suparman.

"Memangnya kenapa?" Tanya Suparman yang sebenarnya tidak memahami perkataannya sendiri.

"Mereka datangi aku sore itu, kamar kosku yang sempit itu mereka porak-porandakan, semuanya berantakan, mereka mencaciku habis-habisan, 'Dasar Pelacur' katanya. 'Pergi kamu dari daerah sini, sana tempat kamu ada di lokalisasi bukan di sini!', mereka juga mengusirku." Sebuah tangis pecah. Kini ia hanya menunduk, tak kuat menahan tangis yang lama tertahan itu.

Suparman merasa kasian padanya. Entah angina apa yang membawa tangan Suparman hinggap di pungguk si perempuan dan mencoba membuatnya tenang. Tapi untung saja itu tidak lama, si perempuan menghela tangan Suparman.

"Aku tidak butuh kasihan dari siapapun, kecuali tuhan," bantah perempuan itu.

"Biarkan saja aku di sini, sebelum adzan subuh, aku pasti sudah terjun dari jembatan itu. Lagian untuk apa hidup ini terus dijalani kalau selalu saja meninggalkan luka? Untuk apa? Mati saja supaya tidak menyusahkan orang lain." Tambahnya.

Suparman mengerti. Tapi ia tidak membiarkan kejadian itu terjadi. Kalau ia lompat dari jembatan itu, tentu akan membuat geger orang-orang sana. Bisa-bisa Suparman dituduh, karena ia akan menjadi orang terakhir bersama si perempuan.

Namun, Suparman juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia jadi menyesal sudah melibatkan diri pada masalah ini. Apa yang bisa diperbuatnya? Tidak ada. Suparman pun meninggalkannya sendirian. Sebelum ia benar-benar beranjak dari tempat duduknya, ia berkata,

"Yang tidak dijual di warung itu adalah kopi luak. Kamu tahu kopi luak bukan? Kopi luak itu awalnya jug kopi biasa yang masih bersih, lalu dimakan oleh luak, dan dikeluarkan lagi, tentu saja dengan bentuk kotoran. Tapi apakah terus dibuang begitu saja? Pastilah tidak. Kopi yang bercampur kotoran luak itu dibersihkan dan diolah kembali menjadi kopi yang nikmat, ada rasa asam dan pahit yang pas bagi para pecinta kopi. Dari situ setidaknya kita belajar, surga itu milik tuhan, dunia ini milik tuhan, dan tuhan tentu tidak menyukai orang-orang yang berputus asa," itu kata-kata terakhirnya.

Perempuan itu menatap Suparman yang perlahan hilang dari pandangannya. Di bawah lampu jalanan, Suparman menjelma pagi yang beringsut datang. Dan sebuah senyum yang tulus terbit dari bibir perempuan tadi sebelum di pinggir jembatan itu, ia hilang.

Trilogi SuparmanWhere stories live. Discover now