Suparman Tukang Sapu dan Kids Zaman Now: Generasi Tongsis

11 0 0
                                    


Perubahan zaman telah merubah seluruh gaya hidup masyarakat dunia. Terutama bagi mereka yang hidup di perkotaan. Tekhnologi-lah yang telah membuat kebudayaan baru itu. Dan tentu saja, pemuda generasi milenial menjadi pemeran utama atas berlangsungnya kebiasaan masyarakat modern.

Di sebuah alun-alun kota. Daun-daun kering berserakan. Sampah-sampah menggunung di tempat sampah yang mulai sesak berserta orang-orang yang mulai ramai memenuhi tempat hiburan gratis itu. Anak-anak kecil terlihat bahagia berlarian dan kejar-kejaran, sementara orang tua mereka sedang asyik menggosip di taman yang digelar di atasnya rumput hijau yang tumbuh segar bersama bunga-bunga aneka warna. Beberapa kelompok anak muda juga terlihat asyik berfoto sana sini memanfaatkan momen dan spot foto yang sengaja di bangun. Terlihat kebahagiaan dan kebersamaan terjalin di tempat itu, begitu damai dan tenang. Sedamai tukang sapu di sudut alun-alun itu.

Suparman, tukang sapu tua yang sudah sejak lama menjadi sahabat sejati tempat tua yang terus dipermuda itu. Hanya pepohonan besar yang tumbuh di tempat itulah yang tidak berubah, sedang air mancur, taman-taman, kebun binatang mini, tempat bermain, dan puluhan spot foto merupakan komponen baru yang terus mengalami perubahan, mengikuti cepatnya perubahan zaman.

Setiap pagi dan sore, ia dapat ditemui di sana. Dari ujung barat, ia akan menyapu dedaunan kering yang berjatuhan dan sampah-sampah yang berserakan, hingga ke timur. Sedangkan di sisi selatan dan utara, bukan bagiannya. Seperti pada sore itu, di hari libur. Suparman, masih dengan baju kuning favoritnya dan sapu lidi andalannya, ia bersihkan sisi barat yang mulai kembali kotor. Daun-daun dan sampah yang mengotori ia atasi sendiri hingga bersih seperti sedia kala. Bukan perkerjaan berat baginya, meskipun di usia senjanya kini, ia masih kuat melakukan itu semua. Tetapi entah, sore itu Suparman terlihat letih. "mungkin aku butuh sedikit beristirahat", batinnya. Ia pun duduk di bangku yang bersebrangan dengan rangkaian bunga yang sengaja ditata sebagai tempat ber-swa foto.

Dari bangku itu, ia melihat sekelompok pemuda yang sedang memanfaatkan tempat itu untuk mengabadikan sebuah momen kebersamaan. Seorang gadis dengan tongkat yang diunjungnya dipasang HP menjadi sorotan utamanya. Dengan enjoy-nya mereka berfoto diri mereka sendiri dengan bantuan alat itu. Bukan suatu hal yang baru bagi Suparman, setiap hari ia melihat hampir semua orang menggunakan alat itu untuk berfoto. Tentu saja dengan gaya yang bermacam-macam, tidak seperti gaya fotonya bersama bapaknya di tempat foto tua dulu. Ada yang berfoto dengan tongkat yang disebut "Tongsis" itu, bersama-sama dengan latar yang berbeda-beda. Dan yang paling sering ia lihat adalah pose sendirian maupun bersama-sama menggunakan tongsis tetapi kepalanya menunduk tidak melihat kamera melainkan melihat Hp sambil tersenyum. Ada juga pose tangan seperti Power Ranger idola anak-anak yang dilakukan bersama-sama. Begitu pula pose-pose lain yang dilakukan hampir sebagian besar orang yang berfoto di sana.

Menyadari hal itu, hanya senyum tipis yang keluar dari mulutnya. "Aku tidak hidup di zaman mereka, dan mereka pun tidak hidup di zamanku" gumammnya. Dan ia-pun bersyukur, Parjo –anaknya- tidak pernah minta yang aneh-aneh padanya. Parjo lebih suka hidup sebagai pemuda yang tidak bergantung pada orang tuanya. Pekerjaannya sebagai pemilik kedai kopi modern atau yang lebih dikenal dengan kafe, telah mengantarnya hidup mandiri. Biaya hidup dan pendidikannya ia tanggung sendiri.

Di tengah lamunannya itu, ia tersadar. Seorang gadis yang menjadi perhatiannya tadi sudah duduk di sebelahnya. Dilihatnya wajah sedikit kecewa pada raut mukannya. Tanpa ditanya, gadis itu berkata,

"Yaah, sayang sekali, padahal masih pingin foto-foto sama temen-temen, tapi tongsisnya rusak"

Suparman tidak menjawab, hanya tersenyum. Tatapannya tertuju pada teman-teman gadis itu yang asyik berfoto sendiri dan bermain dengan gadgetnya. Tetapi gadis itu kembali mencuri perhatiannya.

"Padahal, ini saat terakhir saya bersama teman-teman sebelum pulang ke Sumatra"

"Sudah berapa kali kamu berfoto dengan tongkat itu?"

"Banyak sih pak, tapi rasanya kurang"

"Memang, mau dicetak semua fotonya?"

"Ya tidaklah pak! Foto-foto itu akan saya upload di Facebook dan Instagram saya"

Karena tidak mengerti, Suparman diam. "Mungkin istilah itu seperti yang dikatakan Parjo, 'pak, sekarang itu promosinya tidak pakai iklan di radio, sekarang pakai media sosial, Facebook sama Instagram', iya itu" gumamnya dalam hati. Suparman pun bertanya,

"Memangnya, tanpa tongkat itu kalian tidak bisa foto bersama?"

"Bisa sih pak, tapi itu kurang keren, kurang instagramable gitu."

Tak mengerti lagi, Suparman diam. Seperti tak ada sambungan antara mereka berdua. "Zaman telah memisahkan generasi dengan generasi lainnya", gumamnya lagi.

"Ya sudahlah pak, tidak papa, masih ada banyak gaya lain yang bisa kami lakukan"

"Memangnya kenapa harus bergaya seperti itu?"

"Ya tidak papa, semua orang melakukannya. Coba bapak lihat di sekitar, rata-rata kita melakukan pose yang sama."

"Lalu manfaatnya?"

"Ya, hits saja, akan banyak orang melihat foto kami di media sosial, siapa yang paling sering dan paling bagus fotonya, akan memperoloeh banyak love dan like."

Mboh, bingung Suparman dibuatnya. Iapun memilih diam daripada bertanya kembali tetapi malah mendapat jawaban yang membuatnya terasing dari orang-orang modern. Diamnya itu membuat gadis itu merasa tidak ada sambungan pula, ia pun menyadari tidak seharusnya membicarakan hal itu dengan orang berusia senja seperti Suparman. Ia pun pamit dan meninggalkan Suparman yang masih ingin duduk manis di bangku itu.

"Perubahan memang tidak dapat dihindari, melainkan harus dihadapi dengan bijak" batinnya. Ia pun bangkit dari duduknya dan kembali meraih sapu lidi andalannya untuk melanjutkan setengah lagi pekerjaannya sebelum matahari terbenam yang mendakan saat baginya untuk pulang.

Trilogi SuparmanWhere stories live. Discover now