Gegap gempita memenuhi lapangan basket SMA St. Maria. Pertandingan basket regional sedang berlangsung dengan seru antara distrik 1 alias kota utama dan distrik 13 alias Hicantuary. Saat semua orang sibuk memberikan dukungan kepada jagoan masing-masing, salah seorang gadis di tribun penonton malah asyik mengotak-atik ponselnya sambil memakai headset.
"Haduh itu pemainnya St. Maria ganteng banget, duh, siapa namanya? Lucas?"
"Tapi Kak Rendi jauh lebih top." Sahut Mia mengunggulkan anak SMA kelas 1 distrik 13 yang sudah menjadi pujaannya sejak SD karena waktu SD mereka satu sekolah dan Rendi memang terlihat top markotop dengan wajah imut, tampangnya yang innocent tapi jago olahraga.
"Marioo!!!" pendukung St. Maria berteriak karena salah satu pemain mereka sedang melakukan dribbel ke arah keranjang lawan. Ia mengumpan dengan sangat baik kepada salah satu pemain yang bersiap degan posisi menembak.
"Shoot!" hening sejenak dan semua mata tertuju pada satu pemain yang melakukan tembakan dari titik three point.
Si gadis masih acuh. Ia baru menampakkan ekspresi dua detik setelah tembakan gagal menjadi 3 poin dan berubah menjadi sebah dunk spektakuler. Sorakan penonton tenggelam di benak gadis itu, yang terdengar justru bunyi klik pelan saat jemari gadis itu menekan tombol paling bawah berwarna merah di bar ponselnya. Ia kemudian berdiri dan berjalan keluar tribun.
SMA St. Maria sangat sepi. Si gadis berjalan menyusuri koridor-koridor yang panjang dan gelap. Di depan ruang kelas XI-IPA-B si gadis berhenti dan mendongak karena mendapati CCTV dalam kondisi mati. "Good job." Gumamnya lirih pada diri sendiri sambil tersenyum simpul.
Gerak-gerik sang gadis setelah keluar dari tribun tertangkap oleh salah satu sie keamanan Pertandingan Basket Regional Tingkat SMP/SMA. Miyagama Matsumoto yang juga dipanggil Gama-cowok berkebangsaan Jepang yang lama tinggal di Indonesia- ia kini menjabat sebagai ketua sie bakat dan minat, namun di acara ia bertugas sebagai sie keamanan. "Heh, kamu! Ngapain kamu disini?" tanya cowok itu.
Si gadis menoleh orang yang datang dari arah belakangnya. Ia tidak langsung menatap mata orang itu, matanya sibuk menyipit untuk mencari tag nama di dada kiri orang itu. "Miyagama Matsumoto." Gumam si gadis lirih. Ia melanjutkan gumaman di benaknya, oh orang Jepang?
Gama terus mendekat. "Dari SMP mana?" Tanya Gama ketika tiba tepat beberapa puluh senti di depan si gadis.
"Distrik 13," jawab si gadis. Kini mereka saling bertatapan untuk beberapa detik.
"Aku Gama," cowok itu mengulurkan tangannya untuk berkenalan, namun tidak langsung dijabat oleh si gadis. Sehingga Gama menarik tangannya kembali dengan kikuk, lantas ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Ahmm." Mendadak suasana berubah canggung bagi Gama yang biasanya tampil percaya diri. Gama memperhatikan kalau iris cewek di depannya, bukan hitam atau coklat gelap melainkan coklat agak terang sedikit bahkan menjurus ke warna kuning kehijauan yang cemerlang.
"Aku Luna," gadis itu memecah kecanggungan tak lama kemudian. Ia memperkenalkan diri tanpa menjabat tangan Gama. "Maaf, aku nggak bisa pegang tangan orang sembarangan," Gama mengeluarkan senyum maklum, tapi sebenarnya ia lebih menggap remeh dan sangat penasaran sekaligus. Ia bersekulasi buruk, apa gadis ini takut kalau tanganku banyak kumannya? Ih sok higienis sekali. "Aku punya phobia," sambung Luna untuk menerangkan kondisinya seolah tahu prasangka di benak Gama.
Mata Gama melebar. "Oh maaf," sahutnya cepat. "Jadi apa yang kamu lakukan disini? Kalau nggak ada apa-apa sebaiknya kamu kembali ke tribun."
"Aku ingin melihat-lihat sekitar sini."
"Apa kamu nggak takut tersesat?" Tanya Gama.
"Aku bisa cari jalan kembali kalau tersesat."
Gama meraih lengan Luna dan sedikit menyeret gadis itu agak menjauh dari kelas XI-IPA-B menuju lapangan indoor. Luna yang awalnya hanya terkesiap kaget, langsung mengibaskan tangannya dan berhenti. Mereka lebih dekat dengan lapangan indoor karena suara gegap gempita itu terdengar sayup-sayup.
"Kenapa kamu menyentuhku, Matsumoto-kun?" Gama tidak akan pernah bisa lupa cara bicara gadis itu barusan. Caranya bicara mirip tokoh wanita dalam manga yang biasa ia imajinasikan saat membaca.
Sejenak Gama teralihkan dari lupanya bahwa gadis di depannya tidak bisa disentuh sembarangan. "Gomen..., eh, maaf." Kata Gama yang ikut terbawa suasana cara bicara Luna.
Luna yang agak cemberut mengibas-ibaskan tangannya sambil sesekali menggosoknya. Ia merinding luar biasa dan kini ia mulai sesak napas dan berkunang-kunang. Namun, ia tetap menunjukkan ekspresi normal di depan Gama. Kini pusar Luna terasa melilit dan kakinya kesemutan secara tiba-tiba. Reaksi alami tubuhnya begitu ia tersentuh seseorang secara spontan saat ia sadar. Pandangan Luna berputar saat Gama mengatakan sesuatu yang tidak dapat ia dengar karena telinganya berdenging dan tiba-tiba semua menjadi gelap. Luna masih sempat berpikir sesaat sebelum ia tak sadarkan diri. Oh aku akan pingsan.
To be continued...
Maaf kalau banyak typo dan semoga suka sama ceritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luna (Selesai)
Teen FictionCerita remaja biasa yang beberapa mungkin kamu alami di SMA. Selamat membaca dan semoga suka.