Bab Tujuh

87 2 0
                                    

Saat Luna pulang sekolah, waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Perjalanan ke rumah ia habiskan dengan berjalan sembari menikmati jalanan distrik 13 yang kaya akan oksigen dan juga terasa segar bahkan hampir dingin. Tangan Luna menyapa ilalang di pinggir jalan yang tingginya hampir sepinggang.

Rendi yang saat itu juga dalam perjalanan pulang, menepi dan menghentikan motornya di pinggir jalan. Ia membuka helmnya yang memiliki kaca gelap. Mungkin adegan itu sangat umum terjadi, namun demikianlah kira-kira peristiwanya. Luna menghentikan langkahnya, sedangkan pandangannya menyorot pada Rendi yang ada di depannya.

"Ayok aku antar!" Kata Rendi setengah memerintah. Luna menggeleng. "Ngeyel banget sih kamu," kata Rendi setengah membentak.

"Pulang aja sendiri, aku bisa jalan kaki," kata Luna dengan keras kepala. Lantas Luna melanjutkan lagkahnya.

Tak berselang lama, Rendi yang turun dari motornya langsung menghampiri Luna. Tidak sulit baginya yang memiliki jangkauan kaki yang lebar itu untuk menyusul adik tiri yang ukuran tubuhnya relatif lebih kecil daripada Rendi sendiri.

"Keep away, just take care your own bussines!" kata Luna setengah membentak, ia menghindari tangan Rendi yang hendak meraih tangannya.

"Aku gak tahu kenapa kamu benci banget sama aku, apa salahnya jadi saudara tiri," kata Rendi dengan suara yang lebih lembut.

Justru itulah. "Aku hanya nggak bisa. Biarkan aku sendiri. Jangan pernah dekati aku lagi," Luna hanya merasa tidak nyaman dengan kehadiran Rendi. Ia tidak bermaksud menyakiti atau berbuat kasar pada Rendi.

"Apa mungkin kamu suka sama aku?" Luna nyengir heran, tapi ia membiarkan Rendi melanjutkan perkataannya untuk mengungkap spekulasi kakak tirinya tersebut yang menurutnya agak konyol. "Tapi kita nggak bisa bersama karena Ayah kamu nikah dengan Mamaku?" Benar, spekulasi Rendi memang lucu.

Tanpa Luna sadari, hal ini akan membuat mereka lebih dekat setelah hampir tiga minggu yang penuh kecanggungan. Pertama kalinya Luna tertawa lepas di depan Rendi. "Aku gak pernah berpikiran seperti itu," Luna tidak penasaran mengapa Rendi sampai berpikiran seperti itu tentangnya.

Tanpa ditanya Rendi mengedikkan bahu. "Aku hanya berpikir bahwa kamu kayak cewek lainnya yang suka sama aku."

Tawa Luna masih menyisakan seulas senyum, namun binar matanya belum padam. Luna menggeleng, "Kayaknya masa pubermu belum sampai pada tahap suka ke lawan jenis," jelas Luna, terlihat seolah ia adalah dokter yang memiliki pengalaman dan landasan ilmiah yang kuat. Namun ia mengakhiri perkataannya dengan kekehan.

Pandangan Rendi berpaling ke arah lain yang semula tertuju pada Luna. "Jadi apakah kamu akan pulang bareng aku?" Rendi masih ingin memperbaiki hubungan mereka yang sebenarnya baik-baik saja, bahkan jauh dari masalah. Justru itu yang membuatnya agak aneh, karena interaksi mereka hampir tidak pernah terjadi.

Luna menggeleng. "Aku lebih suka jalan kaki," tolak Luna.

"Padahal rumah kita sama. Aku gak ngebayangin bagaimana marahnya mama kalau sampai tahu aku gak barengin kamu,"

"Risiko kamu sih," Luna masih tersenyum.

"Masa kamu tega sama kakakmu,"

Senyum Luna mendadak hilang menjadi seringaian yang terkesan kering dan setengah hati. Siapa yang bilang kamu bisa mengakui diri sebagai kakakku? apakah hanya karena secara de jure karena ayah dan mama kamu menikah, lantas kamu bisa mengakui aku sebagai adik begitu? Entah mengapa, Luna masih tidak terima dengan fakta bahwa mama Rendi menikah dengan ayahnya. Mungkin alasan dibalik menikahnya mereka yang masih agak masalah bagi Luna meski ia nampak baik-baik saja. Luna hanya tidak suka.

"Apa kamu masih nggak anggap kalau kita saudara meski saudara tiri?" Suara Rendi terdengar meluluhkan.

Luna menghela nafas, lalu tersenyum garing sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sampai kapanpun ia tidak sudi menjadikan Rendi kakaknya. Luna hanya merasa tidak nyaman ketika ia memiliki hubungan, terlebih yang bisa mengobrak-abrik struktur kehidupan nyamannya. Meski tak bisa Luna pungkiri kalau ia memiliki pemikiran kalau suatu saat nanti, entah cepat atau lambat hidupnya akan keluar dari zona nyaman. Barangkali juga penuh masalah. Gadis itu mengedikkan bahu sebagai jawaban.

"Kenapa sih kamu ngotot banget?"

"Aku hanya gak suka," jawab Luna singkat. Kenapa pula Rendi ngotot ingin menjadi kakaknya, ya 'kan?

"Gak suka? Cuma gak suka?" Rendi berusaha menegaskan.

Luna mengangguk.

"Alasan spesifik?"

Luna mencoba berpikir, "Satu-satunya yang akan aku anggap saudara mungkin hanya adikku yang meninggal tahun lalu,"

Nafas Rendi tercekat, ia berasa sangat ..., tidak bisa menjabarkannya dengan kata-kata. Hanya ada rasa sakit. Seberdosa itukah ibunya pada ibu Luna?  Tapi kesalahan itu tidak bisa sepenuhnya dilimpahkan pada ibunya. Nyatanya, ayah Luna juga bisa ikut dipersalahkan karena telah menikahi ibunya tanpa sepengetahuan ibu Luna selaku istri pertama. Namun tak bisa disangkal Rendi bahwa ayah tirinya saat ini sangat menyayanginya, bahkan tidak terlihat membedakan kasih sayang antara ia dan Luna selaku anak kandung. "Kalau kamu masih anggap ini salah ibuku, aku benar-benar minta maaf."

Luna menggeleng. "Aku bukannya nggak bisa memaafkan tante Ranty, hanya saja berat untukku memaafkan diriku sendiri karena membiarkan ibuku pergi membawa adikku," mata Luna berkaca-kaca.

Tangan Rendi yang hendak terulur pada bahu Luna mendadak kaku, ia mengurungkan niatnya dan tangannya kembali terkulai di sisi tubuhnya.

"Aku beneran nggak dendam sama kalian. Masalah aja nggak ada. Hanya mungkin aku menyalahkan diriku sendiri," Luna membendung air matanya. Membiarkannya mengambang di pelupuknya. "Aku hanya terlalu menyayangi ibuku yang barangkali egois. Yah, atau sekali lagi, ini hanya karena aku meratapi ketidakmampuanku. Bukankah itu biasa dilakukan saat seseorang kecewa."

Mau tidak mau Rendi terperangah. "Apakah kamu menderita?" Pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu tiba-tiba saja tercetus dari bibir Rendi.

Luna tidak bereaksi untuk sesaat. Ia lantas menegakkan kepalanya, tersenyum namun air matanya tak terbendung lagi. "Ini jawabannya. Mungkin kamu bisa mengartikannya sendiri."

The END

Pas aku bayangin tokoh Rendi ini aku kok auto bayangin Johnny NCT ya? Bahkan aku sering typo nulis nama Johnny.

Alhamdulillah cerita ini cukup sampai disini. Sekian selesai. Makasi buat yang udah mampir buat baca. Aku gak tahu harus membuat konflik seperti apa lagi karena jujur aku sedang tidak berkonflik dengan apapun. My life rest in peace. Hehe. Sekali lagi terima kasih banyak.

BTW aku pecinta anime, k-pop, film Hollywood+Bollywood yang nggak fanatik semuanya. Film China juga suka. Suka-suka aja sama semua mata pelajaran karena menurutku asyik. Salam kenal semuanya. Sampai jumpa di cerita-cerita kita selanjutnya.

Menampung juga curhat berita, politik, sejarah, sastra, siapa tahu kita teman jalan dan mengobrol yang cocok.

Salam literasi dan kopi.

Luna (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang