Hari itu hari Minggu. Kota Maine cerah dengan langit birunya yang tidak ternoda awan sedikitpun. Evan sudah bersiap ke rumah Gama. Rencananya mereka berdua akan ke barat, ke distrik 13 tepatnya. Suasana kota Maine yang sejuk membuat Evan yang suaranya cukup bagus tak bisa berhenti bersenandung sepanjang jalan.
Kota Maine yang berbukit-bukit. Kota Maine dengan taman kota yang indah. Kota Maine yang sejuk. Semua terasa lengkap dengan adanya mall di pusat kota. Evan sangat bersyukur tumbuh di kota ini meski di hatinya juga terbesit kesadaran bahwa mau tidak mau suatu saat nanti ia akan meninggalkan kota yang dicintainya ini.
Greyson – anjing berjenis golden retriever milik tetangga depan rumah Gama menggonggong ketika suara motor Evan terdengar olehnya. Setelah turun dari motor, Evan menghampiri Greyson untuk sekadar menyapa anjing pintar itu. "Halo Greyson!" Evan mengelus kepala Greyson yang sedang mengibas-ibaskan ekornya sambil menjulurkan lidah itu. "Sudah ya, kembali sana ke rumah. Aku mau ke rumah Gama," seolah memahami perintah Evan, Greyson kembali ke teras lalu duduk dengan tenang sambil mengamati Evan yang berlalu.
Sebelum Evan mengetuk pintu, Gama sudah membuka pintu. "Hehe," Gama nyengir. Ia lantas duduk untuk memakai sepatunya. Tak lama kemudian ibu Gama keluar sambil membawa kotak bekal. "Selamat pagi, Tante," sapa Evan dengan sopan sambil menyalami ibu Gama.
"Selamat pagi juga, Van. Tumben baru kesini?"
"Kemarin-kemarin masih persiapan buat lomba, Te," jawab Evan.
"Oalah pantesan. Mama sehat toh?"
"Sehat, Te. Oh ya, Te, sebentar ya," Evan berlari menghampiri motornya yang tetap diam di tempatnya semula. Ia mengambil bungkusan tang tergantung di stang motornya, lalu kembali. "Ini dimsum dari, Mama, Te," kata Evan sambil menyerahkannya pada ibu Gama.
"Wih, makasih banyak. Dimsum buatan mamamu emang paling top, gak ada yang bisa ngalahin rasanya," puji ibu Gama sambil menerima bungkusan dari Evan dengan wajah berseri-seri karena tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya.
Setelah berpamitan pada ibu Gama, mereka berangkat mengendarai motor.
___
Mereka sampai di distrik 13 yang berupa lembah. Pemandangan perbukitan yang mengelilingi distrik ini membuatnya sangat indah. Belum lagi ada waduk yang menjadi pembangkit listrik distrik ini dan sekitarnya. Sejarahnya, waduk ini pernah menjadi tempat diselenggarakannya salah satu cabang olahraga PON semasa Presiden Kedua.
"Buset dingin banget," keluh Evan, tapi tak dinyana senang juga.
"Demi Luna, menembus badai salju pun aku terima," kata Gama dengan gigi bergemeletukan karena menggigil. Meski Maine adalah kota dingin, namun distrik 13 ada di wilayah pegunungan yang letaknya lebih tinggi beberapa puluh atau mungkin ratusan mdpl dari Maine jelas lebih dingin.
"Gombal, gini aja dinginnya minta ampun, apalagi salju," cibir Evan. Udara dingin seolah menyengat hingga ke tulang mereka meski mereka sudah memakai jaket tebal.
Gama nyengir, "Kabar baiknya adalah pemanasan global belum terlalu berefek pada tempat ini." Gama berusaha tertawa dengan humor garingnya meski nyatanya bibirnya terlalu kaku untuk itu.
Evan teringat sesuatu. "Loh Gam, kamu tahu rumahnya Luna?" Tanya Evan.
"Enggak juga," jawab Gama santai dengan cengiran lebar.
Evan menepuk dahinya menggunakan tangan kiri yang sedang tidak menarik gas sepeda motor. "Astaga, Gama, terus kita mau kemana?" Evan hampir saja menjerit.
"Ya udah, kita jalan aja ke waduk. Katanya tempat di sekitar situ nggak jelek," kata Gama dengan santai. yah emang nggak jelek, alias bagus. Semoga tetap begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luna (Selesai)
Teen FictionCerita remaja biasa yang beberapa mungkin kamu alami di SMA. Selamat membaca dan semoga suka.