13. Janji

5 3 0
                                    

Kak Bima yang tengah berdiri di depan gerbang rumah menengahi kami berdua.

"Kali ini, Awan yang salah, Kak Bim!" Gue berusaha menjauhi dia, namun tarikannya semakin kuat.

"Enggak, Kak Bim Nia duluan ini."

Awan masih saja menarik kepangan rambut gue, ketika kami berempat jalan memasuki rumah.

"Lepas tangan lu dari rambut gue. Gue mau ngajarin Nick sekarang. Sana, bukannya lu tadi ada urusan sama Kak Bim?"

"Iya,  iya. Gue pergi sekarang, ayo Kak Bim kita pergi."

"Ye, pergi aja sana lu. Pergi yang jauh sana!"

Kak Bim yang menyaksikan hal ini hanya menggeleng lemah.

"Wan, kita ke dapur aja yuk? Gue mau  masak makan malam, soalnya nyokap baru aja jalan dinas," ucap Kak Bim sambil menyeret Awan menjauh dari gue.

Nice timing mom.

Gue senyum kecil kemudian menoleh pada Nick yang sibuk dengan buku-buku tebalnya.

"Oke kita mau mulai dari mana dulu?" Tanya gue dengan penuh keyakinan.

Beberapa menit kemudian setelah beberapa pertanyaan diajukan oleh Nia pada Nick.

"Ini gilaaa. Lu bahkan sudah jauh lebih pintar dari einsten!" ucap gue penuh frustasi.

"Emmm. Gue masih belum cukup pintar kok, Nia. Liat gue bahkan belum selesai ngerjain Ini." Nick nyodorin soal yng barusan gue kasih.

Dengan sangat jelas, disitu terpampang tulisan gue yang ngaconya kelewatan, dan jawaban Nick yang bikin gue sujud syukur. Iya, soalnya adalah 1+1=? dan Nick jawab pakai penjabaran logaritma!

Gue wasted!

"Err. Bentar yah, Nick gue butuh yang dingin-dingin dulu." Gue bangkit dan berjalan menuju dapur, berencana mengambil persedian es krim seminggu.

Es krim rasa coklat dengan perpaduan  rasa vanila, serta choco chips yang menjadi topingnya menari dibenak gue. Oke, ini berhasil buat gue senyam senyum enggak jelas seperti orang stress.

Dengan penuh semangat gue buka kulkas itu.

Gerbang surga es krim gue.

Klakk

Es krim gue kosong. Gue diam membeku di depan kulkas, menyadari kekecewaan yang amat mendalam.

"Nia? Lu ngapain di situ??" tanya Kak Bima sambil ngambil udang dari dalam kulkas, depan gue.

"Es krim ...," lantur gue enggak jelas.

"Es krim? Oh, es krim persediaan lu? Awan tadi yang makan," jawab Kak Bim sambil jalan jauhin gue.

"Awan?"

"Iya, kenapa?" Awan nepuk bahu gue pelan.

"Apa benar ... lu makan kekasih gue?"

"Hah, gue enggak kanibal! Lagian sejak kapan lu punya pacar? Enggak usah alay gitu lah."

"Terus siapa yang makan Tuan Choco edisi terbatas, kalau bukan lu! Kak Bim alergi coklat!"

Gue menatap Awan tajam kemudian melayangkan pukulan tepat ke ulu hatinya.

"Gue capek ngalah terus sama lu! Gue benci lu!!"

Gue lari ke ruang tamu menghampiri Nick yang tengah asik membaca buku dan meninggalkan Awan yang tengah mengerang kesakitan akibat pukulan gue.

"Nia? Lu kenapa? Bukannya tadi ...," ucap Nick terhenti mengetahui gue menangis.

"Ikut gue sebentar, yuk!" Nick berdiri dan menyeka air mata gue.

Dia bawa gue keluar rumah dan menyeret gue ke dalam supermarket dekat rumah.

"Pilih, gue yang bayarkan," ucap Nick sambil membuka kulkas persedian es krim di supermarket itu.

"Hah? Gue enggak mau," jawab gue sambil menjauh, dan menuju pintu keluar.

"Kenapa?" tanya Nick bingung.

Gue mendecak kesal kemudian menuntutnya keluar.

"Bukan masalah es krimnya ...," ucap gue setelah kami berdua tengah jalan pulang.

"Terus??"

"Masalahnya ... itu ... es krim terbatas yang gue beli sama nyokap, bokap gue!"

Air mata gue meleleh, sama seperti perasaan gue saat ini. Gue lepas pegangan tangan Nick dan mengelap air mata yang tak kunjung berhenti.

Nick mendekat kemudian mencubit kedua pipi gue, sambil mengatakan,

"Cup ... cup ... lain kali lu ajak lagi nyokap, bokap lu. Gue yang bakal traktir deh, sebagai ganti pembayaran uang les kilat lu." Nick tesenyum.

"Hiks ... iya, lain kali yah." Gue menyodorkan jari kelingking sebagai tanda perjanjian.

"Iya, pasti!" Nick menyambut uluran gue dan kami sama-sama berjanji untuk yang satu ini.

"Akghhhh!!" Nick tiba-tiba menepis tangan gue dan berjongkok memegangi kepalanya.

"Lu kenapa, Nick!!" Gue bingung kemudian ikutan berjongkok di depannya.

"Kepala gue ... sakit banget ...," Nick terlihat sangat tersiksa, ia berkali-kali mengerang kesakitan sambil memukul-mukul kepalanya.

Gue hela napas panjang kemudian memeluknya.

"Tenang ... jangan cemas ... gue ada di sini," ucap gue nenangin Nick.

Selama beberapa saat Nick memberontak di dekapan gue. Sampai akhirnya ia menyikut dahi gue dengan tangannya. Kali ini dahi lebar gue jadi korban, darah kecil menetes di sana.

"Nia ...," Nick sudah berhenti dan melepas dekapan gue, dia menjauh beberapa senti kebelakang.

"Lu sudah sadar? Ayo kita balik," ucap gue sambil mendekatinya.

"Enggak! Lu jadi luka gara-gara gue. Gue bakal bawa lu ke puskesmas!" Nick bangkit dan menarik tangan gue.

"Enggak, Nick. Gue enggak kenapa-napa, kok. Kita balik aja, yah?"

"Tapi ... luka di dahi lu ...," Nick terlihat menggit pelan bibir merah mudanya.

"Gue enggak kenapa-napa," jawab gue
dengan seutas senyuman.

"Hoi kalian! Habis dari mana aja sih? Kak Bim nyariin tahu!" Awan mendadak muncul di belakang gue.

Mampus kalau dia sampai lihat luka ini bisa habis si Nick.

Nick terdiam kemudian memeluk gue.

"Bajigurrr!! Kalian ngapain mesra-mesraan depan gue sih!!" Awan lantas berlari meninggalkan kami berdua.

☘☘Holaaa jangan lupa vomentnya( kalau baca_-) yah😉 karena tulisan ini jauh dari kesan baik.

Self Talk [TAMAT/BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang