Pagi telah berlalu sedari tadi. Pohon serta bunga mawar yang bermekaran terlihat begitu menggoda untuk dimainkan. Gue yang sedari tadi sadar, hanya memandangi dari balik jendela.
Tatapan gue fokus ke bunga mawar namun pikiran gue melayang bersama angin selatan.
"Nia, sekarang makan buburnya dulu yah," Kak Bima yang baru masuk nyodorin gue semangkuk bubur.
Pikiran gue berbelit, gue enggak dengerin apa yang diucap Kak Bima.
"Nia!" Kali ini Kak Bim bentak gue.
Tatapan mata gue langsung kosong.
"Hari ini karena kamu sudah sadar kita bakal balik lagi ke rumah kakak, sebentar lagi pelayan akan masuk membantumu berkemas." Kak Bim membanting mangkuk itu ke meja dan berlalu meninggalkan gue di kamar.
Selang kepergian Kak Bima. Beberapa pelayan wanita masuk, mereka menggantikan pakaian dan mengantarkan gue ke luar rumah besar.
"Sekarang kami pamit dulu Bu, Tan, Paman...,"
Entah berapa banyak orang yang Kak Bima salami. Gue enggak ikutan karena yah, pikiran gue masih bermain bebas.
Sesampainya di rumah, gue masuk ke kamar dan duduk di kursi tempat gue biasa ngegame.
Gue lihat ada seorang laki-laki duduk mandangin gue. Dia duduk di atas kasur.
Rambutnya hitam dengan poni yang sedikit membelah ke dalam. Kulitnya putih, dengan tubuh cukup tinggi.
Beberapa detik berlalu dan gue masih diam natapin dia sinis.
"Aaaaaaaaa siapa lu!" Kesadaran gue balik dan sungguh naas kalimat pertama gue.
"Hai gue teman lu," ucapnya sembari tersenyum manis.
"Dari mana lu masuk? Dari tadi gue mandang ke arah situ, selalu kosongkan!" Gue nunjuk ke arah kasur.
"Lu yang manggil gue. Gue bakal datang ketika seseorang merasa sangat terperosok."
"Terus nama lu siapa?"
"Gue enggak punya nama. Lu yang manggil gue sembarang mau panggil apa aja."
"Nick? Nama lu sekarang itu," ucap gue bingung.
"Nick? Bagus, gue suka. Nah, sekarang lu mau nyeritain masalah lu? Gue mau dengerin kok," jawabnya dengan senyum.
Gue nunduk, mainin ujung baju dan kemudian menarik nafas panjang. Air mata gue ngalir tanpa gue pinta. Nick mendekat dan memeluk gue. Rasanya hangat.
Kemudian Nick menghilang tanpa gue minta, karena gue masih ingin kehangatannya di sisi gue.
"Nia?" Kak Bima masuk tanpa ketuk pintu kamar gue.
"Lu tadi ngomong sama siapa? Dari tadikan enggak ada yang masuk ke kamar lu." Kak Bima duduk depan gue, persis di tempat Nick duduk tadi.
Gue geleng lemah. Kemudian Kak Bima meluk gue.
"Kakak tahu Nia masih sedih karena ayah..., Nia jangan sedih lagi ya? Kan masih ada Kak Bim, dan juga Awan nanti datang mau jenguk. Nia mau nemuin Awan?"
Gue diam, sesaat bel rumah berbunyi. Kak Bima menoleh ketika seorang wanita serta laki-laki masuk ke kamar gue.
"Awan, Sophie? Maaf Nia masih belum bisa diajak ngomong." Kak Bim ngelus kepala gue.
"Em..., boleh gue bicara sama Nia, Kak Bim?" Tanya Awan.
"Boleh," ucap Kak Bim ningglin gue berdua sama Awan di kamar.
Saat mereka berdua keluar dan Awan berdiri di samping gue duduk, Nick datang lagi.
"Nick!" Sapa gue riang.
"Nia lu ngomong sama siapa?" Tanya Awan bingung.
"Hai Nia, maaf tadi aku pergi tiba-tiba karena Kakak mu," jawab Nick pelan.
"Enggak apa-apa, yang penting kamu kembali lagi..., jangan pernah tinggalin gue lagi ya?" ucap gue ke Nick.
"Nia! Lu kenapa jadi begini!!" Ucap Awan sambil meluk gue kencang.
Air mata Awan membasahi pakaian gue. Gue cuman diam karena Nick menghilang lagi.
Awan sangat menggangu pikir gue di dalam pelukannya. Gue kesal, gue berontak minta di lepasin, namun bukannya di lepas Awan malah meluk gue erat.
"Gue enggak bakal lepasin lu sebelum lu nyuruh gue pergi!!" Isaknya menjadi-jadi.
"Pergi." Gue bergumam lirih di telinganya.
Awan berhenti menangis dan melepas pelukannya.
"Nia...,?"
"Gue bilang pergi!! Gue enggak butuh ada orang di sini!!" Bentak gue meninggi.
Kak Bima dan Kak Sophie langsung masuk ke dalam dan nenangin gue.
"Nia, tenang...," ucap Kak Bim
"Awan ayo kita balik aja dulu?" ucap Kak Sophie pada Awan lembut.
Mereka ninggalin gue berdua sama Kak Bim. Selama beberapa saat Kak Bima nenangin gue dan pergi setelah gue tidur.
Gue mimpi buruk, bokap tampak meronta-ronta ke gue. Wajahnya setengah mengelupas, tulang serta giginya terlihat.
Dia merangkak megangin kaki gue, gue menjerit keras dan terbangun.
Malam itu di tengah hujan deras dan guntur gue nangis manggil-manggil bokap. Nick muncul sesaat kemudian.
"Nia, tenang gue ada di sini."
"Nick..., ayah tadi... manggil-manggil gue, dia minta tolong!" Gue nangis di pelukannya.
"Tenang mungkin dia hanya ingin mengingatkan soal pesannya?"
"Dari mana lu tahu." Gue ngelepas pelukannya dan natap dia serius.
"Lu yang panggil gue? Ingat? Mana mungkin gue enggak tahu hal itu?" Ucapnya sembari menaikin sebelah alisnya.
"Gue ingat dia nyuruh gue ngambil kembali proyeknya!" Seru gue sambil loncat dari tempat duduk dan mengarah ke depan laptop.
"Tapi gue enggak tahu harus mulai dari mana," ucap gue sedih sambil memutar-mutar kursi tempat gue duduk.
"Ini bisa bantu??" Tanya Nick sambil ngasi berkas ke gue.
Gue meriksa halaman demi halaman dan terkejut saat berada di akhirnya.
"Ini..., proyek yang bisa menyebabkan kematian masal!!" Gue terkejut setengah mati.
☘Holaaa jangan lupa vomentnya( kalau baca_-) yah😉 karena tulisan ini jauh dari kesan baik 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Self Talk [TAMAT/BELUM REVISI]
Non-FictionKehidupan gue jadi kacau, karena lu buat plot cerita gue berantakan!!