Terimakasih, Aku Mencintaimu. Liam

55 2 0
                                    

Mungkin saja Aku harus menghubungi Ayah dan Ibunya agar mereka bisa menemaninya disini. Tapi Dewa mencegahku, dengan alasan tidak ingin membuat mereka berdua khawatir. Dia berpamitan untuk pergi menemui sahabatnya yang juga berkuliah disini, jika tau dia kecelakaan pasti orang tuanya marah. Tapi bisa jadi mereka senang karena Dia bertemu denganku. Dan mungkin saja berfikir bahwa orang yang hendak ditemuinya adalah Aku. Padahal bukan. Jadi Aku putuskan untuk merawatnya selama dua hari ini. Dua hari saja, dan setelah dia keluar dari rumah sakit Aku akan pergi.

Malam ini Aku tidur dengan Dewa. Ehhh.. jangan berfikir yang tidak-tidak. Maksudnya kami tidur di ruangan rawat inapnya, tapi berbeda ranjang. Sebelum tidur, Dewa mengoceh banyak sekali seperti biasanya. Dia juga menjelaskan keinginannya untuk benar-benar masuk sebagai pegawai pemerintahan, tapi sayangnya dia sekarang kuliah di keolahragaan. Kataku mungkin saja dia bisa jadi menteri olahraga. Haha..

Pagi ketiga, Dewa memintaku untuk mengantarnya ke taman dan berjalan-jalan diluar. Dua hari di dalam ruangan ber AC sangat tidak nyaman katanya. Dengan sedikit ragu Aku menopang lengannya dan memegangi infus yang menyalur ke tangannya. Kami hanya duduk-duduk di kursi depan ruang rawat inap Dewa. Pagi ini lumayan dingin, suasananya pas untuk bernostalgia.

"Ra, kamu sekarang sangat cantik. Pasti banyak laki-laki tampan yang mendekatimu. Pastinya dia sama berkualitasnya denganmu. Bukan seperti Aku." Nadanya lemas dan sama sekali dia tidak menoleh kepadaku saat membicarakan hal itu.

"Tidak ada yang sama sepertimu." Kataku yang juga tak menoleh kepadanya. Aku menunduk setengah tersenyum masam. Aku sangat senang bisa seperti ini lagi dengannya, Tapi juga bimbang, karena Liam sekarang adalah kekasihku. Tapi hatiku nyatanya masih soal Dewa.

Saat dia mulai memalingkan wajahnya kepadaku Aku masih tak menatap wajahnya. Hingga dia menyentuh kepalaku dan membawanya jatuh di pundak nya yang masih lemas. Aku tak berkata apa-apa karna suaraku seperti tertahan di tenggorokan.

"Aku minta maaf padamu karena sudah menyiksamu selama ini. Aku tahu kamu merindukanku. Karna aku pun sama, tapi tak berani mendatangimu meskipun Aku tahu kamu mencariku. Aku tahu sejak dulu kamu akan menjadi perempuan yang hebat. Kamu cantik dari dulu, hanya saja kamu sangat sederhana dan apa adanya. Aku masih menyukaimu sama seperti dulu. Maaf kan Aku, karna terlalu pengecut. Datanglah ke rumah ku sesekali saat libur, Ibuku juga sangat merindukanmu."

Aku tak menjawabnya dan malah menangis di bahunya. Dia yang juga tak bisa membendung air matanya kemudian memelukku dan menenggelamkanku de dadanya sehingga ku rasakan degub jantungnya yang kencang. Kami kemudian tersenyum dan sekali lagi dia mencium keningku. Pagi itu serasa hanya milik kami berdua. Sampai dia mengajakku masuk, sebab matahari serasa menggigit punggung kami yang berdekatan.

Kehidupan yang membosankan di rumah sakit sama sekali tidak Aku rasakan. Kami serasa hidup berdua dengan sangat bahagia. Esok hari dia mungkin sudah pulang dan Aku tidak berharap banyak agar kami bisa saling menemui setelahnya. Dewa selalu mengeluarkan kalimat-kalimat lucu sehingga selalu memecahkan keheningan yang mencekam. Aku memintanya menceritakan soal perkulihannya dan keluarganya yang juga sangat Aku rindukan. Lalu, dia bertanya balik padaku soal kuliahku. Aku hanya menceritakan dengan singkat, karna Aku lebih suka mendengarkan ceritanya. Aku juga bisa merasakan kekosongan yang tiga tahun ini Aku rasakan sedikit-demi sedikit bisa ditambal dengan cerita nya yang sangat menarik.

Tiga tahun yang dibayar dengan tiga hari. Aku tak keberatan, ini lebih baik daripada tidak sama sekali.

"Tidur lah Dewa, nanti saat dokter datang ku bangunkan kamu. Aku akan membereskan barang-barang mu untuk persiapan pulang sore nanti."

Dengan sigap Aku membersihkan semua barang-barangnya. Di tengah-tengah kegiatanku, hapeku berdering. Itu bukan pesan whatsapp, tapi panggilan masuk ke nomor ponselku. Itu Liam! Aku memutuskan untuk mengangkat panggilan itu di luar kamar, jaga-jaga kalau Dewa mendengarkan ini. Aku sudah mempersiapkan diri mendengarkan omelan dan celotehan Liam yang sangat posesif itu. Aku bahkan menggunakan headseat agar orang lain tak ikut mendengarkan kata-kata kasar yang mungkin keluar dari mulutnya.

Ways of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang