Hari Minggu adalah hari kesayangan buat gue. Hari dimana gue bisa bebas goleran sana goleran sini, seakan seisi kamar super nyaman ini adalah milik gue selamanya, bukan milik ibu kos. Sprei bunga-bunga udah berantakan, bantal udah pindah haluan, alarm meraung-raung minta dikawinin, tapi itu nggak menyurutkan niat gue untuk kembali ke alam mimpi yang membuat gue lupa kalau air liur udah membentuk kubangan tak kasat mata.
TOK TOK TOK!!!
"WOI BOCAH TELER! BANGUN!"
TOK TOK TOK!!!
"BANGUN NGGAK LO SILUMAN!"
TOK TOK TOK!!!
"BANGUN NGGAK?! ATAU SEPATU LO YANG DI DEPAN INI GUE BAKAR HABIS!"
Mata gue auto melek, melesat dengan kecepatan cahaya lantas membuka pintu yang hampir rogol karena digedor-gedor dengan kekuatan penuh. Gila, tangannya apa nggak kesleo? Kayu jati loh ini, keras say.
"Ngapain lo? Ganggu orang hibernasi aja."
"Cuci muka dulu sana! Iler lo tuh dleweran kemana-mana!"
Gue langsung mengusap sekitar bibir, memastikan nggak ada jejak iler seperti yang dikatakan oleh perempuan di depan gue.
"Habis ini lo mandi, dandan yang cantik tapi nggak boleh lebih dari setengah jam. Nanti keburu telat! Buruan gih."
"Ck, mau kemana sih? Mendadak banget."
Perempuan di depan gue malah sibuk otak-atik HP, mulutnya mencong ke kiri kadang ke kanan. Tiba-tiba dia menyodorkan layar HP ke depan muka, gue membacanya sekilas tanpa minat.
"Lo aja sana yang pergi, males." Gue berniat menutup pintu, saat kaki kanannya nyelonong tanpa permisi menahan pintu agar dalam keadaan sedikit terbuka.
"Eits, nggak boleh ada penolakan, Yang Mulia Baginda Raja yang minta. Buruan atau sepatu lo ini gue bakar beneran?!."
Gue mendengus, kenapa harus minggu pagi sih?! Kenapa nggak malem aja biar ada cihuy-cihuynya.
"Iya-iya! Taruh dulu sepatu gue! Awas kalo sampe rusak, lo bayar 5 kali lipat!"
Perempuan tadi meletakkan sepatu gue asal-asalan, lantas masuk dan duduk di depan meja belajar. Gue menyambar handuk, masuk kamar mandi, setor dulu, mandinya belakangan. Sengaja gue lama-lamain biar kapok tuh Mak Lampir!
***
"Iya bentar, lagi di jalan Yang Muliaaaaa."
"Ck, ya salahin si siluman lah! Dia yang bikin ngaret!"
Gue yang lagi enak-enak nyruput kopi buat doppingan karena melek aja susahnya nggak karuan, langsung jeger begitu perempuan di samping gue omongannya merepet kemana-mana.
"Apa lo bilang?! He ular! Itu salah lo ya, udah tau gue kalau minggu pagi nggak bisa diganggu, masih aja ngotot bangunin!"
"He kutil anoa! Kalau bukan gara-gara Yang Mulia Baginda Raja yang minta, gue ogah juga jemput lo!"
"WOI! REA, LALA! DIEM NGGAK LO BERDUA?! BURUAN KESINI NGGAK USAH BANYAK CINCONG MAKIN LAMA AJA KALIAN NANTI."
Tut'tut'tut
Yak, telepon mati begitu saja saat tangan gue udah siap nyakar muka si ular, dan tangan si ular udah narik kaos gue. Ya, perempuan yang lagi nyetir di samping gue ini namanya Kalani Citaprasada. Namanya mencerminkan jiwa-jiwa perempuan cantik nan lemah lembut. Tapi, sayangnya, kelakuannya berbanding terbalik sama namanya. BLANGSAK CUY.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Box of Life
Teen Fiction"Hidup itu sebuah pilihan loh." "Nggak, hidup itu sebuah misteri." "Bukan, hidup itu sebuah keajaiban."