Gue awalnya nggak tahu apa yang membuat gue terdampar disini, padahal gue cuma capcipcup aja saat disuruh milih mau merantau kemana. Dan lagi, di kampung halaman juga sebenarnya ada banyak kampus yang bagus. Tapi, nyatanya takdir Tuhan menghantarkan gue kesini, kota yang katanya nggak akan pernah bisa lo lupakan. Jogja mengingatkan lo akan rumah dan pulang.
"Teh?" Gue menoleh, menemukan Ian yang berdiri satu meter dari gue.
Kos gue ada di lantai dua, gue sengaja milih disini supaya bisa lihat bintang di langit malam begitu buka pintu. Seperti yang gue lakukan beberapa menit sebelum Ian datang. Gue melambaikan tangan menyuruh dia untuk mendekat.
Ian dengan nama lengkap Damian Argawirasa memanggil gue dengan embel-embel 'Teh' sebagai bentuk rasa hormat, katanya. Dia menganggap gue sebagai super hero-nya sejak kejadian nangis bombay di pojok cafe. Ian bilang bahwa apa yang gue katakan waktu itu membentuk dirinya yang sekarang ini.
"Waktu terus berjalan, dan lo masih stuck di tempat buat nangisin hal-hal yang nggak guna?"
"Jangan menyiksa diri. Jadi laki-laki harus kuat dan keren. Lo harus berubah jadi yang lebih baik dari ini. Itu balas dendam yang elegan."
"Seperti kata Merry Riana, nggak peduli apa yang telah hilang dalam hidup lo, selama lo masih mampu bersyukur pada Tuhan, lo nggak kehilangan apapun."
Apa yang gue katakan ditanamkan dalam dirinya hingga melekat sampe sekarang. Ian udah bukan bocah ingusan yang nangis di pojokan, Ian udah bertransformasi jadi laki-laki dewasa yang peka dan peduli terhadap sekitar. Ian yang sekarang adalah Ian yang tenang dan pemaaf.
"Lagi jadi sad girl ya, Teh?"
"Apaan sih lo, bocah."
Ian terkekeh di samping gue, mengeluarkan rokok dari saku jaketnya, lantas ngebal-ngebul nggak peduli asapnya nyasar ke paru-paru gue.
"Makan ayam penyet yuk, Teh? Gue yang traktir deh."
"Apaan nih? Jangan-jangan lo yang lagi jadi sad boy, ya?"
"Nggak. Lagi pengen di temenin makan aja."
Gue langsung masuk ke kamar buat ambil jaket, ngikut aja mumpung ada makan gratis disaat dompet teriris.
Ian memilih tempat makan di pinggir jalan, banyak tenda-tenda angkringan berjejer dari ujung ke ujung. Pilihan Ian jatuh kepada tenda dengan tulisan Ayam Penyet Pak Gun.
Bocah satu ini emang kelakuannya sedikit aneh. Random. Suka tiba-tiba nongol di kos, minta ditemenin ngopi, ditemenin makan, ditemenin jalan. Untung nggak minta ditemenin bobok.
"Oh jadi gitu kelakuan kalian di belakang gue?"
Krisna memasang tampang serius seakan sedang memergoki pacarnya yang ketahuan selingkuh sama temennya sendiri. Gue lanjut makan aja tanpa menanggapi.
"Minta dong, Re." Tangan Krisna udah clamitan begitu lihat ayam penyet di piring gue.
"Beli sendiri!"
"Pelit amat! Gue panggil nih Yang Mulia Baginda Raja buat kesini. Dia pasti bersedia nraktir gue se-meja-kursinya!"
"Masa bodo. Lagian ngapain lo keliaran disini kalo nggak punya duit?"
"Mau ke tempat Harish, tapi nggak sengaja liat kalian."
Gue tahu apa alasan Krisna malam-malam dateng ke tempat Harish. Pasti mau numpang nginep. Ada masalah yang membuat dia nggak betah berada di rumah. Gue maklum. Mengingat pernah menyaksikan perang dunia antara Krisna dan bokapnya di depan mata. Kalau gue jadi Krisna, mungkin udah minggat sejauh-jauhnya, kawin lari, punya keluarga sendiri. Nggak mau balik ke rumah. Bodo amat mau mereka nyari apa enggak. Nyatanya, mau Krisna ada atau enggak, bokap dan ibu tirinya bener-bener nggak peduli. Semua keceriaan yang dia tunjukin selama ini hanya sebuah kedok buat nutupin rasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Box of Life
Teen Fiction"Hidup itu sebuah pilihan loh." "Nggak, hidup itu sebuah misteri." "Bukan, hidup itu sebuah keajaiban."