6. Di Bawah Kanopi Warna-Warni

2 1 0
                                    

Beberapa hari setelah percakapan absurd mengenai dunia perpenyihiran+persnowwhitean, gue berusaha melupakan kata-kata dari cowok penyuka penyihir(baca:Garvin).

Kata Lala, mungkin Garvin adalah jelmaan manusia dari negeri dongeng yang tersesat di bumi, dan dia adalah teman penyihir di masa lampau. Jujur aja nih, gue malahan pusing denger Lala yang ngocehnya makin mengada-ada setelah gue cerita soal Garvin. Belum lagi si Krisna malah bilang,

“Emang lo cocoknya jadi penyihir, sih. Tapi bukan jenis penyihir yang baik hati, tapi penyihir buruk rupa yang jahatnya ngelebihin iblis.”

Setelahnya Bara ikut menyaut,
“Kalau penyihir masih mending Kris. Dia cocoknya jadi Gollum.”

Dan begitu aja perang antara kami bertiga lepas begitu aja. Hormon cewek yang lagi mens emang mengerikan. Gue bener-bener memiliki keinginan buat mencekik mereka berdua dan  membuangnya ke segitiga bermuda biar nggak bisa ditemukan oleh siapapun.

Beberapa hari ini juga gue udah bolak-balik ke minimarket tempat Brian kerja, tapi nggak pernah ketemu sama cowok itu lagi. Para ular juga nggak tahu sama sekali mengenai Garvin. Mungkin bener kata Lala, kalau dia jelmaan makhluk dongeng. Jadi, gue mengubur dalam-dalam peristiwa di hari itu supaya nggak terlalu penasaran sama cowok yang tiba-tiba mengakrabkan diri dengan gue. Lagian gue udah muak disamakan dengan penyihir apalagi Gollum.

Tapi, sekarang gue jadi penasaran sama Mbak Brigitta. Alhasil, setelah berselancar ke dalam dunia maya milik Mbak Brigitta gue memutuskan untuk menyelundup ke Fakultas Ekonomi buat nyari eksistensi mbak-mbak satu ini.

Gue sebenernya nggak paham betul gedung-gedung di fakultas ekonomi, jadi gue cuma jalan-jalan muterin gedung yang ada dengan bermodalkan niat yang mantap dan foto Mbak Brigitta yang nampang di layar HP gue.

Setelah hampir 10 menit jalan nggak jelas, akhirnya gue menemukan Mbak Brigitta lagi nongkrong di taman depan gedung E5 bareng dua temen ceweknya.

Setelah melihatnya secara langsung, gue curiga kalau Mbak Brigitta ini jelmaan Dewi Aphrodite, karena emang secantik itu! YaTuhan gue minder+keder nih kalau gini caranya. Gila. Rambutnya lurus panjang hitam legam, kulitnya putih mulus bak lantai porselen, wajahnya bersinar terang ngalahin matahari yang bertengger di atas kepala gue. Kayaknya dia juga anak orang kaya, menilik pakaiannya yang necis abiz, berbeda dari gue yang cuma pakai kemeja lengan pendek seadanya dan rok pendek seharga seratusribuan.

Bener si Lala ngebet nyuruh gue mundur. Saingan gue bukan kaleng-kaleng. Tapi, bodoamat lah ya, kan cuma mantan. Lagian gue juga nggak tahu takdir akan berpihak ke siapa nantinya.

Gue menghembuskan napas, mengumpulkan rasa percaya diri gue yang mulai terkikis habis dan lanjut mencari lokasi kantin FE. Stalking juga butuh tenaga.

***

Suasana kantin FE bener-bener padet kayak orang lagi hajatan, daritadi gue kesenggol sana-sini demi mendapatkan sepiring nasi goreng babat. Mana antrinya sampe setengah jam. Untung kelas gue habis ini kosong. Jadi, nggak perlu repot-repot lari-larian dari FE ke FIS.

Dan untungnya lagi gue menemukan tempat duduk di tengah lautan manusia ini, sehingga gue nggak harus bernasib buruk menikmati makan siang dengan ngglesor di depan kantin.

“Ngapain lo?”

Gue kaget. Dari suaranya gue tahu dia siapa, udah hafal di luar kepala.
“Lah lo ngapain?”

“Lo yang ngapain jubaedah?”

Tiada angin tiada hujan tiba-tiba cowok satu ini menampakkan diri di depan gue. Dan dengan PDnya mengambil sesuap nasi goreng yang belum sempat masuk ke mulut.

A Box of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang