"Nggak usah sok cantik."
"Emang udah cantik."
Krisna memasang tampang ngeri ke arah gue yang lagi senyum-senyum sambil ngaca.
"Temen lo, kenapa Bar?"
"Hah? Siapa? Gue nggak kenal." Gue menimpuk Bara menggunakan kaca yang sedari tadi ada di genggaman.
"Ketempelan kali."
"Memang di rumah dek Gia ada setannya, Kris?"
Belum sempat Krisna menjawab, gue langsung menyerobot, "iya, setan ganteng."
Mereka berdua berjengit kaget karena gue berkata sembari tertawa kecil. Mungkin sekarang duo ular sedang meragukan kewarasan yang gue miliki.
"Bar..."
"Kris..."
"Kayaknya emang ketempelan, deh." Tawa gue malah semakin menjadi-jadi.
"Bar... Hitungan ketiga kita lari sekenceng-kencengnya, oke?"
Gue lihat Bara mengangguk dengan mantap.
"Satu..."
"Dua..."
"Ti-" Belum sempat Krisna menyelesaikan ucapannya, gue udah mencekal tangan duo ular. Kayaknya kuku gue yang dipoles cantik dengan warna merah maroon menancap telak di lengan mereka. Bara berusaha menyingkirkan tangan gue sedangkan Krisna jejeritan bak orang kesetanan.
"WOY ANJIR BERDARAH NIH BERDARAH!"
Bukannya melepaskan, gue malah semakin kuat mencengkeram tangannya. Milik Bara udah gue lepas karena dia nggak mungkin kabur jika peristiwa di depannya ini lebih menarik. Siluman Cantik vs Ular Lembek. Ada beberapa mahasiswa menonton drama ini dengan tatapan penasaran, namun kembali tidak peduli melihat betapa gadungannya kami memainkan peran.
Krisna dan Bara masih memasang tampang ngeri dan mencoba kabur lagi ketika gue menyuruh mereka untuk duduk. Gue menatap Krisna dengan sorot mata yang dibuat-buat agar lawan bicara merasa terintimidasi, Bara malah ikut-ikutan ingin menghabisi Krisna dengan tatapannya, padahal tadi dia sempat bersekongkol untuk kabur.
"Pertama, gue dalam keadaan normal dan nggak ketempelan seperti apa yang tadi lo bilang. Gue malah curiga jangan-jangan malah lo yang kerasukan setan mengingat tadi jeritan lo bikin kuah bakso di mangkuk pelanggan hampir tumpah."
Gue menjeda omongan sebentar untuk menyeruput jus alpukat yang udah nggak dingin lagi karena tadi sempat gue abaikan akibat menyelam di dunia imajinasi.
"Kedua, lo terlalu lebay untuk nggak bisa melepaskan diri dari kuku gue padahal tenaga lo setara bulldoser, dan lo nggak akan mungkin berdarah ketika gue cengkeram karena kulit lo adalah kulit badak."
Sang tersangka merangkap korban hanya melengos, hal itu membuat gue semakin mendelik kesal. Pasalnya, gara-gara dia, wilayah kantin jadi panggung sandiwara. Sorry aja nih, gue belum siap terkenal dan menjadi artis gosip dadakan.
"Nggak dilanjutin dramanya, Teh?"
Ian datang bersama Lala dan Harish. Bagus, formasi lengkap.
"Nggak lah, nanti malah makin banyak memakan korban."
Gue melirik sekilas jam dinding di kantin, "Bar, mending lo ikut gue sekarang."
"Ogah."
"Yakin?"
"Yakin."
"Dua menit lagi loh, Bar."
Gue sudah berdiri menenteng tas ketika Bara kebingungan. Sedetik, dua detik, hingga detik ketigapuluh, Bara nggak memberikan reaksi apapun. Bahkan ular lainnya nggak menunjukkan tanda-tanda membuka suara. Gue melengos dan melengang pergi, baru setelah sekitar lima langkah menjauhi meja, suara Bara mengiringi langkah kaki gue yang semakin cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Box of Life
Teen Fiction"Hidup itu sebuah pilihan loh." "Nggak, hidup itu sebuah misteri." "Bukan, hidup itu sebuah keajaiban."