Kini aku menangis, disebuah gundukkan tanah. Yang nisannya bertuliskan nama sahabatku, Delisa Malfina. Sahabat terbaik, sahabat sejatiku. Sedih sekali yang ku rasakkan dalam hatiku saat ini, aku tak menyangka Delisa Malfina yang kerap aku sapa Malfi sudah meninggalkanku selamanya. Andai bisa memilih, aku akan lebih memilih ikut pergi dari dunia ini bersamanya. Dari pada harus hidup di dunia yang kejam ini.
"Puas kalian! Ini semua gara-gara kalian Malfi meninggal, kalian bener-bener orang jahat. Nggak punya hati!" amukku pada keluarga Malfi yang juga masih ada di pemakaman. Yang masih berada di pemakaman hanya aku dan keluarga Malfi. yang terdiri Ibu, Ayah, Om, Tante dan juga Nenek Malfi.
Kenapa aku sampai mengamuk pada mereka? Menyalahkan mereka atas meninggalnya sahabatku. Jelas aku menyalahkan mereka, karena kenyataannya memang merekalah yang bersalah atas apa yang menimpa Malfi.
Malfi meninggal karena bunuh diri, Malfi depresi karena perlakuan keluarganya. Terutama perlakuan Nenek Malfi yang memang tidak baik, mereka tidak menganiyaya Malfi secara fisik. Namun, mereka menganiyaya Malfi secara psikis. Rumahku dan Rumah Malfi bersebelahan, jadi aku tahu semua yang terjadi pada Malfi.
Mereka diam, karena mereka memang merasa bersalah. Malfi sahabatku, ditemukan gantung diri di kamarnya. Saking depresinya, tidak sanggup lagi menahan nyinyiran dari keluarganya terutama dari sang Nenek. Yang selalu menyinyiri Malfi tiada henti.
Sekilas aku teringat awal bertemu dengannya, hingga kita bisa menjadi sahabat.
Flash back on
Aku baru saja pulang kerja, saking terburu-burunya aku sampai tidak sengaja menabrak orang.
"Maaf," ujarku sambil membantu orang yang aku tabrak bangun, ya kami tabrakan sampai kita berdua jatuh di jalanan.
"Iya, aku juga minta maaf. Kita berdua sama-sama salah, jalan buru-buru sampai menabrak orang," jawabnya lembut.
"Iya, kamu benar sekali. Maaf ya, aku duluan. Aku harus segera pulang ke rumah, tuh rumahku dekat dari sini kok."
"Owh rumah kamu dekat sini, sama aku juga dong. Yaudah, kamu segera pulang. Aku juga ingin segera ke mini market, duluan ya," pamitnya padaku. Kami berdua berpisah, untuk pergi ke tujuan masing-masing. Aku mengeyitkan keningku, saat teringat ia bilang bahwa rumahnya dekat sini juga. Namun, sepertinya aku sangat asing dengan dia. Aku mengenal semua penghuni rumah yang rumahnya ada di dekat sini.
"Sudahlah aku tak mau ambil pusing mikirin itu, mending aku segera pulang agar bisa segera istirahat," gumanku lalu berjalan cepat ke arah rumahku.
*
Aku mengerjapkan mataku perlahan, bangun dari tidur nyenyakku karena mendengar suara berisik.
"Kenapa malam-malam ini berisik sekali sih? Nggak tau apa aku pengen tidur nyenyak nggak mau diganggu," ocehku. Aku langsung bangun dari tempat tidur, lalu keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi.
"Kamu itu disuruh belanja kayak gitu aja nggak pecus! Bisanya apa sih kamu, nyusahain orang doang bisanya," omel seorang wanita paruh baya yang renta, tetapi masih bisa mengomel panjang lebar dengan suara yang sangat kencang. Sampai mengganggu tidur, para tetangganya.
Nenek tua itu bernama Nenek Darmi, ia adalah Ibu dari Pak Dodo tetangga sebelah rumahku yang baru beberapa bulan tinggal di Jakarta bersama keluarga Pak Dodo.
Aku penasaran siapakah yang sedang diomeli oleh nenek tua itu, aku sedikit mendekat. Nenek tua itu sedang mengomeli gadis cantik, tunggu gadis cantik itukan gadis yang tadi sore bertabrakan denganku. Siapakah sebenarnya gadis itu, apa anak Pak Dodo? Sepertinya bukan, anak Pak Dodo hanya dua Arman dan Arni. Aku mengenal mereka berdua, lalu siapakah gadis malang itu? Aku ingin sekali menghampirinya, membuat Nenek tua itu berhenti mengomeli gadis itu. Namun, aku tak berani melakukannya. Aku tidak ingin dianggap terlalu ikut campur, tetapi wajar jika aku ikut campur karena suara omelan nenek tua itu yang sangat keras menggangu tidurku.
KAMU SEDANG MEMBACA
STORY ABOUT LIFE
RandomKumpulan hasil karya anggota Keluarga Besar Rex. Hidup adalah serangkaian cerita. Ini adalah cerita hidup yang tak kan pernah ada habisnya.