It Have to be Me (Cas)

126 5 2
                                    

"Jen, apa kamu akan tetap di sini?"

"Di Indonesia? Atau gimana, nih?" tanyanya. Dia tersenyum, memamerkan deret gigi putih serta gusi merah muda yang segar. Aku hanya bisa mengangguk membalas pertanyaannya.

"Iya. Kamu akan tetap di sini? Aku ...." Kalimatku seolah sulit untuk diucapkan. Aku hanya bisa menahan napas, bersamaan kalimat yang terputus di ujung lidah.

"Tenang. Aku emang ada niat belajar di luar negeri, tapi itu kan belum pasti. Lagipula, aku suka ada di sini." Jennie memberikan kertas stikcky note hijau kepadaku. Tertulis namaku dan namanya dalam satu garis lurus.

"Bagus, deh," jawabku pelan, nyaris berbisik. Nyatanya jawab itu tak lantas membuat Jennie menoleh penasaran. Dia hanya menutup kembali bolpoin, menaruhnya di saku seragam.

Untuk saat ini, kalimat darinya dirasa cukup untuk menenangkan hati dan perasaanku yang terus saja merasa khawatir. Aku tahu ini berlebihan. Entahlah, rasanya seperti akan kehilangan sesuatu yang berharga di kemudian hari.

Aku mengangguk, meraih pensil dari saku bajuku, kemudian menuliskan dua kata selanjutnya yang tak sempat ditulis oleh Jennie.

Dia tertawa, membicarakan hal acak saat aku menulis dua kata itu. Meski tak memakan waktu lama untuk menyelesaikannya, aku tetap menunggu Jennie selesai bercerita untuk menunjukkan tulisan itu padanya.

Jennie meraih kertas hijau itu dariku, membacanya.

"Kamu janji, yaa?" Jennie tersenyum setelah membaca tulisan itu, menaikkan tangan kirinya sambil membuka jari kelingking.

"Aku janji!" balasku.

Rasanya baru kemarin aku mengenalnya. Namun waktu bergulir sangat cepat sampai aku merasa jika esok atau lusa kami akan benar-benar berpisah.

Aku tak ingin kehilangannya, melenyapkan gelak tawa yang terus menghantui malam, atau melupakan senyum manis di bibir lebar yang selalu memperlihatkan gingsulnya. Sungguh, itu terasa sulit jika aku benar-benar harus kehilangan dirinya.

"Yaudah, ketemu setelah pulang sekolah! Aku mau ajak kamu makan di warung maniak. Katanya, sih baru buka. Awas kalau telat, aku tinggal kamu!" Jennie meraih tas hitam selempangnya dari dinding beton yang kami duduki, melompat, membuat rambut hitam ekor kudanya memantul kemudian berlari meninggalkanku.

"Sampai ketemu sore!" teriakku, melambai, meski dia tak sempat melihatnya.

Setelah kepergiannya, suasana menjadi hening, menyisakan embus angin membelai lembut dedaunan di samping pagar beton.

Beginilah sekarang, aku duduk sendirian pada dinding beton belakang sekolah sembari menatapi tulisan pada stikcy note hijau di tangan. Membaca isinya membuat bibirku otomatis tertarik ke dua arah, tersenyum.

Harusnya aku ceritakan bagaimana awal kisah kami agar kalian tak begitu sulit memahaminya. Memahami bagaimana aku begitu menderita dengan perasaan ini.

Hari itu ....

Aku baru saja pulang karena les musik telah selesai dilakukan. Teman-temanku berpisah meninggalkanku sendirian di koridor aula dengan gitar cokelat yang ukurannya lebih besar dari tubuhku.

Hari sudah masuk sore, dan jalanan akan mulai sepi dari jam segini. Aku lantas meraih ponsel pintar untuk menghubungi kakak di tempat kerja. Namun, saat aku melangkah menyusuri koridor sembari mengetikkan nama di kontak, telingaku menangkap suara terisak dari arah kamar mandi wanita.

Jelas, untuk anak seusiaku, hal-hal semacam itu membuat rasa penasaran meningkat. Bukannya takut dengan kemungkinan buruk atau hal mistis soal cerita legenda sekolah ini, aku malah mendekati kamar mandi khusus wanita asal suara itu muncul, sambil memasukkan kembali ponsel ke saku celana.

STORY ABOUT LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang