Chapter 30

244 116 2
                                    

Waktu berlalu dengan cepat. Saat ini SMA 8 Jakarta kedatangan tamu spesial dari tiga sekolah SMA, yaitu SMA Pelita Harapan, SMA 21 Jakarta, SMA Harapan Bangsa.

Tahun ini SMA 8 Jakarta menjadi tuan rumah untuk acara pertandingan persahabatan antar sekolah di bidang olahraga.

Saat ini lapangan penuh dengan siswa-siswi dari tiga sekolah yang berbaur dengan siswa-siswi SMA 8 Jakarta. Masing-masing dari mereka mengenakan baju olah raga yang berbeda dengan lambang masing-masing sekolah.

Vana tak bisa ikut pertandingan yang diadakan karena dia selaku wakil ketua OSIS harus menjadi panitia dan mengawasi sudut-sudut sekolah dari gangguan atau perkelahian dari siswa-siswi berbagai sekolah yang bisa terjadi karena persaingan antar sekolah.

Untuk tugas ini Vana butuh Biyah untuk menemaninya kalau ada murid yang bandel mengganggunya.

Setelah dicek aman, Vana menuju pinggir lapangan bersama Biyah untuk menonton pertandingan bola Volly putri melawan SMA Pelita Harapan.

"Sekolah kita bakal kalah telak kalau ada dia," cibir Biyah melirik sinis ke lapangan, di mana pemain bola Volly dari sekolah mereka bermain dengan buruk akibat ulah Vivin dan antek-anteknya.

"Woi, yang benar mukulnya!"

"Bangsat pake mata lo bego!"

"Dasar nggak becus mainnya!"

Vana mengangguk menyetujui ucapan Biyah. Mereka akan kalah kalau Vivin terus menumpahkan kekesalannya pada anggota timnya sendiri karena gagal mencetak poin.

Bagaimana mereka bisa menang kalau Vivin terus menurunkan semangat mereka dengan memaki atau berteriak karena gagal memukul bola.

Tak ada yang bisa membalasnya dan hanya mengertak gigi menahan kekesalan dalam hati karena Vivin merupakan anak pemilik yayasan di sekolah mereka.

Hana dan Claudia tak bisa berbuat apa-apa saat mereka juga kena semprotnya. Mereka berdua hanya bisa menahan kekesalan dalam hati, dan melampiaskan pada siswi lain.

"Untung Mita dan Yanti ikut pertandingan lain. Nggak kebayang apa jadinya kalau mereka berdua bermain dalam satu tim. Bisa bikin malu sekolah aja!" Biyah berdecak sebal melihat tingkah Vivin yang seenaknya.

"Iya tuh, coba kalau ada Susan kita bakal menang dan si Mak Lampir itu di depak dari lapangan. " Vana menimpali dengan raut jengkel.

Jika bukan karena Susan lagi izin, sekolah takkan mau memasukkan Vivin dalam tim bola Volly putri. Susan sangat mahir bermain Volly. Tahun lalu dia menjadi perwakilan untuk ikut pertandingan di sekolah lain.

Vana dan Biyah menggeleng kepala melihat Vivin tak henti-hentinya meneriaki pemain lain.

"Kalo gue di situ, gue bakal pukul bola itu ke muka jeleknya agar dia tau rasa. " Biyah lagi-lagi berdecak antara kesal dan gemas.

Vana yakin kalau tak ada orang di sekitar mereka, Biyah bakal maju ke depan dan menghantam Vivin dengan bola volly detik itu juga. Kegarangannya sangat terkenal buas tanpa pandang bulu. Bahkan jika itu putri presiden, dia takkan segan.

Itulah Biyah.

Wajah galak Biyah tak menyurutkan pandangan terpesona dari murid laki-laki dari sekolah lain, melihat tampangnya yang semanis gula.

Vanaria (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang