Chapter 45

235 131 3
                                    

Pada akhirnya Rehan membawa Vana ke bioskop. Film yang diambil Rehan tentunya film horror.  Dalam temaram ruang bioskop suasana menjadi mencekam saat dibagian paling horor. Di depan tempat duduknya, Rehan dapat melihat sepasang kekasih berpelukan.  Si pemuda tampak menenang pacarnya yang ketakutan.

Rehan melirik Vana yang makan pop corn menonton penampakan hantu yang paling menyeramkan. Tak ada ekpresi ketakutan di wajahnya, sebaliknya ekspresi wajahnya melongo.

Rehan membuang napas mendengar kikikan setan bergema mendirikan bulu kuduknya.

Dalam hati Rehan menyesal memilih film horor. Dia mengalihkan pandangannya dari layar lebar, tak berniat untuk menonton.

Seketika raut wajahnya memucat. Di barisan kursi depannya, nomor tiga dari kursi sepasang kekasih tadi, sosok berkulit pucat menoleh ke arahnya dengan gerakkan leher patah-patah. Mukanya tak kalah menyeramkan dari hantu di layar.

"Lo kenapa?" tanya Vana menoleh merasakan Rehan cengkraman tangannya.

Wajah Rehan pucat pasi bahkan tangannya pun berkeringat dingin. Kepala pemuda itu menggeleng menjawab pertanyaan Vana.

Mulut Vana terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi telingannya mendengar jeritan nyaring. Bukan dari layar bioskop tapi dari penontonnya.

Jantung Vana nyaris copot melihat penampakkan mengerikan di sekitarnya. Dan teriakan kaget Rehan membuatnya mengalihkan pandangannya.

Dia nyaris tersedak air liurnya sendiri melihat Rehan hampir pingsan karena sosok penampakan di sebelahnya.

Vana tak bisa menghentikan tawanya bahkan setelah mereka keluar dari bioskop dan masuk ke dalam kafe.

Sungguh hari yang penuh kejutan bagi Vana. Dikerjai di dalam bioskop dan melihat wajah ketakutan Rehan yang sangat langka. Vana tak bisa menghilangkan bayangan itu. Siapa yang menyangka kalau manusia kutub macam Rehan takut hantu. Gadis itu tak bisa menahan tawanya.

"Berhenti tertawa," gumam Rehan dengan ekspresi menahan kesal.

"Dan jangan beritahu Dian kejadian di bioskop tadi," lanjutnya dengan ekspresi serius menatap Vana yang tak bisa menahan kekehan geli.

Vana mengangguk paham dan menghentikan tawanya. Rehan membuang napas dan kembali ke sifat dingin dan cueknya, namun matanya tak lepas dari gadis di depannya.

Keheningan menyelimuti mereka. Vana berdeham sembari menyuruput jus alpukatnya. Dia memalingkan muka ke jendela kafe, salah tingkah ditatap sedemikian intens.

Vana tidak mengerti mengapa Rehan mengajaknya keluar, bahkan nonton berdua di bioskop.

Itu ciri-ciri orang yang lagi kencan.

Vana menggeleng, dia tak mau mengambil kesimpulan kalau Rehan menyukainya. Dia tak mau mengulang kesalahan yang sama seperti saat dia menyukai Radith. Terbawa perasaan karena sedikit perhatian.

Dia melirik Rehan diam-diam dan tatapan mereka bertemu. Vana tersedak jus-nya sendiri dan langsung memalingkan wajahnya ke jendela. Namun ujung matanya menangkap seringai tipis di bibir Rehan. Wajah Vana memerah.

Duh, tuh cowok liat orang biasa aja, Vana menggerutu gemas dalam hati.

"Omong-omong, gimana kabar Dian?" tanya Vana sekadar basa-basi untuk mengalihkan kecanggungan karena tak ada obrolan.

Vanaria (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang