Seventh Diagnosis

772 78 22
                                    

Seokjin terdiam seribu bahasa. Wajahnya semerah tomat masak. Namjoon yang menyadari hal itu menyunggingkan senyum lembut yang tak disadari Seokjin.

Mereka terus berjalan menyusuri kota yang mulai kembali sibuk. Matahari pagi yang bersinar hangat membuat pemandangan kota menjadi astetik. Seokjin melihat beberapa orang-orang membuka yang sedang toko, kendaraan yang berlalu lalang, dan suasana yang mulai ribut.

Seokjin yang terlena dengan pemandangan sekitar tak sadar kalau tangan Namjoon yang awalnya menggenggam erat lengannya turun perlahan ke telapak tangan Seokjin dan menautkan jemari mereka. Namjoon tersenyum lega melihat tak ada perlawanan dari Seokjin.

Cukup lama mereka berjalan, hingga mereka memasuki daerah di bagian ujung kota. Seokjin tak pernah mengunjungi daerah ini sebelumnya karena tidak ada kenalannya yang tinggal di sana. Mungkin karena itulah saat masuk ke kawasan ini ia merasa seperti sedang ada di perkotaan klasik Eropa. Kebanyakan bangunan di sana dibuat dari batu bata atau dicat dengan warna cream dan cokelat. Pohon-pohon rindang menghiasi jalan yang sepi. Ada juga toko-toko kecil yang terlihat manis.

Aku tak tau ada tempat seperti ini di Seoul. Seperti di luar negeri. Batinnya terpana.

"....Kim, kita mau apa di sini?" Tanya Seokjin setelah lama mereka tak bersua. "Mau pergi makan." Ujarnya santai sambil terus menggandeng tangan Seokjin.

"Hah?" Tanyanya balik, kebingungan. Ia kira mereka akan melakukan kencan di pusat kota seperti di tempat-tempat ramai yang sering Seokjin tonton di drama atau baca di novel. Taman bermain, kafe, bioskop, pokoknya yang seperti itu. Tapi kenapa malah langsung cari makan? Dan untuk apa cari makanan di daerah perumahan yang sepi begini. Emangnya ada?

"Apa maksudnya makan?" Tanya Seokjin lagi. Namjoon menghela nafas, "ya makan. Apa perlu kujelaskan definisi dari kata 'makan'?" Sarkas Namjoon. "Bukan begitu! Tapi kenap-"

"Begini aja deh supaya gampang dimengerti. Kita akan pergi 'sarapan'. Mengerti sekarang?" Namjoon memperjelas perkataannya. Seokjin mendecih dan memutar bola matanya sebal, malas berargumen kembali. Jadilah keduanya diam-diaman lagi.

Cukup lama mereka berjalan, hingga mereka memasuki gang kecil yang menurun di sela dua bangunan. Seokjin semakin merasa kalau mereka bukan si Korea saat ini.

Akhirnya mereka berhenti di depan bangunan kecil berwarna tortilla dengan papan nama 'Velvet Patisserie'. Dari namanya Seokjin tau kalau tempat ini adalah bakery beraliran asing. Semua pintu dan jendela masih tertutup rapat. Lagi pula tanda yang menggantung di depan pintu memampang tulisan close. Toko ini belum buka, kenapa Namjoon malah membawanya ke sini?

"Kim, toko ini masih tutup. Kenapa kita ke sini sih?" Tanya Seokjin heran.

"Sudah kubilang kita mau sarapan."

"Tapi toko ini masih tutup, bodoh!!"

"Hush, aku tau apa yang kulakukan. Kau diam saja, ahjussi." Potong Namjoon sambil mendekat ke pintu toko itu.

"Heh! Mau apa kau-"

Tok! Tok! Tok!

Namjoon mengetuk pintu tiga kali. "Apa yang kau lakukan!? Tidak sopan sekali!" Seokjin berbisik panik. Kelakuan muridnya yang tak tau tata krama ini sangat mengusiknya. Ia ingin mengomel lagi, tapi Namjoon malah menoleh sambil menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri dan mendesis pelan. Menyuruh Seokjin untuk tenang. Seokjin mengerung frustasi. Bocah sialan ini! Padahal dia yang baru saja-

Cklek!

Kriekk...

Terdengar suara kunci yang diputar di kenop pintu dan sedetik kemudian pintu toko itu terbuka. Seorang gadis yang terlihat jauh lebih muda dari mereka berdua melongokkan kepalanya dari balik pintu. Mata gadis itu bersinar begitu mendapati sosok Namjoon.

Heal Me (Jinnam/Namjin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang