《6.》 Kerja Bakti

77 6 5
                                    

Kring kring

"Woy, angkat telponnya!" teriak Bima yang bertelanjang dada dari lantai atas. Ia baru akan memakai sampo tapi ternyata benda itu tidak ada di kamar mandi, jadi ia mencari di kamar mandi sebelah kamar Yudhis.

"Kak Jun, angkat!" Dua bocah laki-laki yang sedang asik bermain game kompak berseru.

Arjuna menaikkan alisnya. Mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. "Kenapa harus gue?"

"Karena lo paling deket, Kakak," balas Sadewa.

"Males."

"Ya elah, cuma semeter di sebelah kiri lo," timpal Nakula.

"Jauh."

"Serah lo, Kak."

Kakak beradik itu kembali asik dengan kesibukan masing-masing membiarkan telpon rumah terus berdering hingga berhenti sendiri. Mungkin sang penelepon lelah. Lima menit kemudian, dering telepon kembali menggema di penjuru ruang keluarga kediaman keluarga Boulevard.

"Hey, kenapa enggak ada yang ngangkat?" seru laki-laki berkumis tipis baru saja memasuki rumah. Ia melepas kaos kaki dan sepatunya lantas menghampiri telepon rumah sambil berdecak sebal melihat kelakuan adik-adiknya.

"Halo," sapa Yudhistira menempelkan gagang telepon pada daun telinga.

"Yudhis, Papa telpon berkali-kali, baru diangkat sekarang. Kalian kemana aja, hem? Adik-adikmu pandawa lagi sibuk apa?" tanya seseorang di seberang sana.

"Ma-maaf, Dad. Yudhis baru pulang dari kafe. Adik-adik lagi pada sibuk sama urusan masing-masing." Yudhis melirik adik-adiknya yang masih tidak peduli. "Kayaknya habis ini Yudhis harus olahraga mulut," sindirnya.

"Tiap hari juga Mas olahraga mulut," sahut Sadewa.

Keempat adiknya memang meminggil Yudhistira dengan sebutan 'Mas' sebagai anak tertua. Sebutan 'Abang' untuk Bima yang merupakan anak kedua. Sementara anak ketiga dengan sebutan 'Kakak' disandang oleh Arjuna.

"Dewa, lo bisa main gak, sih? Lawan dong, jangan sembunyi," omel Nakula pada kembarannya. Sadewa dan Nakula memang kembar, meskipun bukan kembar identik. Nakula lebih tua lima menit dari Sadewa. Namun keduanya lebih terlihat seperti teman daripada kakak beradik.

Meninggalkan perdebatan adik-adiknya. Yudhis kembali menyahuti omelan Dadi-nya lewat telepon.

"Dadi pulang malem ini, lho."

Yudhistira tersentak. "Hah? Apa?"

"Kenapa? Enggak suka kalau Dadi pulang cepat?"

"Bukan, bukan gitu, Dad. Aku belum sempet belanja. Bahan makanan udah pada habis di kulkas," sahut Yudhistira gelisah.

"Masalah kecil gitu, biar Dadi bawa makanan sekalian buat makan malam. Kamu cukup memastikan satu hal."

"Apa?"

"Pastikan rumah bersih, tertata rapi, seperti saat Dadi berangkat. Jangan lupa siapin kamar Dadi ya."

Yudhis mengedarkan pandangan pada sekeliling rumah. Kapal pecah. Julukan yang pas untuk keadaan rumah berlantai dua yang berpenghuni lima orang laki-laki perjaka yang tak pernah bisa akur.

Dapat ditemukan beberapa bungkus makanan kecil dan kaleng soda di lantai berubin putih mengkilap. Kulit kacang membentuk formasi abstrak di karpet depan televisi, ulah si kembara-kembar imut. Pakaian kotor tersampir anggun di sofa, guci.

Parahnya lagi, kaos putih bermerek yang sepengetahuan Yudhis baru Juna beli kemarin, sekarang sudah bekerja part-time menjadi keset dibawah kaki sang majikan. Nahas sekali nasib brand berlambang centang satu itu. Yudhis menepuk dahinya, frustasi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pandawa Millenial [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang