BAGIAN 1

1K 28 0
                                    

Deru angin senja di Puncak Gunung Caringin begitu kencang, seakan-akan hendak meruntuhkan puncak yang terselimut kabut tebal. Daun-daun kering berguguran terhempas sapuan angin kencang. Beberapa pohon kecil mulai bertumbangan, dan batu-batu kerikil berhamburan. Semuanya diterjang kuatnya tiupan angin kencang yang membawa udara dingin menggigilkan tulang. Juga, membawa awan tebal menghitam, bergulung-gulung menutupi sinar matahari senja.
Namun segala yang terjadi di Puncak Gunung Caringin ini, sama sekali tidak mengusik seorang pemuda berwajah cukup tampan yang berdiri tegak di atas sebongkah batu hitam berlumut tebal. Pandangan pemuda berbaju putih ketat itu lurus tak berkedip. Sinar matanya begitu kosong dan jauh, menembus gulungan ombak yang berada di bawah tebing yang dipijaknya.
Ketampanan wajahnya terusik oleh mendung yang menggantung menyelimuti. Entah apa yang mengganggu pikiran anak muda itu. Rambutnya yang panjang terikat pita putih, hanya tergerai melambai-melambai dipermainkan angin. Tubuhnya terlihat tegak, terbungkus baju ketat berwarna putih. Belahan baju pada bagian dada cukup lebar, menampakkan bentuk dada yang bidang, tegap dan berotot
Entah sudah berapa lama dia berdiri mematung di atas batu karang itu, dan sedikit pun tidak bergeming. Perhatiannya begitu tajam, tertuju langsung pada ombak yang bergulung-gulung tak ada habisnya. Perhatiannya begitu penuh pada lautan, sampai-sampai tidak menyadari kalau ada seseorang mendekatinya dari arah belakang.
Orang tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul, berhenti tepat di belakang pemuda tampan berbaju putih ketat ini. Kepalanya bergerak menggeleng perlahan. Ujung-ujung jarinya terus bergerak lincah, seperti menghitung butiran tasbih yang terbuat dari batu hitam berkilat.
"Ehm-ehm...!"
"Oh...?!"
Pemuda berbaju putih ketat itu terkejut ketika mendengar suara batuk kecil di belakangnya. Dia cepat berbalik, lalu menarik napas panjang begitu melihat ada seorang laki-laki gundul berjubah kuning di tempat ini.
"Paman Pendeta Pohaji...," desah pemuda berbaju putih ketat itu, mengenali laki-laki tua gundul berjubah kuning di depannya. Bergegas pemuda itu melompat turun dari batu.
Dia hendak berlutut, tapi laki-laki tua yang dikenalinya sebagai Pendeta Pohaji itu cepat mencegah. Pemuda berbaju putih itu tidak jadi berlutut, dan hanya menundukkan kepala saja. Dia seakan-akan tidak sanggup memandang sorot mata pendeta tua di depannya ini
"Sudah tiga hari ini kau tidak berlatih, Sangkala. Dan kuperhatikan, kau selalu menyendiri, memandang ke tengah laut. Apa sebenarnya yang sedang kau pikirkan...?" terasa lembut suara Pendeta Pohaji.
"Tidak ada apa-apa, Paman. Aku hanya senang saja memandangi burung camar yang begitu bebas bergembira di alam yang indah ini. Aku suka mendengarkan deburan ombak memecah batu karang. Begitu merdu, bagaikan nyanyian sang Dewi," sahut pemuda yang dipanggil Sangkala.
Pendeta Pohaji tersenyum. Laki-laki tua gundul itu tahu kalau Sangkala menyimpan sesuatu. Dan jawaban tadi, hanya untuk menutupi hal yang sebenarnya saja. Kemudian digamitnya bahu Sangkala dan diajaknya melangkah. Mereka berjalan perlahan-lahan menuruni Puncak Gunung Caringin ini. Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang berbicara.
Hingga sampai di kaki lereng gunung ini, masih juga belum ada yang membuka suara. Dan ayunan kaki mereka terus bergerak perlahan menuju pantai yang berada tepat di bawah kaki Gunung Caringin ini. Mereka terus berjalan ke pantai yang landai berpasir putih, sampai lidah ombak menjilati kaki. Dan kedua laki-laki itu terus berjalan bersisian.
"Aku tahu, kau pasti menyembunyikan sesuatu, Sangkala. Mungkin berat bagimu untuk mengatakannya pada orang lain. Tapi segala persoalan harus terpecahkan. Dan kau pasti membutuhkan seseorang yang dapat membantu memecahkan persoalan yang sedang kau hadapi," kata Pendeta Pohaji lembut, membuka percakapan kembali.
"Aku tidak memiliki persoalan apa-apa, Paman," kilah Sangkala agak mendesah perlahan.
"Aku dulu juga pernah muda sepertimu, Sangkala. Kau tidak bisa menyembunyikan perasaan hatimu padaku," nada suara Pendeta Pohaji terdengar mendesak.
Sangkala diam saja. Beberapa kali ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat Seakan-akan begitu berat untuk mengungkapkan semua ganjalan hatinya. Memang diakui kalau pengamatan Pendeta Pohaji tidak meleset sedikit pun. Pemuda itu memang memiliki persoalan yang sulit dipecahkan. Apalagi harus menceritakannya pada orang lain, meskipun yang meminta adalah gurunya sendiri, yang juga pamannya.
"Baiklah, jika merasa keberatan. Aku tidak akan menanyakan lagi," ujar Pendeta Pohaji.
"Maafkan aku, Paman," ucap Sangkala pelan.
Pendeta Pohaji hanya tersenyum saja. Ditepuknya lembut pundak pemuda itu, penuh kasih sayang. Kembali mereka terdiam untuk beberapa saat lamanya.
"Sangkala, apa kau sudah menamatkan ajian terakhir yang kuberikan?" tanya Pendeta Pohaji, mengalihkan pembicaraan.
"Sudah, Paman," sahut Sangkala.
"Bagus. Kalau begitu, malam ini aku akan mengujimu. Aku ingin tahu, sampai di mana kau menguasai aji 'Petak Jiwa'."
"Nanti malam, Paman...?!" Sangkala tampak terkejut.
"Kenapa? Belum siap...?"
"Siap, Paman," sahut Sangkala, bernada ragu-ragu.
"Aku tunggu kau tepat tengah malam di sini."
Setelah berkata demikian, Pendeta Pohaji berjalan cepat mendahului Sangkala. Sedangkan pemuda berbaju putih itu menghentikan ayunan kakinya. Dipandanginya laki-laki tua gundul yang semakin jauh di depannya.
"Hhh.... Seharusnya tadi aku menolak. Pendeta Pohaji pasti kecewa," desah Sangkala perlahan.
Sangkala baru mengayunkan kaki kembali setelah Pendeta Pohaji tidak terlihat lagi. Ayunan kakinya begitu perlahan. Sedangkan kepalanya tertunduk dalam, memandangi ujung jari kaki yang bergerak teratur menyusuri tepian pantai ini. Tapi baru beberapa depa berjalan, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan biru.
"He...!"
Sangkala tersentak kaget, dan langsung berhenti melangkah. Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang perempuan muda yang cantik. Tubuhnya ramping, dengan lekuk-lekuk indah terbalut baju biru terang yang ketat dan agak tipis.
"Mintarsih...," desis Sangkala mengenali wanita cantik di depannya.
Wanita cantik berbaju biru yang dipanggil Mintarsih itu tersenyum manis. Begitu manis dan memikat senyumnya, membuat Sangkala jadi menelan ludah. Entah kenapa, mendadak saja tenggorokan pemuda ini jadi kering.
"Sudah tiga hari aku menunggumu, Sangkala. Apa sudah mengambil keputusan...?" terdengar halus dan lembut suara Mintarsih.
"Aku.., aku tidak bisa memutuskannya," sahut Sangkala agak tergagap.
"Kenapa...?" tanya Mintarsih agak terkejut mendengar jawaban itu.
"Aku tidak mungkin meninggalkan Pendeta Pohaji. Aku bukan lagi seperti kemenakannya, tapi Pendeta Pohaji malah sudah menganggapku seperti anaknya sendiri"
"Kenapa kau begitu berat meninggalkannya hanya untuk beberapa hari saja, Sangkala? Lagi pula, kalau kau memberi alasan tepat, Pendeta Pohaji pasti mengizinkanmu keluar dari Karang Setra."
Sangkala hanya diam saja.
"Alasanmu tidak tepat, Sangkala. Apa sebenarnya yang membuatmu begitu berat meninggalkan Karang Setra? Ini kesempatan baik, Sangkala. Aku sudah tahu, di mana Pendekar Rajawali Sakti sekarang berada. Jadi, tidak pertu repot-repot lagi mencarinya. Setelah semuanya selesai, kau bisa kembali lagi ke sini," bujuk Mintarsih.
"Kenapa tidak kau saja, Mintarsih?" tanya Sangkala, tetap pelan suaranya.
"Aku membutuhkan teman."
"Tapi, kenapa harus aku?"
"Karena alasan kita sama, Sangkala. Dan kita bisa bekerja sama. Aku yakin, ilmu-ilmu yang kau dapatkan dari Pendeta Pohaji bisa diandalkan. Terlebih lagi aji 'Petak Jiwa' yang sudah kau kuasai, Sangkala," lagi-lagi Mintarsih membujuk.
"Aku belum sempurna menguasai aji 'Petak Jiwa', Mintarsih. Masih terlalu banyak kekurangannya," Sangkala mencoba berkilah.
"Kau hanya merendah saja, Sangkala."
"Ah! Sudahlah, Mintarsih. Beri aku sedikit waktu lagi untuk berpikir," desah Sangkala.
"Waktunya sangat mendesak, Sangkala."
"Kau datang saja ke sini besok."
"Kenapa tidak sekarang saja, Sangkala?" desak Mintarsih.
"Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Sudahlah, Mintarsih. Besok kau baru bisa mendengar keputusanku."
"Baiklah kalau begitu," Mintarsih mengalah.
"Besok siang aku akan datang lagi ke sini."
Setelah berkata demikian, Mintarsih langsung melesat pergi. Begitu cepatnya gerakan gadis berbaju biru itu, hingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Sangkala menghembuskan napas panjang, lalu kembali mengayunkan kaki meninggalkan pantai ini.

53. Pendekar Rajawali Sakti : Jaringan HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang