BAGIAN 4

623 26 0
                                    

Sampai lewat tengah malam, Cempaka menceritakan keadaan di Karang Setra setelah kematian Pendeta Pohaji. Sementara Rangga mendengarkan penuh perhatian. Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menyelak, sampai Cempaka menyelesaikan ceritanya. Rangga masih saja diam sambil menundukkan kepala, meskipun Cempaka telah menyelesaikan ceritanya.
Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti diam sambil tertunduk. Sementara Cempaka hanya memperhatikan saja, tanpa berani menegur. Gadis itu bisa merasakan apa yang sedang dirasakan pemuda berbaju rompi putih ini. Memang merupakan satu pukulan berat bagi Rangga, karena Pendeta Pohaji sudah dianggap seperti orang tua sendiri. Segala permasalahan selalu diceritakan pada pendeta tua itu, setiap kali Rangga berada di Karang Setra. Dan memang, Pendeta Pohaji merupakan panutan semua orang di Kerajaan Karang Setra. Bukan saja sikapnya yang selalu lembut dan bersahaja, tapi segala tindakannya selalu adil dan bijaksana sekali.
“Hhh...!” Rangga menghembuskan napas panjang-panjang.
Kepalanya diangkat, menatap bulan yang saat itu tengah bersinar penuh. Cahayanya yang keemasan, menyinari wajah mendung Pendekar Rajawali Sakti. Begitu jelas terlihat, sampai-sampai Cempaka sendiri tidak sanggup memandangi wajah yang terselimut kabut duka itu.
“Apa sudah dicari kepala Pendeta Pohaji di sekitar pantai itu, Cempaka?” tanya Rangga pelan. Begitu pelannya, hampir tidak terdengar.
“Sudah,” sahut Cempaka. “Bahkan beberapa nelayan ikut mencari sampai ke dasar laut, tapi tidak ditemukan juga.”
Kembali Rangga menghembuskan napas panjang, kemudian bangkit berdiri sambil memandang lurus ke depan. Hutan ini memang tidak terlalu lebat, sehingga sinar bulan yang memancar dapat menerangi sekitarnya. Apalagi malam ini tak ada awan sedikit pun mengantung di langit. Namun, udara malam ini terasa panas sekali.
“Tidurlah, Cempaka. Besok, pagi-pagi sekali kita menjemput Pandan Wangi. Setelah itu baru kembali ke Karang Setra,” kata Rangga tanpa membalikkan tubuhnya.
“Di mana Pandan Wangi, Kakang?” tanya Cempaka baru teringat Pandan Wangi.
“Di Desa Batu Ceper. Tidak jauh dari sini,” sahut Rangga.
Cempaka memandangi kakak tirinya yang berjalan perlahan-lahan, menjauhi tempat bermalam ini. Sebentar gadis itu melirik Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit yang duduk melingkari api unggun. Kemudian kakinya terayun perlahan mengikuti pemuda berbaju rompi putih itu.
Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata, dan semakin jauh meninggalkan tempat bermalam para prajurit yang ikut serta bersama Cempaka. Mereka baru berhenti setelah tiba di tempat yang cukup tinggi. Dari sini, mereka bisa memandangi balik punggung gunung kecil yang berhubungan langsung dengan pantai. Memang kelihatan dekat, tapi membutuhkan waktu satu hari untuk mencapai tempat itu. Di sanalah Pendeta Pohaji ditemukan tewas terbunuh dengan kepala buntung.
“Kakang...,” panggil Cempaka.
“Kenapa kau mengikutiku, Cempaka?” tanya Rangga tanpa berpaling.
Cempaka mendekati kakak tirinya ini, lalu berdiri di samping kanannya. Gadis itu juga mengarahkan pandangan ke arah yang sama dengan Rangga. Mata mereka menatap lautan yang tampak menghitam, dipenuhi pernik cahaya, bagai bertarburkan ribuan mutiara. Namun keindahan itu sama sekali tak dapat dinikmati karena terasa suram, akibat tewasnya Pendeta Pohaji.
“Aku tahu, kau merasa sangat kehilangan, Kakang. Aku juga.... Tapi aku mencoba untuk menyadari kenyataan ini,” kata Cempaka perlahan.
Rangga menolehkan kepalanya, lalu meraih pundak gadis itu. Sebentar kemudian dibawanya ke dalam pelukan. Cempaka jadi manja, langsung merebahkan kepalanya di dada bidang pemuda ini. Tangannya dilingkarkan, memeluk pinggang Rangga. Tidak banyak kesempatan baginya untuk bermanja-manja. Tapi pada keadaan seperti ini, apakah pantas bermanja-manja...? Tidak...! Cempaka segera melepaskan pelukannya. Disingkirkannya tangan Rangga dari pundaknya. Gadis itu kemudian menggeser kakinya agak menjauh.
“Kita akan mencari pembunuh itu bersama-sama, Kakang. Dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya,” tegas Cempaka lagi.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja, namun terasa masam sekali. Cempaka tahu, kalau Rangga sedang bergulat dengan batinnya sendiri. Pendekar Rajawali Sakti seperti mempertahankan kesabaran dan ketabahan, yang mungkin saja tidak dapat terbendung lagi. Namun pemuda berbaju rompi putih itu masih mampu bertahan, dan memperlihatkan ketabahannya di depan gadis ini.
“Ap...”
Baru saja Cempaka akan membuka mulut, mendadak saja....
“Aaa...!”
“Heh...?!”
Rangga dan Cempaka tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Sebentar mereka saling berpandangan. Jeritan itu demikian jelas, dan datang dari tempat peristirahatan Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit.
“Paman Jarak Legi...,” desis Rangga tertahan.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat, masuk kembali ke dalam hutan. Cempaka tidak mau ketinggalan. Dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, gadis itu berlompatan mengejar kakak tirinya.
“Keparat..!” desis Rangga menggeram.
Hampir Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Belum lama meninggalkan tempat ini, tiga orang prajurit tampak telah tergeletak berlumuran darah. Rangga langsung memeriksa tubuh ketiga prajurit itu. Tak ada seorang pun yang hidup. Mereka semua tewas dengan dada terbelah lebar. Darah terus mengucur dari dada mereka.
Saat itu Cempaka muncul, dan langsung terpekik kecil menyaksikan ketiga prajurit yang dibawanya sudah tergeletak tak bernyawa, disertai lumuran darah. Bergegas gadis itu menghampiri Rangga yang sedang memandangi tiga mayat di depannya.
“Paman Jarak Legi.... Di mana dia...?!” sentak Rangga begitu teringat Paman Jarak Legi yang tidak kelihatan di tempat ini.
Pada saat itu, terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari arah Timur. Rangga cepat melesat menuju ke arah jeritan itu. Cempaka bergegas mengikuti, mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Meskipun seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya sudah dikerahkan, tapi tetap saja tidak dapat mengimbangi Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu tertinggal jauh, sementara Rangga sudah lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
“Paman...!” pekik Rangga tertahan Di depan Pendekar Rajawali Sakti tampak Paman Jarak Legi tergeletak dengan dada terbelah berlumur darah. Bergegas Rangga menghampiri, lalu mengangkat tubuh laki-laki setengah baya itu Kemudian diletakkannya kepala Paman Jarak Legi di pangkuannya. Bibir Paman Jarak Legi bergerak gerak, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.
“Paman.... Siapa yang melakukan ini?” tanya Rangga.
Pada saat itu, Cempaka datang. Gadis itu segera menghampiri Rangga, dan berlutut di depannya. Paman Jarak Legi melirik Cempaka sebentar.
“Gusti..., Mintarsih... Akh…!”
“Paman...!”
Rangga mengguncang guncang tubuh laki-laki separuh baya itu. Tapi, laki-laki itu tetap diam dengan kepala terkulai. Darah semakin banyak mengucur dari dada dan mulutnya. Perlahan-lahan Rangga meletakkan tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi ke tanah. Dipandanginya mayat itu sebentar, lalu beralih pada Cempaka.
“Siapa itu Mintarsih, Kakang?” tanya Cempaka.
Rangga tidak segera menjawab. Dihempaskan tubuhnya, duduk dengan lemas. Sinar matanya begitu kosong, memandangi tubuh setengah baya yang sudah tidak bernyawa lagi. Tidak lama Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit, namun sekarang mereka sudah tiada. Hanya dalam waktu sebentar saja!
“Mintarsih...,” desis Rangga agak menggeram.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi Cempaka. Disadari kalau ada seseorang yang selalu membayanginya, sehingga membantai orang orang yang dekat dengannya. Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit pilihan tewas begitu cepat, tanpa dapat dicegah lagi. Siapa pun orangnya, tentu memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
“Kakang...,” pelan suara Cempaka.
Gadis itu menghampiri, namun agak takut-takut. Belum pernah dia melihat Rangga menahan amarah begitu besar, sampai seluruh wajahnya memerah. Bahkan urat-urat di seluruh tubuhnya bersembulan ke luar.
“Orang itu pasti yang membunuh Pendeta Pohaji...,” desis Rangga, dingin menggetarkan.
“Siapa dia, Kakang?” tanya Cempaka.
Rangga menatap Cempaka dalam-dalam. Dipegangnya pundak gadis itu. Agak risih juga Cempaka, mendapatkan tatapan begitu dalam, menusuk tajam bola matanya.
“Cempaka, pulanglah lebih dahulu sekarang juga. Aku akan segera menyusul setelah menjemput Pandan Wangi,” ujar Rangga.
“Malam-malam begini...?” Cempaka ingin menolak.
Saat itu malam memang masih begitu larut Rangga seakan-akan baru menyadari, kalau tidak mungkin melepaskan Cempaka sendirian kembali ke Karang Setra malam-malam begini. Kepala Pendekar Rajawali Sakti terdongak, seraya menghembuskan napas panjang.
“Kuda Dewa Bayu akan mengantarkanmu, Cempaka,” kata Rangga setelah cukup lama berpikir.
“Dewa Bayu...? Oh..., tidak.... Jangan paksa aku menunggang kudamu, Kakang,” tolak Cempaka.
Tidak pernah Cempaka memimpikan menunggang Dewa Bayu. Gadis itu tahu kalau kuda hitam milik kakak tirinya ini bukanlah kuda sembarangan. Kecepatan larinya seperti angin saja. Tidak ada seekor kuda pun di dunia ini yang bisa menandinginya. Cempaka memang pernah sekali menunggang kuda itu. Dan gadis itu sudah bersumpah, tidak akan mengulanginya lagi.
“Kau harus kembali ke Karang Setra sekarang juga, Cempaka,” desak Rangga.
“Tapi tidak dengan Dewa Bayu. Aku tidak ingin mati di atas punggung kudamu, Kakang,” Cempaka tetap menolak.
“Hanya Dewa Bayu yang bisa mengantarkanmu pulang dengan selamat.”
“Aku lebih memilih bersamamu, daripada harus menunggang kuda itu. Aku tidak mau dipaksa, Kakang. Lebih baik pulang sendiri daripada harus menunggang kuda itu. Sekali kukatakan tidak, tetap tidak...!” tegas Cempaka.
Rangga tidak bisa lagi mendesak. Kepalanya yang tidak gatal digaruk-garuk. Memang Cempaka tidak mungkin dipaksa untuk pulang bersama Dewa Bayu. Jangankan Cempaka, Pandan Wangi yang selalu bersamanya saja, sampai sekarang tidak pernah sudi menunggang kuda itu lagi. Meskipun Dewa Bayu sendiri, sebenarnya begitu jinak.
“Baiklah, kau ikut aku ke Desa Batu Ceper. Kita jemput Pandan Wangi sekarang, lalu terus ke Karang Setra malam ini juga,” Rangga akhirnya menyerah juga.
“Itu lebih baik, Kakang,” sambut Cempaka senang.
Rangga memandangi mayat Paman Jarak Legi.
“Kita kuburkan dulu, Kakang,” kata Cempaka, seakan-akan bisa membaca jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
“Tentu. Aku tidak ingin mereka jadi santapan binatang hutan.”

53. Pendekar Rajawali Sakti : Jaringan HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang