BAGIAN 3

672 29 0
                                    

Seluruh penghuni Istana Karang Setra dilanda awan mendung yang amat tebal. Bahkan seluruh rakyat Kerajaan Karang Setra terselimut kabut duka atas kematian Pendeta Pohaji yang begitu menyedihkan dan penuh teka-teki. Beberapa nelayan menemukan tubuh pendeta tua penasihat istana itu terbenam sepinggang di tepi pantai, dengan kepala buntung.
Hingga tubuh pendeta itu dimakamkan, tidak ada yang bisa menemukan kepalanya. Malah Raden Danupaksi, orang kedua di Karang Setra sudah memerintahkan ratusan prajurit untuk mencari kepala Pendeta Pohaji, namun tidak juga bisa ditemukan.
Sampai saat ini, sudah dua hari jenazah Pendeta Pohaji dimakamkan tanpa kepala. Namun sampai saat itu, kematiannya belum juga terungkap. Raden Danupaksi sudah menanyakan pada semua murid Pendeta Pohaji, tapi tidak ada seorang pun yang mengetahui. Dan semuanya mengatakan, kalau malam itu Pendeta Pohaji menguji ilmu Sangkala. Raden Danupaksi tahu kalau Sangkala adalah murid kesayangan Pendeta Pohaji, dan memiliki ilmu yang lebih tinggi dari yang lain. Sangkala pun tidak luput dari pertanyaan Raden Danupaksi.
“Semua murid Paman Pendeta Pohaji mengatakan kalau malam itu kau bersamanya, Sangkala,” kata Raden Danupaksi seraya menatap dalam-dalam pemuda berbaju putih yang duduk bersimpuh di depannya.
“Ampunkan hamba, Raden. Memang malam itu Paman Pendeta menguji ilmu yang selama ini sudah hamba dapatkan darinya. Tapi itu berlangsung tidak lama. Kemudian hamba meninggalkan pantai lebih dahulu, sehingga tidak tahu apa yang terjadi di sana,” sahut Sangkala, bersikap penuh rasa hormat.
“Kau tidak kembali ke puri malam itu, hingga menjelang fajar. Lalu ke mana saja sepanjang malam?” pertanyaan Raden Danupaksi sudah menjurus ke nada curiga.
“Hamba langsung pergi ke makam,” sahut Sangkala.
“Ke makam..? Makam siapa?” tanya Raden Danupaksi agak terkejut
Orang kedua di Kerajaan Karang Setra itu kemudian menatap Cempaka yang sejak tadi diam saja di dalam ruangan khusus ini. Memang di situ hanya ada Raden Danupaksi, Sangkala, dan Cempaka. Danupaksi memang tidak mengizinkan seorang pun masuk ke dalam ruangan ini.
“Sangkala! Meskipun tidak mengenalmu sejak kecil, tapi kami semua tahu tentang dirimu. Paman Pendeta Pohaji tidak pernah menyembunyikan apa pun tentang murid-muridnya. Jadi, kami tahu kalau kau tidak memiliki ayah dan ibu sejak kecil. Lalu, makam siapa yang kau kunjungi malam itu?” Cempaka baru membuka suara setelah mendapatkan isyarat dari Danupaksi.
“Aku tahu, kalau aku tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tapi, aku tahu kalau makam ayah dan ibuku sejajar bersama makam para pengkhianat dan pemberontak serta penjahat besar kerajaan ini,” sahut Sangkala kalem.
Danupaksi dan Cempaka tersentak kaget bukan kepalang mendengar jawaban Sangkala yang begitu tenang dan tegas sekali. Namun yang lebih mengejutkan lagi, Sangkala sudah mengetahui makam kedua orang tuanya. Hal ini membuat Danupaksi tidak punya gairah lagi untuk menanyai Sangkala. Sedangkan Cempaka tidak mengetahui jelas duduk perkara orang tua Sangkala.
“Kau boleh keluar, Sangkala,” ujar Danupaksi.
Sangkala merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung, kemudian meninggalkan ruangan itu. Tinggal Danupaksi dan Cempaka saja yang masih berada di ruangan ini. Beberapa saat mereka terdiam dengan pikiran menerawang jauh.
“Aku tidak mengerti, dari mana dia bisa tahu tentang pusara orang tuanya...?” gumam Danupaksi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Kau tahu asal-usul Sangkala, Kakang?” tanya Cempaka.
“Aku tahu asal-usul semua orang yang bebas keluar masuk di istana ini, Cempaka. Tapi semua itu kurahasiakan, hingga tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Kakang Rangga sendiri,” sahut Danupaksi.
“Mungkin Pendeta Pohaji sendiri yang memberitahukannya, Kakang,” duga Cempaka.
“Tidak mungkin, Cempaka. Pendeta Pohaji tidak pernah membuka rahasia asal-usul murid-muridnya, kecuali padaku dan Kakang Rangga. Kita memang tidak tahu pasti, tapi Pendeta Pohaji sudah menceritakan semuanya. Bahkan berani bersumpah kalau semua yang dikatakannya adalah benar. Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang mengetahui asal-usulnya. Mereka semua diambil sejak masih kecil. Bahkan ada yang masih bayi,” bantah Danupaksi.
“Kalau bukan Pendeta Pohaji sendiri, lalu siapa lagi?” tanya Cempaka.
“Itu yang tidak kumengerti, Cempaka. Dan aku yakin, kalau ini ada hubungannya dengan kematian Pendeta Pohaji sendiri,” sahut Danupaksi.
“Kakang, apa tidak sebaiknya hal ini diberitahukan pada Kakang Rangga?” usul Cempaka.
“Di mana harus mencari Kakang Rangga, Cempaka...? Kita semua tidak tahu pasti, di mana Kakang Rangga sekarang berada.”
Cempaka terdiam. Jawaban Danupaksi memang tidak bisa disangkal lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu, di mana Pendekar Rajawali Sakti itu kini berada.
Memang sukar memiliki raja seorang pendekar yang gemar berkelana. Dan ini sangat dirasakan Cempaka maupun Danupaksi yang harus menggantikan kedudukan raja mereka selama kepergian yang tidak bisa ditentukan kapan kembalinya. Bahkan tidak tahu ke mana perginya.
“Kalau Kakang mengizinkan, aku akan mencari Kakang Rangga. Mudah-mudahan saja bisa cepat bertemu,” pinta Cempaka berharap.
“Aku tidak bisa melarang atau mengizinkanmu, Cempaka. Berbuatlah yang menurutmu benar,” sahut Danupaksi.
“Kalau begitu, aku berangkat sekarang, Kakang.”
“Hati-hatilah. Aku merasa kematian Paman Pendeta Pohaji akan berbuntut panjang.”
Cempaka mengangguk sedikit, kemudian meninggalkan ruangan itu dengan ayunan kaki tegap dan mantap. Sepeninggal adik tirinya itu, Danupaksi masih merenung sendiri.

53. Pendekar Rajawali Sakti : Jaringan HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang