BAGIAN 2

643 24 0
                                    

“Dari mana kau punya pikiran seperti itu, Sangkala?” tanya Pendeta Pohaji tanpa berpaling sedikit pun.
Sangkala tidak menjawab. Pandangannya pun diarahkan ke tengah lautan. Pertanyaan Pendeta Pohaji barusan terasa begitu berat dijawab. Tidak mungkin hal itu diutarakan dengan terus terang, karena sudah berjanji pada Mintarsih untuk tidak memberitahukan pertemuan mereka selama ini pada siapa pun juga. Termasuk Pendeta Pohaji.
“Aku kenal betul Gusti Prabu Rangga. Meskipun, aku baru bertemu dengannya lagi setelah dia menjadi dewasa,” jelas Pendeta Pohaji.
Laki-laki itu terkenang kembali saat pertemuannya dengan Pendekar Rajawati Sakti. Saat itu, Karang Setra belum lagi berbentuk kerajaan, tapi masih merupakan sebuah kadipaten (Baca serial Pendekar Rajawati Sakti dalam kisah, Api di Karang Setra). Sebuah pertemuan yang sangat mengharukan semua orang. Karena selama dua puluh tahun, Rangga Pati Permadi sudah dianggap tewas di Lembah Bangkai.
Peristiwa itu memang sudah lama sekali, tapi masih melekat kuat dalam ingatan Pendeta Pohaji. Saat itu dia memang tidak bisa menentukan, dan tidak ingin berpihak pada siapa saja. Kedudukannya sebagai pendeta dan penasihat keturunan Adipati Karang Setra, membuat Pendeta Pohaji harus berdiri di tengah-tengah. Tidak memihak pada Rangga yang ahli waris tunggal Karang Setra. Juga, tidak memihak pada Wira Permadi, adik tiri Rangga yang sangat bernafsu ingin menguasai Karang Setra. Terlepas, apakah dia tahu kalau jalan yang ditempuh Wira Permadi dapat dibenarkan atau tidak.
Namun Pendeta Pohaji sudah berjanji pada Adipati Karang Setra untuk menjaga dan melindungi keturunannya sampai ajal datang menjemput. Satu persatu janjinya pada Adipati Karang Setra sudah terpenuhi, meskipun dia tidak bisa memenuhi janjinya sendiri pada putra adipati itu sendiri. Dan yang jelas, itu bukan kesalahannya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan musibah datang.
“Paman, benarkah Pendekar Rajawali Sakti yang membunuh ayahku?” tanya Sangkala lagi, agak mendesah.
“Aku tidak bisa menjawabnya, Sangkala,” sahut Pendeta Pohaji pelan.
“Kenapa? Bukankah Paman begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti?”
“Rangga, Pendekar Rajawali Sakti, atau Gusti Prabu Karang Setra adalah sama. Dan aku memang salah seorang pejabat yang dipercaya menjadi penasihat istana. Tapi aku dan Gusti Prabu jarang sekali bertemu. Jadi, aku tidak tahu pasti tentang semua itu, Sangkala,” jelas Pendeta Pohaji.
Sangkala tampak kecewa mendengar jawaban laki-laki tua berjubah kuning gading ini. Sebentar dirayapinya wajah tua yang sudah banyak berkeriput Kemudian kedua tangannya dirapatkan di depan hidung. Tanpa berkata-kata lagi, pemuda berbaju putih ketat itu melangkah pergi. Tinggallah Pendeta Pohaji yang masih berdiri mematung memandangi gulungan ombak. Sampai langkah kaki Sangkala tidak terdengar lagi, Pendeta Pohaji masih juga berdiri mematung. Pandangannya lurus tak berkedip menatap lautan bebas, bagai tak bertepi. Namun mendadak saja....
“Hm...,” Pendeta Pohaji menggumam perlahan.
Pendengarannya yang setajam mata pisau, mendengar suara lain dari yang didengarnya. Suara halus yang datang dari arah belakang.
“Hup...!”
Mendadak saja Pendeta Pohaji melenting ke atas, melakukan putaran dua kali. Tepat pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan biru yang lewat di bawah kaki Pendeta Pohaji. Setelah melakukan dua kali putaran, laki-laki tua berjubah kuning yang seluruh kepalanya gundul itu mendarat di pasir pantai yang putih dengan manis sekali.
“Siapa kau...?!” bentak Pendeta Pohaji seraya mengamati seseorang yang berdiri membelakanginya.
“Hik hik hik...!” wanita berbaju biru terang itu tertawa terkikik.
Pendeta Pohaji melompat mundur dua tindak. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pendeta tua berkepala gundul itu sudah berdiri seorang perempuan berwajah cukup cantik. Dia mengenakan baju ketat warna biru. Begitu ketatnya, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya nampak jelas membayang.
“Kau tidak mengenaliku lagi, Pohaji?” lembut sekali nada suara wanita berbaju biru itu.
Pendeta Pohaji nampak tersentak. Kembali diamatinya wajah dan seluruh tubuh wanita cantik di depannya. Kepala yang gundul tanpa sehelai rambut, terlihat bergerak menggeleng perlahan. Pandangan matanya seperti tidak percaya terhadap apa yang dilihatnya.
“Mustahil...,” desis Pendeta Pohaji sambil menggelengkan kepala perlahan beberapa kali.
“Zaman bisa berubah dan waktu pun terus berputar, Pohaji. Tapi jangan lupa, kalau kepandaian manusia pun semakin meningkat,” kata wanita berbaju biru itu lagi.
“Bagaimana mungkin kau bisa tetap muda, Mintarsih?” tanya Pendeta Pohaji, masih tidak percaya dengan apa yang disaksikannya kini.
Wanita cantik yang mengenakan baju biru itu hanya tertawa saja. Tawanya begitu lembut terdengar di telinga, namun juga mengandung suatu daya rangsang tersendiri yang sangat menyentuh kejantanan seorang laki-laki. Dan itu terasa sekali, sehingga Pendeta Pohaji terpaksa harus mengerahkan kekuatan dengan menutup sebagian aliran darah yang menuju kejantanannya.
Laki-laki tua berkepala gundul itu seketika menyadari kalau suara yang dikeluarkan Mintarsih mengandung suatu ilmu langka yang dapat melemahkan hati siapa saja yang mendengarnya. Dan kalau hati seseorang sudah melemah, wanita ini dapat dengan mudah memperdayai. Apa pun yang dikatakan akan dituruti tanpa disadari.
“Aku akui, aji 'Lemah Atma' yang kau miliki mengalami kemajuan pesat. Tapi belum cukup untuk melemahkan hatiku, Mintarsih,” kata Pendeta Pohaji dingin.
“Rupanya kau masih juga bisa merasakan ilmuku, Pohaji. Hebat...! Kau masih juga dapat bertahan, tidak seperti muridmu. Hi hi hi...!”
“Apa maksudmu, Mintarsih?”
Mintarsih hanya tertawa saja, namun mendadak saja mengebutkan tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga, dari telapak tangan wanita itu melesat secercah cahaya keemasan yang meluruk deras ke arah Pendeta Pohaji. Sejenak Pendeta Pohaji terperangah, namun cepat mengegoskan tubuh ke kanan untuk menghindari serangan mendadak yang dilakukan wanita cantik itu.
Maka cahaya kuning keemasan itu lewat sedikit di samping tubuh Pendeta Pohaji. Namun sebelum laki-laki tua itu bisa menarik kembali kedudukan tubuhnya, kembali Mintarsih menyerang lebih cepat dan dahsyat. Wanita itu melesat cepat bagaikan kilat, disertai lontaran dua pukulan bertenaga dalam tinggi sekali.
“Hiyaaat..!”
“Uts!”
Pendeta Pohaji terpaksa melentingkan tubuh ke udara. Dia melakukan putaran dua kali di udara, sebelum menjejak tanah berpasir, sekitar dua batang tombak jauhnya dari Mintarsih.
“Tunggu...!” sentak Pendeta Pohaji begitu melihat Mintarsih hendak melakukan serangan kembali.
Mintarsih langsung mengurungkan serangannya.
“Apa maksudmu dengan semua ini, Mintarsih?” tanya Pendeta Pohaji.
“Kau sudah tahu keinginanku, Pohaji. Dan hanya kaulah penghalang utamaku! Maka kau harus mampus lebih dahulu...!” sahutan Mintarsih begitu dingin dan datar suaranya.
“Aku tidak tahu, apa keinginanmu,” sahut Pendeta Pohaji.
“Keparat...! Sejak dulu kau selalu saja berpura pura. Dasar penjilat..!” geram Mintarsih.
Wanita cantik berbaju biru itu kembali bersiap melakukan serangan. Wajahnya tampak memerah bagai saga. Sinar matanya berkilatan tajam, menusuk langsung bola mata Pendeta Pohaji. Perlahan-lahan kedua tangannya ditarik hingga sejajar dada. Sedangkan kedua kakinya terpentang lebar ke samping.
“Hm...,” Pendeta Pohaji bergumam perlahan melihat Mintarsih sudah bersiap hendak melakukan serangan.
Semua yang dipersiapkan wanita itu sudah tidak asing lagi bagi Pendeta Pohaji. Hanya saja dia tidak tahu sampai di mana kemajuan jurus-jurus yang dimiliki wanita cantik ini. Dan laki-laki gundul itu tidak ingin menganggap remeh. Pendeta Pohaji tahu kalau Mintarsih bukanlah wanita yang bisa dianggap enteng ilmu-ilmunya. Mereka satu sama lain kenal sudah lama. Bukan setahun atau dua tahun, tapi puluhan tahun. Dan masing-masing sudah mengenal watak dan kemampuannya. Hanya saja, Pendeta Pohaji masih belum mengerti, kenapa Mintarsih masih juga kelihatan muda dan cantik seperti seorang gadis belia saja.
Sedangkan dia sendiri sudah begitu tua, keriput, dan tinggal menunggu ajal saja. Padahal kalau diukur usia, tentu hanya terpaut dua tahun saja. Inilah yang belum bisa dimengerti laki-laki tua berkepala gundul itu. Sementara Mintarsih sudah bersiap hendak melakukan serangan. Kakinya sudah digeser ke kanan beberapa tindak.
“Tahan seranganku, Pohaji! Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Pendeta Pohaji langsung melentingkan tubuh ke angkasa, begitu Mintarsih melompat menyerang. Satu benturan keras di udara tak dapat dihindari lagi. Dua pasang telapak tangan beradu keras, hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Begitu kerasnya dua kekuatan tenaga dalam itu beradu, sehingga mereka sama-sama terpental jatuh keras sekali.
Namun mereka masih dapat menguasai diri, sehingga jatuh tepat dengan kedua kaki tegar. Mintarsih langsung bersiap hendak melakukan serangan kembali. Sedangkan Pendeta Pohaji tampak sedikit bergetar tubuhnya. Tampak darah menetes keluar dari sudut bibirnya.
“Hhh! Ilmu perempuan ini benar-benar maju pesat!” desis Pendeta Pohaji dalam hati.
Dengan punggung tangannya, pendeta tua itu menyeka darah yang menetes di sudut bibir. Hampir sulit dipercaya kalau Mintarsih masih tetap tegar, tanpa kurang suatu apa pun juga. Terlebih lagi, wanita itu kini sudah kembali siap hendak menyerang lagi.
“Kau orang pertama yang harus mampus di tanganku, Pohaji. Bersiaplah...! Hiyaaat...!”
Mintarsih kembali meluruk deras menerjang Pendeta Pohaji. Kedua tangannya merentang lurus ke depan dengan jari-jari tangan terkembang lebar agak tertekuk ke depan. Tampak jelas kalau ujung jari tangan perempuan itu berwarna merah bagai terbakar.
“Hap!”
Pendeta Pohaji cepat melompat ke samping dua tindak. Seketika tubuhnya ditarik miring ke kanan, hingga doyong seperti pohon yang hampir tumbang. Maka tangan Mintarsih lewat sedikit di samping tubuh laki-laki tua berkepala gundul itu. Namun tanpa diduga sama sekali, wanita cantik berbaju biru itu cepat melepaskan satu pukulan menggeledek, mengarah ke dada.
“Ih...!” Pendeta Pohaji terkejut bukan main. Bergegas tubuhnya melompat ke atas sejauh satu batang tombak. Tapi belum juga siap, Mintarsih sudah kembali menyerang cepat bagai kilat. Terpaksa Pendeta Pohaji melakukan salto ke udara. Dia berputaran beberapa kali, melewati kepala wanita itu. Lalu, dengan manis sekali kakinya mendarat di belakang Mintarsih.
“Yeaaah...!”
Begitu kakinya menjejak tanah, Pendeta Pohaji langsung memberi satu gedoran keras bertenaga dalam penuh ke arah punggung wanita itu.
“Hait..!”
Hanya sedikit saja Mintarsih memiringkan tubuh ke kiri, sehingga gedoran Pendeta Pohaji dapat dielak kan. Cepat wanita itu memutar tubuh seraya memberi satu tendangan berputar, lurus mengarah ke dada. Cara mengelak yang langsung diikuti serangan berputar begitu cepat, membuat Pendeta Pohaji terbeliak tidak menyangka.
Laki-laki tua itu tidak dapat berbuat apa-apa, karena tubuhnya sendiri menjorok ke depan. Dan dia tidak sempat lagi menarik tangannya yang merentang lurus ke depan. Akibatnya sepakan kaki Mintarsih tepat menghantam dada pendeta tua itu.
Des!
“Akh...!” Pendeta Pohaji memekik agak tertahan.
Tubuh tua berjubah kuning gading itu terdorong keras ke belakang sejauh dua batang tombak. Sebentar Pendeta Pohaji terhuyung-huyung sambil memegangi dadanya yang terhantam tendangan berputar Mintarsih tadi. Setelah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, dia cepat melakukan gerakan-gerakan ringan untuk mengatur pernapasan yang mendadak sesak.
“Huh!” Pendeta Pohaji mendengus keras, membuang napasnya untuk melonggarkan dada.
“Kau sudah terlalu tua, Pohaji. Gerakanmu lamban sekali,” ejek Mintarsih sambil tersenyum sinis.
“Hm.... Kau pun sudah tua, Mintarsih,” balas Pendeta Pohaji tidak kalah dinginnya.
“Ha ha ha...! Apa matamu sudah buta, Pohaji? Seorang pangeran pun akan terpikat oleh wajahku.”
“Orang lain boleh kau kelabui. Tapi, mata tuaku ini tidak bisa kau bodohi. Di balik kecantikanmu, kau adalah seorang nenek tua yang keriput!”
“Setan...! Hanya kau yang tahu siapa aku sebenarnya, Pohaji. Maka kau harus mampus! Hiyaaat..!”
Kata-kata Pendeta Pohaji yang terakhir, benar-benar membuat Mintarsih berang setengah mati. Kembali tubuhnya melompat menyerang Pendeta Pohaji. Namun kali ini, laki-laki tua berjubah kuning itu sudah siap menghadapinya. Dia tidak sudi lagi bermain-main, karena sudah menyadari kalau kepandaian Mintarsih kini jauh lebih tinggi dari yang pernah diketahui.
Pertarungan di tepi pantai itu pun kembali berlangsung sengit sekali. Masing-masing berusaha menjatuhkan. Jurus-jurus maut tingkat tinggi yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat pasir di tepi pantai itu bertebaran ke udara. Setiap kali pukulan yang dilontarkan, selalu mengandung dorongan angin kuat sekali. Bahkan beberapa batu karang yang terkena pukulan nyasar pun hancur berkeping-keping.
Sementara malam terus merambat semakin larut mendekati fajar. Namun pertarungan masih terus berlangsung sengit sekali. Dari jalannya pertarungan, tampak jelas kalau Mintarsih begitu bernafsu hendak menjatuhkan Pendeta Pohaji. Jurusnya selalu berganti cepat, begitu serangannya gagal. Kemudian dia langsung membuat serangan baru yang lebih dahsyat. Hal ini membuat Pendeta Pohaji kelihatan agak kewalahan menghadapi. Beberapa kali pukulan Mintarsih yang mengandung tenaga dalam tinggi hampir menghantam pendeta tua itu. Tapi sampai pertarungan lewat dari dua puluh jurus, belum ada yang terdesak. Hingga pada satu saat, tepat memasuki jurus yang ketiga puluh, mendadak saja....
“Awas kepala...!”
“Heh...?!”
Pendeta Pohaji tersentak kaget begitu tiba-tiba Mintarsih berteriak nyaring memperingatinya. Cepat kepalanya dirundukkan, tanpa melihat lebih dahulu. Namun rupanya seruan Mintarsih tadi hanya tipuan saja. Tepat ketika Pendeta Pohaji merundukkan kepalanya, mendadak saja Mintarsih memberi satu pukulan keras ke arah dada laki-laki tua itu.
Serangan yang dilakukan Mintarsih memang sungguh dahsyat dan tidak terduga. Memang, Pendeta Pohaji tadi menyangka kalau wanita ini akan menyerang bagian kepala. Dan sama sekali tidak disangka kalau itu merupakan tipuan untuk membuka daerah kosong.
Diegkh...!
“Akh...!” Pendeta Pohaji menjerit keras.
Pukulan yang dilepaskan Mintarsih tepat menghantam dada laki-laki tua berjubah kuning gading itu. Begitu kerasnya, sehingga membuat Pendeta Pohaji terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Sebongkah batu karang yang cukup besar hancur berkeping-keping begitu terlanda tubuh tua berjubah kuning gading itu.
“Hoek...!”
Pendeta Pohaji memuntahkan darah kental agak kehitaman. Dia mencoba bangkit berdiri. Namun belum juga sempurna berdirinya, mendadak saja satu serangan kembali datang.
“Hiyaaat..!”
Pendeta Pohaji hanya bisa terperangah saja. Tidak ada lagi kesempatan untuk menghindari serangan itu. Cepat Pendeta Pohaji menghentakkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan yang dilakukan Mintarsih. Tak dapat dielakkan lagi. Dua pasang telapak tangan yang terbuka lebar, seketika beradu keras hingga menimbulkan ledakan dahsyat luar biasa.
Glarrr...!
“Akh...!” lagi-lagi Pendeta Pohaji memekik keras agak tertahan.
Untuk kedua kalinya tubuh tua berjubah kuning gading itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Beberapa kali dia bergulingan di atas pasir yang dingin membekukan. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Setelah menyemburkan darah agak kehitaman, Pendeta Pohaji berusaha bangkit berdiri. Dan belum lagi laki-laki tua berjubah kuning itu bisa berdiri tegak, Mintarsih sudah kembali melompat seraya melontarkan dua pukulan keras bertenaga dalam tinggi secara beruntun. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan, sehingga Pendeta Pohaji tidak sempat lagi menghindar. Dan…
“Yeaaah....!”
Dieghk!
Prak!
“Aaa...!” Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar hampir bersamaan dengan terdengarnya suara tulang yang berderak patah, tepat ketika kedua telapak tangan Mintarsih mengepruk kepala gundul itu.
“Hih!”
Dengan tangan masih berada di kepala Pendeta Pohaji, Mintarsih menggenjot tubuhnya. Maka, kini kedua kakinya berada di atas, dan tangannya tetap berada di kepala laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
Bres!
“Akh...!” lagi-lagi Pendeta Pohaji menjerit Tubuhnya amblas, masuk ke dalam pasir sampai ke pinggang. Sementara, kepalanya terus mengucurkan darah segar. Mintarsih melentingkan tubuh ke udara, lalu berputaran dua kali. Manis sekali kakinya menjejak tepat sekitar tiga langkah di depan Pendeta Pohaji.
“Ha ha ha...!” Mintarsih tertawa terbahak-bahak melihat lawannya sudah tidak berdaya lagi.
Dengan setengah tubuh terbenam, Pendeta Pohaji memang tidak mungkin melakukan sesuatu lagi. Terlebih, kepalanya sudah pecah. Darah tampak semakin banyak bercucuran dari kepala yang pecah akibat terkena keprukan tangan halus Mintarsih.
“Mampus kau, Pohaji! Hiyaaat...!”
Bet!
Bagaikan kilat, Mintarsih mengibaskan tangan ke arah leher Pendeta Pohaji. Begitu cepatnya kibasan tangan wanita itu, sehingga Pendeta Pohaji tidak mampu lagi menghindar. Dan....
Cras!
Tangan Mintarsih yang tajamnya melebihi mata pedang begitu dahsyat menebas leher Pendeta Pohaji hingga langsung terpenggal buntung. Darah seketaka muncrat dari leher yang buntung tanpa kepala lagi. Sedangkan kepalanya menggelinding di tanah berpasir putih.
“Ha ha ha...!”

***

53. Pendekar Rajawali Sakti : Jaringan HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang