BAGIAN 5

651 28 0
                                    

Pagi-pagi sekali Rangga, Pandan Wangi, dan Cempaka sudah meninggalkan rumah penginapan yang hanya satu-satunya di Desa Batu Ceper. Mereka menunggang kuda menuju Kotaraja Karang Setra. Dari Desa Batu Ceper ini, mereka harus merintasi Rimba Tengkorak. Sebuah hutan yang selalu dianggap angker oleh penduduk desa-desa sekitar hutan itu.
Walaupun ada jalan lain, tapi itu harus memutar dan memakan waktu yang cukup panjang. Mereka berkuda demikian cepat setelah keluar dari Desa Batu Ceper. Dan kini Rimba Tengkorak sudah menghadang di depan. Hutan yang begitu lebat, dan tampak angker sekali. Tapi semua itu tidak membuat gentar hati ketiga anak muda yang terus memacu kuda dengan kecepatan tinggi. Namun begitu memasuki hutan itu, mendadak saja....
“Berhenti dulu...!” seru Rangga keras.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat dari atas punggung kudanya. Begitu indah dan ringan gerakan pemuda berbaju rompi putih itu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat manis sekali di atas tanah berumput. Pandan Wangi dan Cempaka bergegas berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang berjongkok sambil mengamati tanah berumput di depannya.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Pandan Wangi.
“Lihat,” Rangga menujuk ke tanah berumput di depannya.
“Darah...?!” desis Pandan Wangi dan Cempaka hampir bersamaan.
Darah yang melekat di rerumputan ini memang tidak begitu jelas terlihat, meskipun tampaknya masih baru. Darah itu menuju ke dalam hutan. Rangga bangkit berdiri, lalu mengayunkan kakinya perlahan mengikuti ceceran darah yang melekat di rerumputan. Matanya begitu tajam tidak berkedip, mengamati ceceran darah itu.
Bukk...!
“Heh...?!”
Rangga tersentak kaget, dan langsung melompat ke belakang dua tindak ketika tiba-tiba saja dari atas jatuh sebuah benda hitam bercampur putih. Bukan hanya Rangga, tapi Cempaka dan Pandan Wangi pun tersentak kaget. Lebih terkejut lagi, ternyata benda hitam bercampur putih itu adalah seekor kera besar yang tidak lagi memiliki kepala. Tampak darah mengucur dari lehernya yang buntung.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Rangga melesat ke angkasa, lalu tangan kananya bergerak cepat mengibas mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti membabat batang pohon yang tinggi itu.
Kraaak...!
Bruk!
Tepat saat potongan pohon itu jatuh, berkelebat sebuah bayangan dari puncak pohon yang terbabat buntung itu. Tepat ketika bayangan itu mendarat di tanah berumput, Rangga juga menjejakkan kakinya tanpa bersuara sedikit pun. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut ketika di depannya kini berdiri seseorang yang mengenakan baju warna biru terang.
Dari sosok tubuh yang ramping, sudah dapat dipastikan kalau orang itu adalah wanita. Tak terlihat sebuah senjata pun melekat di tubuhnya Seluruh wajahnya tertutup selembar kain biru. Hanya sepasang bola matanya saja yang terlihat menyorot tajam ke arah Rangga. Dia berdiri tegak sambil berkacak pinggang. Sikapnya begitu angkuh dan menantang.
“Nisanak, apa maksudmu mencegah langkah kami?” tanya Rangga, mencoba bersikap ramah.
“Aku ingin membunuhmu, Pendekar Rajawali Sakti!” sahut wanita berbaju biru itu dingin.
Suaranya terdengar agak parau dan berat sekali, namun Rangga tahu kalau suara wanita ini dibuat-buat agar terdengar garang. Wanita yang wajahnya tertutup kain biru itu, melirik Cempaka dan Pandan Wangi yang berada sekitar lima batang tombak di belakang Rangga. Dan wanita bercadar itu kembali memusatkan perhatiannya pada Rangga.
“Bersiaplah untuk mati, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!”
“Hei...! Tunggu...!” sentak Rangga. Tapi wanita bercadar biru itu sudah keburu melompat menyerang. Cepat sekali dia melakukan serangan, sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti terperangah. Namun hanya sesaat saja, karena tubuhnya cepat dimiringkan ke kanan begitu satu pukulan yang mengandung seluruh pengerahan tenaga dalam meluncur deras ke arah dada.
Pukulan yang dilepaskan wanita bercadar biru itu sedikit saja lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebelum Rangga sempat menegakkan kembali tubuhnya, wanita itu sudah kembali menyerang. Kaki kirinya terayun cepat dengan lutut tertekuk. Tendangan itu tertuju lurus ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti.
“Uts! Hup...!”
Bergegas Rangga melompat mundur dua tindak, menghindari serangan yang begitu cepat luar biasa. Tapi wanita bercadar biru itu seakan-akan tidak ingin memberikan kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti untuk melakukan serangan. Kembali diserangnya pemuda berbaju rompi putih itu dengan dahsyat dan ganas sekali.
Pertarungan baru berjalan sebentar saja, tapi daerah sekitar pertarungan sudah tidak karuan lagi bentuknya. Karena setiap pukulan maupun tendangan yang tidak menemui sasaran, membuat pepohonan bertumbangan dan batu-batu hancur berkeping-keping. Sementara di tempat lain yang cukup aman Cempaka dan Pandan Wangi hanya dapat menyaksikan saja. Rasanya memang tidak mungkin melakukan sesuatu untuk mengeroyok wanita bercadar biru. Dan lagi, Rangga juga tidak akan suka jika pertarungannya dicampuri orang lain.
“Lepas kepalamu. Hih...!” seru wanita bercadar biru itu tiba-tiba.
Dan seketika itu juga tangan kanannya dikibaskan cepat ke arah leher Rangga. Namun manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menarik kepala ke belakang sehingga tebasan tangan wanita bercadar biru itu hanya lewat sedikit di depan tenggorokan.
“Hup...!” Rangga cepat melompat ke belakang sejauh batang tombak.
“Tunggu...!” sentak Rangga seraya menghentakkan tangan kanan ke depan.
Wanita bercadar biru itu tak jadi melakukan serangan, dan hanya berdiri tegak berkacak pinggang. Tatapan matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
“Kau menggunakan jurus 'Pukulan Tapak Maut'. Apa hubunganmu dengan Pendeta Gurusinga?” tanya Rangga, mengenali jurus yang tadi dikerahkan wanita bercadar biru itu.
“Dia kakakku!” dengus wanita bercadar biru itu ketus.
“Kakakmu...? Lalu, siapa kau sebenarnya?” tanya Rangga lagi.
“Untuk apa ingin tahu? Aku hanya ingin agar kau mati, Pendekar Rajawali Sakti!”
Setelah berkata demikian, wanita bercadar biru itu langsung melompat cepat menyerang kembali. Namun kali ini semakin dahsyat dan berbahaya sekali. Jurus 'Pukulan Tapak Maut' yang dikenali Rangga ketika bertarung melawan Pendeta Gurusinga, membuatnya harus berhati-hati menghadapinya. Kelengahan sedikit saja, akibatnya sangat berbahaya. Dan Pendekar Rajawali Sakti sudah merasakan ketika bertarung melawan Pendeta Gurusinga.
Jurus 'Pukulan Tapak Maut' banyak mengandung gerak tipu yang dapat membuyarkan perhatian lawan dalam bertarung. Apa lagi kedua telapak tangan pemilik jurus itu berbahaya sekali. Bisa tajam melebihi tajamnya mata pedang. Juga, pukulannya dapat menghancurkan sebongkah batu cadas sebesar kerbau. Dan ini sangat disadari Rangga, sehingga harus menghadapinya dengan hati-hati sekali. Dia selalu memperhatkan setiap gerak yang dilakukan wanita bercadar biru itu.
“Pandan, Cempaka...! Cepat kalian pergi. Nanti aku menyusul!” teriak Rangga menyuruh kedua gadis yang bersamanya meninggalkan tempat ini.
Rangga tahu, jurus 'Pukulan Tapak Maut' sangat berbahaya. Maka Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin kedua gadis itu menjadi sasaran dari wanita bercadar biru ini. Dan memang, kalau tidak bisa mengenai sasaran yang dituju dalam dua puluh gebrakan, wanita itu akan mencari sasaran lain secara membabi buta. Dan memang itu salah satu sifat jurus 'Pukulan Tapak Maut'. Sifat yang sangat tidak terpuji, dan sukar ditolak jika sudah merasuk dalam jiwa pemakainya.
Cempaka yang sudah tahu bahayanya jurus 'Pukulan Tapak Maut', segera menarik tangan Pandan Wangi. Mereka menjauh, lalu melompat ke atas punggung kuda masing-masing.
“Ayo kita tinggalkan tempat ini,” ajak Cempaka.
“Bagaimana dengan Kakang Rangga?” tanya Pandan Wangi.
“Dia pasti bisa mengatasi,” sahut Cempaka.
“Tapi, kenapa Kakang Rangga meminta kita pergi?” tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
“Nanti kujelaskan. Yang penting sekarang kita harus menjauhi tempat ini dulu.”
Pandan Wangi yang sudah berpengalaman dalam mengarungi kancah rimba persilatan, tidak dapat membantah lagi. Apalagi, yang menyuruhnya pergi adalah Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun ada sedikit rasa khawatir di hatinya, tapi diikutinya juga Cempaka. Sementara pertarungan antara Rangga melawan wanita bercadar biru itu semakin terlihat sengit. Sudah lebih dari lima belas gebrakan dari jurus 'Pukulan Tapak Maut', tapi Rangga masih mampu bertahan.
“Setan kau, Rangga! Hiya! Hiya! Hiyaaa...!” wanita bercadar biru itu tampak gusar, karena belum juga mampu mendesak lawannya.
Wanita itu semakin sering melontarkan pukulan-pukulan mautnya, sehingga Rangga terpaksa harus berpelantingan menghindari. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka sudah begitu jauh, bahkan sudah tidak terlihat lagi. Rangga merasa lega saat mengetahui kalau kedua gadis itu sudah pergi.
“Maaf, aku tidak ada waktu untuk melayanimu. Hiyaaa...!”
Setelah berkata demikian, Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu bagaikan kilat, dia melesat pergi. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah tidak terlihat lagi. Bahkan wanita bercadar biru itu sendiri belum sempat menyadari.
“Hei...?!” seru wanita bercadar biru itu terkejut. Tapi dia tidak mampu lagi melakukan sesuatu, karena Rangga sudah menghilang entah ke mana. Tampak kedua bola matanya berkilatan menyimpan amarah yang meledak-ledak. Kedua tangannya terkepal, hingga otot-ototnya bersembulan.
“Keparat..! Hiyaaat..!”
Wanita bercadar biru itu melampiaskan kemarahan dengan melepaskan pukulan-pukulan maut ke arah batu dan pepohonan. Suara-suara ledakan terdengar menggelegar saling susul. Entah berapa puluh pohon dan bebatuan hancur berkeping-keping terhantam pukulan wanita itu. Tingkahnya baru dihenti setelah sekitarnya rata dengan tanah.
Wanita itu berdiri tegak memandang ke arah kepergian Pendekar Rajawali Sakti tadi. Sambil mendengus kencang, cadar yang menutupi wajahnya dilepaskan. Tampak seraut wajah cantik terlihat begitu cadar tipis berwarna biru terlepas. Namun dari kecantikan wajahnya, tersirat suatu gambaran kemarahan dari dendam yang bersemayam lekat dalam hatinya.
“Pengecut..! Tapi aku tidak akan berhenti sebelum kau mampus di tanganku, Rangga! Apa pun akan kulakukan, dan kau akan merasakan betapa sengsaranya hidup dalam penderitaan,” dengus wanita itu dingin.
Sebentar wanita itu berdiri mematung, lalu perlahan-lahan mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Namun belum begitu lama melangkah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat menghadang. Wanita berbaju biru itu cepat menghentikan ayunan langkahnya. Sorot matanya langsung tajam begitu di depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah hitam. Dia memegang tongkat berbentuk ular kobra di tangan kanannya.
“Nenek Jamping... Ada apa kau datang ke sini?” dengus wanita itu, agak ketus nada suaranya.
“Kasihan sekali. Seharusnya kau memberitahuku dulu bila ingin keluar dari pertapaan,” ujar perempuan tua berjubah hitam yang dipanggil Nenek Jamping.
“Ini urusanku sendiri, Nek. Sebaiknya Nenek jangan ikut campur,” ujar wanita cantik berbaju biru itu ketus.
“Kau muridku, Mintarsih. Sudah sepatutnya kau memberi tahu bila ingin keluar dari pertapaan,” tetap kalem nada suara perempuan tua ini, mengulangi perkataannya.
“Hhh! Kalau memberitahu dulu, kau pasti tidak akan mengizinkan.”
“He he he...! Kau belum pernah mencobanya, bukan? Kapan kau pernah mengatakannya padaku?”
Wanita cantik berbaju biru yang ternyata adalah Mintarsih, hanya diam saja. Memang diakui, selama puluhan tahun bersama perempuan tua ini, belum pernah sekali pun keinginannya diutarakan. Bahkan keinginannya yang terbesar pun, tidak pernah dikatakan. Itu sebabnya, kenapa wanita itu nekat meninggalkan pertapaan di Puncak Gunung Batur Gamping. Suatu tempat yang sangat terpencil dan jauh dari pemukiman penduduk.
Di puncak Gunung Batur Gamping itulah dirinya ditempa puluhan tahun oleh Nenek Jamping. Bahkan meskipun usia sebenarnya hampir sebaya dengan perempuan tua ini, tapi masih terlihat cantik. Itu semua berkat ramuan-ramuan yang selalu diminumnya dari Nenek Jamping. Mintarsih dijadikan kelinci percobaan, dan hasilnya sungguh mengagumkan. Wajah dan bentuk tubuhnya tetap muda seperti gadis saja. Padahal, usianya sudah di atas kepala enam.
“Aku tahu, kau menyimpan dendam yang sangat besar, Mintarsih. Tapi, apakah keinginanmu untuk membalas dendam tidak bisa ditunda? Aku khawatir pembalasanmu ini tidak mencapai hasil yang diinginkan,” ujar Nenek Jamping.
“Aku tidak ingin berlarut-larut, Nek. Sampai saat ini, apa yang kurencanakan harus bisa berjalan lancar,” sahut Mintarsih.
“Dengan memperalat murid Pendeta Pohaji...?" Nenek Jamping menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa kau yakin, anak muda yang masih hijau begitu mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti? Ilmu yang dimilikinya masih terlalu jauh, Mintarsih. Bahkan berada jauh di bawahmu. Malah kau sendiri belum tentu mampu menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti. Kusarankan, sebaiknya tunda dulu pembalasan dendam ini, Mintarsih. Masih banyak yang harus dipersiapkan. Dan kau belum betul-betul siap untul pekerjaan ini. Percayalah padaku, Mintarsih. Suatu saat kelak, pembalasanmu akan berjalan lebih baik.”
“Rasanya tidak mungkin dihentikan, Nek. Musuh bebuyutanku sudah berada di depan mata, dan tidak mungkin kulepaskan kembali,” Mintarsih tetap menolak.
“Aku yakin, kakakmu, Pendeta Gurusinga tidak menyetujui semua tindakanmu sekarang ini. Akan sia-sia saja, Mintarsih. Dan kau sendiri akan mengalami kekecewaan besar. Bahkan kakakmu di alam sana akan kecewa kalau kau gagal.”
“Kalaupun gagal, aku akan mencobanya terus, Nek,” ujar Mintarsih mantap.
“Itu kalau kau tidak tewas, Mintarsih. Lalu kalau kau sampai tewas, siapa yang meneruskan...?”
Mintarsih belum menjawab. “Pokoknya aku tidak akan berhenti, Nek. Kau sudi membantu atau tidak, itu urusanmu!” agak tinggi nada suara Mintarsih.
“Kau sama keras kepalanya dengan Pendeta Gurusinga. Dulu, aku juga sudah memperingatkan padanya agar tidak ikut mencampuri urusan di Karang Setra. Tapi dia keras kepala, dan akhirnya tewas di tangan pewaris tunggal Karang Setra. Dan sekarang, kau juga akan berhadapan dengannya. Hhh...,” pelan sekali suara Nenek Jamping, bernada mengeluh.
“Maaf, Nek. Bukannya ingin membuat kau sakit hati. Semua yang kulakukan ini demi kau juga, Nek. Demi keluarga kita,” ujar Mintarsih, melemah suaranya.
Nenek Jamping terdiam. Tubuhnya diputar lalu melangkah perlahan sambil menundukkan kepala. Mintarsih memperhatikan dengan mata agak menyipit. Dia tahu kalau perempuan tua itu pasti terkenang pada suami dan anak-anaknya. Suaminya tewas di tiang gantungan, karena dihukum oleh Adipata Arya Permadi. Saat itu Karang Setra belum tumbuh menjadi sebuah kerajaan seperti sekarang ini, dan masih berbentuk sebuah kadipaten. Yang menjadi adipati waktu itu adalah ayah kandung Rangga si Pendekar Rajawali Sakti, yang bernama Arya Permadi.
Sementara itu, anak lelaki Nenek Jamping satu-satunya, juga tewas di tangan adipati itu. Dia telah menantang Adipati Arya Permadi untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, suami Nenek Jamping. Tapi kepandaian yang dimilikinya masih rendah, sehingga harus tewas dalam pertempuran yang jujur. Mendapat kenyataan ini, kemudian Nenek Jamping meninggalkan Karang Setra, dan menyepi di Puncak Gunung Batur Gamping. Di situlah semua ilmu-ilmu yang dimilikinya diperdalam. Hingga pada suatu saat, mereka bertemu.
Mintarsih pada waktu terjadi kemelut di Karang Setra ikut pula membantu kakaknya, Pendeta Gurusinga. Dia ikut bertarung melawan prajurit-prajurit Karang Setra, sehingga terluka sangat parah. Dalam keadaan luka parah, Mintarsih pergi ke Puncak Gunung Batur Gamping. Di sana, dia berjumpa Nenek Jamping yang akhirnya cepat membantunya.
Sebagai ungkapan balas jasa, Mintarsih bersedia menjadi kelinci percobaan perempuan tua itu. Maka kemudian dia harus tinggal selama bertahun-tahun di puncak gunung yang sunyi dan terpencil itu. Ketika mendapat kabar kalau Pendeta Gurusinga tewas, Mintarsih semakin meluap-luap rasa bencinya terhadap Karang Setra. Untuk itu dia berkewajiban membalas kematian kakaknya itu kepada Pendekar Rajawali Sakti, penguasa Karang Setra sekarang ini
Di antara Mintarsih dan Nenek Jamping, memang terjadi persamaan nasib. Hanya bedanya, Nenek Jamping mempunyai dendam pada Arya Permadi, ayah Rangga. Sedangkan Mintarsih mempunyai dendam pada Rangga, atau Pendekar Rajawali Sakti. Hubungan dendam yang saling terkait ini membentuk jaringan-jaringan yang akan menjerat orang yang terlibat di dalamnya. Sebuah jaringan hitam yang akan menjerat siapa saja. Bahkan orang yang tak terlibat sekalipun, akan ikut terjerat. Seperti layaknya Sangkala.
Pemuda itu telah terpedaya oleh Mintarsih, dengan menciptakan dendam. Kematian Pendeta Pohaji oleh Mintarsih dikatakan oleh wanita itu atas perbuatan Pandan Wangi. Sedangkan Pandan Wangi adalah kekasih Rangga. Sebagai murid Pendeta Pohaji, tentu saja Sangkala harus membalas kematian itu. Apalagi, Mintarsih telah membuka rahasia kalau ayah dan ibu Sangkala juga telah dihukum mati oleh Pendekar Rajawali Sakti karena mereka terlibat dalam makar.
Maka semakin lengkaplah dendam-dendam yang jalin menjadi sebuah jaringan hitam di Kerajaan Kara Setra. Bagi Nenek Jamping dan Mintarsih, Karang Setra merupakan musuh utama yang harus dihancurkan. Berbagai macam cara telah ditempuh, tapi tak ada hasil yang memuaskan. Bahkan, mereka banyak kehilangan anggota keluarga. Apakah sekarang juga harus gagal lagi...?
“Nek...! Mau ke mana kau...?” teriak Mintarsih seraya berlari mengejar perempuan tua yang sudah berjalan cukup jauh.
“Aku hanya akan menenangkan pikiran,” sahut Nenek Jamping sambil terus melangkah perlahan.
Mintarsih mensejajarkan langkahnya di samping kanan perempuan tua itu. “Maafkan atas kekasaranku tadi, Nek,” ucap Mintarsih.
“Tidak mengapa. Malah, seharusnya aku bangga. Hhh..., sudahlah. Kita berdua memang sudah bertekad untuk menghancurkan Karang Setra. Hanya tinggal kita berdua, Mintarsih.”
“Jadi Nenek menyetujui apa yang kulakukan?”
“Sebenarnya tidak, bila dilakukan sekarang. Tapi kau sudah melangkah cukup jauh. Aku tidak ingin mengecewakanmu, Mintarsih.”
“Tapi aku telah mengecewakanmu, Nek.”
“Kekecewaanku terobati dengan tujuanmu.”
“Terima kasih, Nek. Aku janji, tidak akan mengecewakanmu lagi.”
Nenek Jamping tersenyum. Mereka terus berjalan menembus lebatnya Rimba Tengkorak. Tanpa disadari, arah yang dituju, justru Karang Setra.

***

Sementara itu, Rangga yang meninggalkan pertarungan sudah sangat jauh berlari. Larinya dihentikan ketika tiba di sebuah sungai kecil, namun berair sangat jernih. Pendekar Rajawali Sakti membasuh muka dan angannya. Dibersihkannya kotoran yang melekat akibat pertarungannya tadi dengan wanita bercadar biru. Dia bangkit berdiri ketika telinganya mendengar ringkikan kuda.
Perlahan Rangga memutar tubuhnya. Tampak dari kejauhan terlihat debu mengepul di udara. Kemudian terdengar suara kuda yang dipacu cepat. Tak berapa lama, terlihat dua ekor kuda dipacu cepat menuju ke arah sungai kecil itu. Rangga tersenyum begitu mengenali penunggang kuda yang ternyata Pandan Wangi dan Cempaka.
Kedua gadis itu langsung melompat turun dari punggung kuda setelah dekat dengan Rangga. Mereka bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Sementara kuda-kuda mereka menghilangkan dahaga dengan mereguk air sungai sebanyak-banyaknya.
“Mana kudamu, Kakang?” tanya Pandan Wai langsung.
“Mungkin tertinggal,” sahut Rangga seenaknya.
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak memikirkan kudanya. Kalau dalam keadaan terpaksa kudanya memang selalu ditinggalkan begitu saja. Rangga tahu, tidak lama lagi kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu pasti akan datang menyusul. Dan dugaannya memang tepat. Belum lagi Cempaka atau Pandan Wangi membuka mulutnya, terdengar ringkikan yang disusul munculnya seekor kuda hitam dari dalam semak belukar. Kuda hitam itu langsung menghampiri Rangga.
“Sukar mencari kuda seperti ini, Kakang,” puji Pandan Wangi, tulus.
Rangga hanya tersenyum saja, seraya menepuk leher dan bokong kuda hitam itu tiga kali. Maka kuda hitam itu segera melenggang mendekati kuda-kuda yang kini tengah merumput di pinggir sungai. Tampak sekali perbedaan ketiga ekor kuda itu. Jelas Dewa Bayu lebih tinggi dan gagah dari yang lainnya.
“Bagaimana pertarunganmu, Kakang? Apa sudah tahu, siapa wanita itu?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Aku tidak tahu siapa dia. Tapi yang jelas, dia mempunyai jurus-jurus yang sama dengan Pendeta Gurusinga,” sahut Rangga.
“Pendeta Gurusinga...?” Cempaka terbeliak.
“Kau tahu siapa dia, Cempaka?” tanya Pandan Wangi yang tidak mengenal orang yang bernama Pendeta Gurusinga.
“Tentu saja aku tahu,” sahut Cempaka. “Kakang! Apa tidak mungkin dia muridnya, atau barangkali anaknya?” Cempaka menduga-duga.
“Dia mengaku adiknya,” sahut Rangga.
“Adiknya...? Rasanya Pendeta Gurusinga tidak punya adik, Kakang.”
“Aku yakin Ki Lintuk bisa menjelaskannya, Cempaka.”
“Benar, Kakang. Aku yakin kalau Ki Lintuk mengetahui semua ini. Dia tidak pernah meninggalkan Karang Setra, semasa masih sebuah kadipaten. Bahkan selagi masih menjadi sebuah desa, dia sudah tinggal di sana.”
“Kalau begitu, kenapa tidak segera saja ke Karang Setra...?” selak Pandan Wangi.
“Istirahat saja dulu di sini, Pandan. Besok saja kita lanjutkan perjalanan,” ujar Rangga.
“Masih terlalu siang, Kakang. Aku yakin, masih cukup waktu untuk ke Karang Setra. Senja nanti, pasti sudah sampai di perbatasan,” serga Pandan Wangi lagi.
“Bagaimana, Cempaka?” Rangga meminta pendapat adiknya.
“Aku rasa, Kak Pandan benar, Kakang,” sahut Cempaka. “Hanya setengah hari perjalanan, dan ini masih terlalu siang.”
Rangga tersenyum. Sebenarnya tadi Pendekar Rajawali Sakti hanya menguji saja. Dan ternyata, kedua gadis ini begitu bersemangat dan tidak ingin berlarut-larut. Tak lama kemudian, mereka bertiga sudah berkuda lagi menuju Karang Setra yang tinggal setengah hari lagi perjalanan menunggang kuda.

***

53. Pendekar Rajawali Sakti : Jaringan HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang