Seperti yang telah diperkirakan Pandan Wangi, mereka tiba di gerbang perbatasan Kotaraja Karang Setra tepat ketika matahari tenggelam di balik belahan bumi sebelah Barat. Mereka terus memacu kuda memasuki kota yang selalu ramai dan tidak pernah sepi. Namun mereka mengendalikan kuda tidak secepat tadi, karena tidak ingin menarik perhatian penduduk yang memadati jalan.
Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi, dan Cempaka terus mengendalikan kuda menuju Istana Karang Setra. Tak ada seorang pun yang mengenali, karena mereka berpakaian bak layaknya orang persilatan. Dan memang, seluruh rakyat Karang Setra hanya mengenali, bila rajanya berpakaian kerajaan. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengenali Rangga dalam keadaan seperti ini. Bahkan tidak semua prajurit mengetahuinya.
Malah, dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana pun tidak mengenalinya. Mereka hanya mengenal Cempaka. Bahkan kedua prajurit itu memandang curiga terhadap Rangga dan Pandan Wangi. Tapi mereka tidak bisa bertanya. Mungkin karena Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi datang bersama Cempaka.
“Mereka tidak mengenalmu, Kakang,” bisik Cempaka pelan setelah melewati pintu gerbang istana.
“Itu lebih baik,” sahut Rangga sambil tersenyum.
“Soalnya Kakang kalau pergi selalu lewat belakang, sih.”
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang juga tersenyum saja. Memang, Rangga dan Pandan Wangi tidak dikenal di lingkungan istana ini. Dan itu memang disengaja, karena tidak ingin semua orang tahu siapa mereka sebenarnya.
Tiga orang prajurit bergegas menghampiri ketika Rangga, Cempaka, dan Pandan Wangi tiba di tangga masuk istana. Mereka turun dari kuda masing-masing. Ketiga prajurit itu membungkuk, memberi hormat pada Cempaka. Sama sekali, Rangga dan Pandan Wangi tidak dipedulikan. Ketiga prajurit itu membawa kuda-kuda itu ke tempat penambatan kuda.
“Kau masih ingat seluk-beluk istana ini, Kakang?” tanya Cempaka.
“Tidak pernah kulupakan, Cempaka. Selama belum ada perubahan yang mendalam,” sahut Rangga.
“Sedikit pun tidak berubah.”
Mereka terus berjalan menaiki anak-anak tangga, dan terus masuk ke dalam bangunan istana yang megah ini. Setiap pintu selalu dijaga prajurit, sedikitnya dua orang. Dan para prajurit itu selalu membungkuk memberi hormat pada Cempaka. Ketiga orang itu kemudian langsung menuju Balai Sema Agung.
Danupaksi dan para pembesar istana yang tengah berada di ruangan itu terkejut melihat kedatangan Cempaka bersama Rangga dan Pandan Wangi. Danupaksi bergegas menyongsong. Dia kemudian berlutut memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak dengan di depan hidung, tepat di depan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti menepuk pundak adik tirinya ini, dan memintanya bangun. Semua orang yang berada di ruangan itu memberi hormat. Mereka tahu, kalau penguasa kerajaan ini sudah hadir.
“Kami semua selalu menunggu di sini, Kanda Prabu,” ujar Danupaksi.
“Apa sebenarnya yang terjadi, Danupaksi?” tanya Rangga dengan bibir menyunggingkan senyum.
Pendekar Rajawali Sakti selalu merasa jengah bila adik-adiknya memanggil dengan sebutan Kanda Prabu. Dan itu memang sudah menjadi kewajiban Cempaka dan Danupaksi untuk menyebut Rangga dengan sebutan itu. Tapi Rangga tidak pernah suka disebut begitu jika tidak di depan para pembesar. Pendekar Rajawali Sakti lebih senang dipanggil kakang saja.
“Sebenarnya tidak ada kegawatan di sini, Kanda Prabu. Tapi kami semua selalu waspada,” ujar Danupaksi.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Pandangannya beredar ke sekeliling, merayapi para pembesar yang berada di sekitarnya. Sikap mereka hormat. Semua kepala tertunduk menekuri lantai. Pandangan Rangga tertumbuk pada Ki Lintuk, laki-laki tua yang mengenakan jubah putih panjang tongkat kayu berkeluk tergenggam di tangan.
“Kalian semua boleh beristirahat,” ujar Rangga. Nada suaranya begitu berwibawa.
Semua orang membungkuk dan merapatkan dua tangan di depan hidung. Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka bergerak meninggalkan ruangan ini.
“Ki Lintuk...,” panggil Rangga ketika melihat Ki Lintuk beranjak bangun hendak pergi.
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Ki Untuk seraya memberi hormat.
“Kau tetap di sini.”
“Hamba, Gusti Prabu.”
Dengan sikap agung, Pendekar Rajawali Sakti duduk di sebuah kursi berukir yang sangat indah. Cempaka, Danupaksi, dan Pandan Wangi mengambil tempat di samping Raja Karang Setra itu. Sedangkan Ki Lintuk tetap berdiri di depan mereka.
“Duduklah di sini, Ki Lintuk,” ujar Rangga seraya menepuk kursi di sebelahnya.
“Maaf, Gusti Prabu. Hamba...”
“Di sini aku memang raja. Tapi aku tidak pernah melupakan sejarah, Ki Lintuk. Duduklah di sini, dan jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi,” ujar Rangga lembut
Ki Lintuk tersenyum tersipu. Memang di ruangan ini tidak ada pembesar lain lagi, kecuali Danupaksi dan Cempaka. Bahkan tak ada prajurit penjaga. Dengan sikap yang masih menujukkan rasa hormat, laki-laki tua yang sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun itu duduk di kursi yang diminta Rangga.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu, Ki,” ujar Rangga langsung.
“Tentang apa itu...?” tanya Ki Lintuk hampir lupa dengan permintaan Rangga untuk tidak memanggilnya dengan sebutan Gusti Prabu lagi.
“Pendeta Pohaji.”
Ki Lintuk memandang Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerti. Semua orang, baik patih, panglima, punggawa dan pembesar lain di istana ini memang sedang diliputi kewaspadaan atas kematian Pendeta Pohaji yang masih menjadi teka-teki bagi mereka semua. Dan sekarang Rangga ingin menanyakan sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa itu. Ki Lintuk hanya dapat menduga-duga saja tanpa mendapat jawaban pasti.
“Kakang, boleh aku bicara...?” selak Danupaksi.
“Silakan, Danupaksi,” sahut Rangga.
“Jika Kakang ingin menanyakan tentang kematian Pendeta Pohaji, terus terang, kami semua masih belum tahu tentang pembunuhnya. Semuanya masih teka-teki, penuh kabut kegelapan,” ujar Danupaksi mendahului.
“Ya, aku tahu. Cempaka sudah banyak cerita,” sambut Rangga seraya tersenyum.
“Lalu, apa yang Kakang ingin ketahui lagi?” tanya Danupaksi.
“Masa lalu Pendeta Pohaji,” sahut Rangga seraya menatap Ki Lintuk lagi.
“Maksud, Kakang...?” Danupaksi jadi tidak mengerti.
Apa yang sejak tadi menjadi dugaan di kepalanya, ternyata tidak terbukti sama sekali. Dan selama ini Danupaksi tidak pernah memikirkan tentang masa lalu Pendeta Pohaji. Tapi masa lalu itulah yang ingin diketahui Rangga. Danupaksi hanya bisa bertanya dalam hati, apa hubungannya dengan masa lalu...? Mungkinkah dari masa lalu bisa terungkap, siapa pembunuh Pendeta Pohaji...?
Bukan hanya Danupaksi yang keheranan atas pertanyaan Rangga. Bahkan Ki Lintuk, orang yang dianggap tertua merasa heran mendengar pertanyaan itu. Hingga matanya memandangi Rangga begitu dalam. Entah, apa yang ada di kepala Ki Lintuk saat ini. Mungkin sedang menduga-duga, apa sebenarnya yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti hingga menanyakan tentang masa lalu Pendeta Pohaji.
“Yang aku tahu, Pendeta Pohaji sudah lama mengabdi di Karang Setra, Anakku. Beliau sudah mengabdi sejak ayahandamu kecil,” jelas Ki Lintuk membeberkan apa yang diketahui tentang diri Pendeta Pohaji.
“Ki Lintuk juga sudah mengabdi pada ayah sejak dulu, kan...?” tanya Cempaka yang sejak tadi diam saja.
“Benar. Tapi, lebih lama tiga tahun daripada Pendeta Pohaji”
“Dan selama itu, apakah Pendeta Pohaji mempunyai musuh?” tanya Rangga lagi.
“Musuh...?” Ki Lintuk tampak kebingungan. “Rasanya..., beliau tidak punya musuh seorang pun juga. Bahkan ketika Gusti Wira Permadi berkuasa di Karang Setra dia memilih tetap berada di istana ini. Padahal, aku dan yang lainnya mengundurkan diri. Kuakui, pandangannya memang luas. Dan dia tetap menjaga keutuhan istana ini, meskipun seharusnya ditinggalkan.”
“Tentang kehidupan pribadinya, Ki. Apakah dia pernah menikah, atau pernah mencintai seseorang?” desak Rangga lagi.
“Ya, pernah sekali. Tapi rasa cintanya bukan antara sepasang kekasih. Pendeta Pohaji mencintai seorang wanita yang dianggapnya adik. Tidak lebih dari itu. Tapi, wanita itu menganggapnya lain. Maka dia jadi membenci Pendeta Pohaji.”
“Siapa nama wanita itu, Ki?” tanya Pandan Wangi.
Ki Lintuk tidak langsung menjawab. Kening yang sudah berkerut, semakin dalam kerutannya saat berpikir keras. Ki Lintuk mencoba mengingat-ingat nama, wanita yang pernah mencintai Pendeta Pohaji. Namun, cintanya hanya dibalas dengan rasa kasih sayang sebagai saudara.
“Kalau tidak salah, namanya Mintarsih.... Ya benar. Mintarsih,” jelas Ki Lintuk.
“Mintarsih...,” gumam Rangga.
Sementara Cempaka dan Pandan Wangi saling berpandangan. Mereka jadi teringat wanita yang bertarung melawan Rangga di Rimba Tengkorak. Wanita itu mengenakan cadar biru, sehingga sukar dikenali wajahnya. Apakah wanita itu yang bernama Mintarsih...? Pikiran seperti itulah yang langsung tersirat di dalam kepala Cempaka dan Pandan Wangi. Namun kedua gadis itu hanya dapat bertanya, tanpa tahu jawabannya.
“Sebentar, Kakang...!” selak Danupaksi tiba-tiba.
Semua yang ada di ruangan Balai Sema Agung ini seketika menatap Danupaksi. Sedangkan yang ditatap seakan-akan sedang berpikir, atau mungkin sedang teringat sesuatu.
“Ada apa, Danupaksi?” tanya Rangga melihat Danupaksi hanya diam saja.
“Rasanya aku pernah mendengar nama itu, Kakang,” ujar Danupaksi
“Di mana kau mendengar nama itu, Danupaksi,” tanya Rangga lagi.
“Sangkala.... Ya...! Sangkala pernah bercerita kalau punya kekasih yang bernama Mintarsih. Dia ingin menceritakannya pada Pendeta Pohaji, tapi tidak berani. Dia takut kalau-kalau Pendeta Pohaji tidak menyetujui hubungannya,” ujar Danupaksi.
“Itu mustahil, Anakku Danupaksi,” bantah Ki Lintuk.
“Apanya yang mustahil, Ki...?” tanya Danupaksi tidak mengerti.
“Orang yang bernama Mintarsih itu sudah hidup puluhan tahun yang lalu. Sejak kau masih kecil, dia sudah menjadi gadis remaja. Dia meninggalkan Karang Setra setelah ayahnya dihukum gantung, karena keterlibatannya dalam usaha pemberontakan. Sedangkan kakak laki-lakinya yang bernama Pendeta Gurusinga tewas dalam pertarungan melawan Gusti Rangga. Jadi kalaupun wanita itu kembali lagi, pasti sudah sangat tua. Setua aku ini.”
“Tapi Sangkala menyebutkan nama itu, Ki Lintuk.”
“Mungkin saja namanya saja,” Ki Lintuk tetap tidak percaya.
“Aku rasa ada benarnya, Ki,” selak Cempaka. “Saat ini Sangkala sedang menuju Selatan. Aku menugaskan Patih Rakatala untuk membuntutinya.”
“Eh...! Untuk apa dia pergi ke Selatan...?” sentak Ki Lintuk terkejut.
“Kakang, bukankah kemarin ini kau berada di selatan?” tanya Danupaksi.
Saat itu, mendadak saja semuanya terdiam. Pikiran mereka kini jadi terpusat pada Sangkala yang tengah menuju daerah Selatan, seperti yang baru saja dituturkan Cempaka. Dan memang selama ini, Rangga berada di daerah Selatan bersama Pandan Wangi. Tapi hanya satu hari saja di sana. Selama ini Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan, dan baru kemarin menginap di Desa Baru Ceper.
Rangga juga bertanya-tanya, untuk apa Sangkala pergi ke Selatan? Padahal di sana tidak ada satu pun sanak keluarganya. Dan ini tentu saja membuat Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati. Cukup lama juga tidak ada yang membuka suara. Semua sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Dan beberapa kali mereka saling melempar pandang. Pada saat semua terdiam, mendadak saja...
“Hup...!”
Tiba-tiba Rangga melompat cepat bagaikan kilat, melewati kepala Danupaksi. Semua yang ada di ruangan ini jadi terkejut. Namun belum lagi keterkejutan mereka hilang, Rangga sudah kembali duduk di kursinya. Di tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti sudah tergenggam sebuah bungkusan kain putih yang kotor oleh tanah dan darah kering. Begitu bungkusan kain putih itu dibuka, semua mata jadi terbeliak lebar dengan mulut ternganga.
Rangga sendiri sampai terlonjak kaget. Kursi yang didudukinya terguling. Kedua matanya terbeliak menatap bungkusan kain yang sudah terbuka. Bungkusan kain itu ternyata berisi kepala Pendeta Pohaji!
“Biadab...!” desis Pandan Wangi geram.
Rangga bergegas membungkus kembali kain putih berisi kepala Pendeta Pohaji, lalu meletakkannya di atas meja kecil. Ki Lintuk membetulkan kembali kursi yang terguling. Untuk beberapa saat, tidak ada yang bicara.
“Kakang, dari mana kau dapatkan itu?” tanya Pandan Wangi setengah berbisik.
“Aku mencium bau yang lain, dan berasal dari langt-langit atap ruangan ini,” sahut Rangga perlahan.
“Siapa pun orangnya, perbuatan ini tidak bisa didiamkan lagi, Kakang,” celetuk Danupaksi. “Aku akan mengerahkan para prajurit untuk mencari manusia keparat itu...!”
“Kau gegabah kalau melakukan itu, Danupaksi,” cegah Rangga.
“Tapi, Kakang... Ini sudah keterlaluan. Seenaknya saja kepala Pendeta Pohaji diletakkan di sini!” dengus Danupaksi tidak suka.
“Biar aku yang menyelesaikannya, Danupaksi. Dan kuminta, sebaiknya semua berjalan seperti biasa,” ujar Rangga.
“Ki Lintuk...”
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Ki Lintuk jadi terlupa, dan kembali memanggil Rangga dengan sebutan Gusti Prabu lagi.
“Kuburkan kepala ini, tapi jangan sampai ada seorang pun yang tahu. Ingat, aku ingin semua ini menjadi rahasia kerajaan. Kalian tahu, kenapa harus dirahasiakan...?”
Semua menggelengkan kepala. Dan memang mereka tidak tahu, kenapa Rangga meminta hal ini dirahasiakan...? Dan ketidakmengertian mereka juga diketahui Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku hanya tidak ingin kalian kehilangan muka di mata rakyat. Terutama kau, Danupaksi. Sebuah istana yang bisa dimasuki seseorang tanpa diketahui, merupakan aib besar. Maka rakyat akan menganggap kalian tidak mampu menjadi pemimpin. Jadi kuminta, hal ini tetap dirahasiakan,'' jelas Rangga.
“Maafkan aku, Kakang,” ucap Danupaksi menyesal.
“Tidak ada yang bersalah, Danupaksi. Orang ini memang berkemampuan tinggi,” sambut Rangga seraya menepuk pundak adik tirinya ini.
“Aku janji, akan lebih memperhatikan penjagaan.”
“Penjagaan sudah cukup ketat, Danupaksi. Jika kau langsung merubahnya, akan menimbulkan kecurigaan. Sebaiknya tetap seperti sekarang ini.”
Danupaksi hanya menganggukkan kepala saja. Memang diakui, dalam hal tata pemerintahan, dia masih kalah jauh dibandingkan Rangga. Bahkan dalam segala hal, selalu merasa kalah. Tapi hal itu dianggapnya sebagai pelajaran berharga yang sulit diperoleh.
“Ki Lintuk, sebaiknya kuburkan sekarang,” kata Rangga memerintah dengan halus.
“Hamba laksanakan, Gusti Prabu.”
“Dan kalian sebaiknya beristirahat.”
Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi tidak membantah. Setelah Ki Lintuk meninggalkan ruangan ini, mereka juga beranjak pergi. Hanya Rangga yang masih tetap tinggal di ruangan besar dan megah ini, sambil duduk bertopang dagu.***
Sudah lewat tengah malam, tapi Rangga belum juga dapat memejamkan mata. Begitu banyak pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Sulit untuk menduga-duga, apa yang sedang terjadi. Keadaan yang tenang seperti ini, biasanya yang paling berbahaya. Nalurinya mengatakan, kalau ada bahaya yang sedang mengincar. Tapi sulit diduga-duga, apa yang akan terjadi terhadap dirinya.
Selagi Rangga membuka jendela kamarnya, mendadak saja terdengar teriakan keras, lalu disusul memijarnya cahaya terang dari arah Selatan.
“Kebakaran...! Kebakaran...!”
Teriakan-teriakan itu semakin keras dan ramai. Belum juga Rangga berbuat sesuatu, tampak dari arah utara juga terlihat cahaya api membumbung tinggi ke angkasa. Malam yang semula hening, seketika berubah hiruk pikuk oleh orang-orang berteriak-teriak.
“Hup! Yeaaah...!”
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke luar melalui jendela kamarnya. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah ienyap ditelan kegelapan malam.
Rangga terus berlompatan keluar dari benteng istana. Ringan dan indah sekali gerakannya saat melompati tembok benteng yang tinggi dan kokoh. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya mendarat manis di luar tembok benteng yang mengelilingi bangunan istana ini. Rangga terus berlari menuju arah kobaran api di Selatan.
Tampak orang-orang berlarian sambil berteriak-teriak ketakutan. Para prajurit terlihat sibuk, berusaha memadamkan api yang membakar beberapa rumah penduduk yang berdekatan di sekitar istana Rangga jadi tertegun menyaksikan kobaran api yang begitu besar.
“Kakang...!”
Rangga berpaling begitu merdengar panggilan dari arah belakang. Tampak Pandan Wangi dan Cempaka berlari-lari menghampiri. Keringat tampak mengucur deras di seluruh tubuh kedua gadis itu. Napas mereka juga tersengal, seperti baru saja berlari jauh.
“Dari mana kalian?” tanya Rangga.
“Dari utara. Di sana lebih gawat lagi,” sahut Pandan Wangi agak tersengal.
“Banyak penduduk yang mati terbunuh,” sambung Cempaka.
“Terbunuh...?!” Rangga tersentak kaget.
“Benar, Kakang. Menurut beberapa orang penduduk, ada dua orang perempuan tengah mengamuk membantai penduduk, kemudian membakar rumah-rumah mereka,” jelas Pandan Wangi lagi.
Baru juga Rangga hendak membuka mulut kembali, muncul Danupaksi yang menunggang kuda. Pemuda itu cepat melompat turun dari punggung kuda, begitu berhenti. Bergegas dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti.
“Kakang! Di sebelah barat, beberapa prajurit dan panglima tengah bertarung melawan dua orang perempuan,” lapor Danupaksi.
Tanpa menunggu Danupaksi selesai memberi laporan, Rangga langsung melompat cepat ke arah barat. Begitu cepatnya, sehingga membuat Danupaksi dan kedua gadis itu sempat terlongong kagum. Cepat sekali lesatan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi.
“Ayo, kita ke sana...!” ajak Danupaksi.
Cepat sekali Danupaksi melompat naik ke punggung kuda, lalu menggebahnya agar berlari mungkin. Sebentar Cempaka dan Pandan Wangi pandangan, kemudian bersamaan berlari ke barat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sementara api terus berkobar besar. Puluhan prajurit dibantu penduduk sibuk memadamkan api. Sedangkan tidak sedikit yang meratap dan berteriak-teriak ketakutan.***
KAMU SEDANG MEMBACA
53. Pendekar Rajawali Sakti : Jaringan Hitam
ActionSerial ke 53. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.