BAGIAN 7

566 25 0
                                    

Sementara itu di sebelah Barat, tampak sekitar tiga puluh prajurit dan dua orang panglima tengah sibuk bertarung menghadapi dua orang perempuan yang ternyata adalah Mintarsih dan Nenek Jamping. Di sekitar pertarungan terlihat tidak sedikit mayat bergelimpangan bermandikan darah. Dan tampaknya, para prajurit Karang Setra tidak sanggup membendung amukan dua orang wanita yang berkepandaian sangat tinggi.
Jerit dan pekik melengking tinggi terus terdengar sating susul. Sedangkan tubuh-tubuh bersimbah darah terus bergelimpangan tanpa henti. Nampaknya, jumlah prajurit semakin berkurang saja. Setiap kali kedua orang wanita itu bergerak, selalu disusul jeritan panjang menyayat dan ambruknya dua atau tiga prajurit tanpa nyawa lagi.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Begitu kerasnya, sehingga membuat pertarungan itu seketika terhenti. Para prajurit berlompatan mundur. Saat itu berkelebat sebuah bayangan putih ke arah mereka. Dan tahu-tahu, di depan kedua wanita itu sudah berdiri seorang pemuda berpakaian putih tanpa lengan. Tampak pedangnya yang berga kepala burung tersampir di punggung.
"Pendekar Rajawali Sakti.... Hhh! Akhirnya muncul juga," dengus Mintarsih sinis.
"Siapa kalian?! Apa maksudnya mengacau sini?" tanya Rangga.
"Mereka hendak menuntut balas, Gusti Prabu...," terdengar suara dari arah kanan.
Rangga berpaling ke kanan. Tampak Ki Lintuk membungkuk sedikit memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Laki-laki tua itu perlahan menghampiri Rangga.
"Hamba kenal perempuan tua itu, Gusti Prabu. Dia adalah Nenek Jamping. Suaminya pernah menduduki jabatan penting di Kadipatan Karang Setra, tapi menyalahgunakan jabatannya. Maka Gusti Adipati Arya Permadi memberikan hukuman mati," ujar Ki Lintuk memberi tahu. "Tapi yang seorang lagi... Hamba tidak kenal, Gusti," kali ini nada suara Ki Untuk terdengar ragu-ragu.
"Lihat aku baik-baik, Lintuk," selak Mintarsih, jumawa.
"Wajahmu mirip Mintarsih. Tapi..," Ki Lintuk tidak melanjutkan kata-katanya.
"Aku memang Mintarsih. Kedatanganku seperti yang telah kujanjikan. Karang Setra harus hancur di tanganku!" keras dan lantang sekali suara Mintarsih.
"Bagaimana mungkin kau masih tetap muda, Mintarsih?" tanya Ki Lintuk.
"Ha ha ha...!" Mintarsih hanya tertawa terbahak-bahak saja.
Dari cerita Ki Lintuk, Rangga sudah tahu kalau wanita yang bernama Mintarsih seharusnya sudah tua. Dan paling tidak sudah berumur lebih dari enam puluh tahun. Tapi wanita ini..., masih terlihat muda dan cantik sekali. Dan bagi Rangga itu suatu hal yang tidak aneh lagi. Dia pernah menemukan hal seperti ini. Memang ada satu ilmu yang bisa membuat orang tetap muda. Dan itu merupakan ilmu yang sangat langka. Tidak sembarang orang bisa memilikinya, karena terlalu berat syarat yang harus dipenuhi. Hanya saja itu merupakan ilmu sesat karena menentang kodrat
"Jadi kau yang membunuh Pendeta Pohaji?" tanya Rangga dingin, ingin memastikan.
"Kau cukup tanggap, Pendekar Rajawali Sakti. Sayang sekali orang secerdas dirimu harus mati malam ini juga," sambut Mintarsih sinis.
Setelah berkata demikian, Mintarsih cepat melompat menyerang Rangga lewat jurus dahsyat. Satu pukulan bertenaga dalam tinggi dilepaskan tepat mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga memiringkan tubuhnya. Maka, pukulan Mintarsih lewat di samping tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.
Sebelum Mintarsih bisa menarik pulang tangannya, Rangga sudah memberi satu sodokan tangan kiri ke arah lambung. Mintarsih mendelik, lalu tubuhnya melenting berputar ke belakang. Sehingga, sodokan tangan Rangga tak sempat mengenai sasaran.
"Hiyaaa...!" Mintarsih kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti, begitu kakinya menjejak tanah.
Sementara, Ki Lintuk menarik kakinya mundur sejauh tiga batang tombak. Pada saat itu, Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi telah tiba. Mereka hanya dapat menyaksikan pertarungan antara Rangga dan Mintarsih. Dari pakaian Mintarsih, Pandan Wangi dan Cempaka sudah dapat memastikan kalau wanita itu adalah yang kemarin bertarung melawan Rangga.
"Apakah itu yang bernama Mintarsih, Ki Lintuk?" tanya Pandan Wangi.
"Benar," sahut Ki Lintuk.
"Lalu, yang seorang lagi?" tanya Pandan Wangi lagi seraya menatap tajam Nenek Jamping.
"Dia Nenek Jamping. Suaminya mendapat hukuman mati ketika Karang Setra masih berbentuk kadipaten. Dia dan Mintarsih ingin membalas dendam, dan hendak menghancurkan Karang Setra."
"Hanya berdua...? Edan...!" desis Cempaka.
"Aku yakin, bukan hanya mereka berdua saja. Pasti ada yang lainnya. Aku akan memeriksa di sekitar istana," selak Danupaksi
Belum ada yang membuka suara, Danupaksi sudah cepat meninggalkan tempat itu. Kudanya dipacu cepat bagaikan dikejar setan. Ki Lintuk memerintahkan sepuluh orang prajurit untuk mengikuti pemuda itu.
Sementara pertarungan antara Rangga dan Mintarsih terus berlangsung semakin sengit. Mereka bertarung hanya menggunakan tangan kosong saja. Namun begitu, angin pukulan yang dilepaskan, terasa sekali. Tentu saja hal ini membuat para prajurit terus menyingkir menjauh. Pertarungan itu berjalan dalam tingkatan yang tinggi, membuat debu berhamburan ke udara. Beberapa kali terdengar ledakan keras disertai percikan bunga api, setiap kali pukulan mereka beradu.
Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung, tapi belum ada tanda-tanda akan berakhir. Namun suatu ketika....
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring, mendadak saja Rangga melesat tinggi ke udara. Lalu tubuhnya menukik deras sekali dengan tangan lurus ke depan mengarah ke kepala Mintarsih. Sejenak wanita cantik berbaju biru itu terpana, lalu cepat membanting tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Serangan Rangga tidak membawa hasil. Dan kini pukulannya malah menghantam tanah, membuat ledakan dahsyat terdengar menggelegar. Seketika tanah berguncang bagai terjadi gempa.
Cepat Rangga melentingkan tubuh berdiri, dan langsung melompat seraya memberi satu tendangan keras menggeledek. Pada saat itu, Mintarsih baru bisa berdiri.
"Uts!"
Bergegas Mintarsih memiringkan tubuh ke kanan menghindari tendangan keras yang dilepaskan Rangga. Tapi wanita itu jadi tersentak. Ternyata pada saat yang sama, Rangga cepat melepaskan satu pukulan tangan kiri yang keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Dieghk!
"Akh...!"
Mintarsih tak dapat lagi berkelit. Tubuhnya terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak dadanya terkena pukulan keras Pendekar Rajawali Sakti. Selagi wanita itu terjajar menggeletak di tanah, Rangga melompat memburu. Namun sebelum sampai, Nenek Jamping sudah melesat cepat menghadang. Seketika wanita tua itu mengibaskan tongkat ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Hup...!"
Cepat Rangga memutar balik tubuhnya ke belakang, sehingga sabetan tongkat wanita tua itu tidak mengenai tubuhnya. Dua kali Rangga melakukan putaran di udara, lalu manis sekali kakinya menjejak tanah. Pada saat itu, Nenek Jamping sudah meluruk deras dengan tongkat berputaran cepat di depan tubuhnya.
"Hiyaaat..!"
"Hep! Yeaaah...!"
Rangga cepat melompat ke atas sampai melewati kepala Nenek Jamping. Seketika, cepat sekali kakinya bergerak menyepak punggung wanita itu. Nenek Jamping yang sudah dikuasai nafsu, sampai tidak lagi menghiraukan pertahanan diri. Akibatnya....
Buk!
"Akh...!"
Telak sekali kaki kanan Rangga mendupak punggung Nenek Jamping. Akibatnya wanita tua itu tersungkur mencium tanah, tapi cepat bangkit kembali dan menggeram marah. Tongkatnya diputar cepat bagai baling-baling, hingga menimbulkan deru angin yang keras bagai topan.
Rangga menggeser kakinya ke kanan perlahan tiga tindak. Tatapan matanya begitu tajam memperhatikan perempuan tua itu. Sementara Nenek Jamping menggeser kakinya perlahan ke depan. Sorot matanya begitu tajam, menyiratkan amarah dan dendam yang meluap-luap. Perempuan tua itu memang sudah bersumpah akan membunuh semua keturunan Adipati Arya Permadi. Mati pun rasanya tidak puas jika belum mengotori tangannya dengan darah keturunan Adipati Arya Permadi, ayah kandung Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak, Nenek Jamping meluruk deras dengan kaki menyusur tanah. Tongkatnya dikebutkan beberapa kali, mengincar tubuh Rangga yang sangat mematikan.
"Hap! Yeaaah...!"
Rangga yang memang sudah siap sejak tadi, segera melayani serangan perempuan tua ini. Maka pertarungan pun kembali berlangsung sengit sekali. Masing-masing berusaha saling menjatuhkan lawan. Pertarungan itu berjalan cepat, dalam tingkatan yang sangat tinggi. Sehingga tubuh mereka seperti lenyap. Yang terlihat hanya dua bayangan saja yang berkelebat saling sambar.
Sementara itu Mintarsih sudah bisa bangkit, meskipun hanya bisa duduk. Tampak darah menetes keluar dari sudut bibirnya. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengucur dari sudut bibirnya. Mulutnya meringis merasakan dadanya begitu sesak dan sukar bemapas. Cepat dia melakukan semadi, untuk menyalurkan hawa murni ke dadanya.
"Ugkh...!"
Mintarsih memuntahkan darah kental kehitaman. Seluruh tubuhnya menggigil bagai terserang demam. Sedangkan kepalanya terasa begitu pening dengan mata berkunang-kunang. Kembali Mintarsih melakukan semadi untuk memulihkan kekuatannya kembali. Untung saja, Rangga hanya memukul dadanya tanpa disertai ajian. Maka dengan bersemadi dan penyaluran hawa murni, kekuatan Mintarsih dapat pulih kembali. Namun demikian, hal itu memerlukan waktu juga. Dan Mintarsih tidak sempat lagi memperhatikan pertarungan yang berlangsung antara Rangga melawan Nenek Jamping.
Glarrr...!
Tiba-tiba saja terdengar ledakan keras menggelegar. Semua orang yang berada di tempat itu jadi tersentak kaget. Tampak Rangga dan Nenek Jamping terpental ke belakang, dan sama-sama jatuh bergulingan beberapa kali di tanah. Namun mereka cepat bangkit berdiri dan kembali berhadapan untuk melakukan pertarungan lagi.
"Kau hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi cobalah tahan aji pamungkasku ini," desis Nenek Jamping.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil.
Pertarungan memang sudah berjalan sampai menggunakan aji kesaktian. Dan tadi saja mereka sama-sama melepaskan aji kesaktian, hingga terpental jatuh bergulingan di tanah. Sekarang Nenek Jamping sudah mempersiapkan ajian pamungkasnya. Tampak tongkat hitam berbentuk ular kobra yang digenggam erat dengan kedua tangannya berubah menyala bagai terbakar. Hebatnya lagi, seluruh tubuh perempuan tua itu juga merah membara seperti besi panas.
"Terpaksa, aji 'Cakra Buana Sukma' harus kugunakan," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian merentangkan kakinya melebar ke samping. Sementara, kedua tangannya merapat di depan dada. Perlahan tubuhnya ditarik ke kanan, lalu dimiringkan ke kiri. Sebentar kemudian tubuhnya sudah tegak kembali. Saat telapak tangannya dibuka perlahan, menyemburat cahaya biru terang menyilaukan mata dari kedua telapak tangannya. Tepat ketika tangan Pendekar Rajawali Sakti sejajar dada, Nenek Jamping melompat cepat.
"Hiyaaat..!"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!"
Glarrr...!
Satu ledakan keras terdengar menggelegar ketika telapak tangan Rangga menghantam bagian tengah tongkat Nenek Jamping. Seketika itu juga, cahaya biru yang memancar di kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti melibat seluruh tongkat ular kobra hitam perempuan tua itu.
Nenek Jamping mencoba menarik tongkatnya, namun sedikit pun tidak bergeming. Saat itu juga terasa ada sesuatu yang bergolak di dalam tubuhnya. Nenek Jamping tersentak ketika menyadari apa yang telah terjadi pada dirinya. Cepat tenaga dalamnya dikerahkan untuk melepaskan diri dari pengaruh ajian yang dikerahkan Rangga.
"Ikh...!"
Namun semakin kuat mengerahkan tenaga, semakin deras kekuatan yang mengalir keluar. Hingga akhirnya Nenek Jamping tidak dapat lagi menahan kekuatannya yang terus tersedot keluar. Sementara cahaya biru mulai menyelimuti tangan Nenek Jamping.
"Akh...!" Nenek Jamping mulai berteriak-teriak dengan tubuh menggeliat dan menggelepar. Tampak darah kental mengalir dari sudut bibirnya. Sedangkan sinar biru yang memancar di kedua telapak tangan Rangga, terus menyelimuti tubuh Nenek Jamping. Perlahan gerakan tubuh Nenek Jamping mulai melemah. Memang kekuatan perempuan tua itu terus mengalir, tersedot. Hingga pada akhirnya tubuhnya lemas lunglai tak bertenaga lagi. Seluruh wajahnya memucat bagai tak pernah teralirkan darah.
"Hih! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga menghentakkan kedua tangannya. Seketika tubuh Nenek Jamping terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuh tua renta itu terbanting ke tanah. Tak ada gerakan sedikit pun. Nenek Jamping ternyata tewas seketika begitu tubuhnya menghantam tanah.
"Maaf. Seharusnya kau tidak terlalu menguras tenaga," ujar Rangga agak bergumam.

***

53. Pendekar Rajawali Sakti : Jaringan HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang